Dwi Susi Harijanti, Guru Besar Hukum Tata Negara, Universitas Padjadjaran

Kontroversi Pemilu Berawal dari Putusan MK yang Muluskan Jalan Gibran

Sabtu, 16/03/2024 18:55 WIB
Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran) bicara soal prinsip etika, hukum dan demokrasi dalam Pemilu 2024. Foto: Dok. Pribadi yang diunggah Media Indonesia.

Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran) bicara soal prinsip etika, hukum dan demokrasi dalam Pemilu 2024. Foto: Dok. Pribadi yang diunggah Media Indonesia.

Jakarta, law-justice.co - “Berdiam diri melihat kesalahan dan keruntuhan masyarakat atau negara berarti mengkhianati pada dasar kemanusiaan, yang seharusnya menjadi pedoman bagi kaum inteligensia pada umumnya.” Narasi tersebut adalah penggalan pidato Bung Hatta yang bertajuk “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelegensia” yang dibacakan sang proklamator saat momen hari Alumni I Universitas Indonesia (UI), Juni 1957 silam. Pidato tersebut diingat betul oleh Dwi Susi Harijanti sampai kini dalam mengemban tanggung jawabnya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad).

Bagi Dwi Susi, seruan moral sampai dengan aksi massa yang dilakoni para akademisi di banyak kampus belakangan ini merupakan wujud nyata peran kaum intelegensia dalam menyikapi dinamika politik Pemilu 2024. Dugaan intervensi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemilu yang menegasikan nilai maupun prinsip etika, hukum dan demokrasi menjadi pemantik aksi kolektif para cendekiawan.

Pembacaan realitas dari Dwi Susi ihwal kondisi republik terkini menyoroti kepentingan segelintir elite politik dalam memenuhi kepentingan elektoral di atas kepentingan rakyat. Peran Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga terakhir konstitusi negeri dipreteli oleh penguasa demi ambisi kekuasaannya. Putusan nomor 90 MK soal penetapan batas usia capres-cawapres yang berujung polemik menjadi preseden buruk bagi kualitas pemilu.

Sehingga Dwi berpikir, ujung-ujungnya masa depan negara dan rakyat dipertaruhkan apabila pemimpin terpilih menang dengan menghalalkan segala cara. Demokratisasi dalam Pemilu saat ini dinilainya tak berjalan semestinya. Prinsip demokrasi yang intinya menempatkan kedaulatan rakyat dikebiri. Roda kekuasaan yang berjalan dalam konsep trias politika lantas dianggap tidak akan berpihak kepada kepentingan rakyat, melainkan segelintir kelompok saja.

Sekira 20 menit lebih, Law-justice berdiskusi dengan Dwi Susi, yang kebanyakan membahas realitas etika, hukum dan demokrasi kala tahun politik Pemilu. Tak ketinggalan, dia juga menyoroti gerakan moral dan sosial dari kalangan cendekiawan yang menurutnya mesti terus digaungkan demi perbaikan kualitas moral, hukum dan demokrasi negeri.

Berikut penggalan wawancara kami dengan Dwi Susi yang berlangsung pada 14 Maret 2024:

Dengan segala manuver politik dalam Pemilu 2024 ini, lantas bagaimana posisi nilai hukum dan etika?

Pertama-tama saya harus mengatakan bahwa Pemilu ini adalah pemilu yang terburuk yang pernah saya ikuti. Karena kita tahu sampai hari ini tuduhan-tuduhan kecurangan itu kan masih berlangsung. Apa yang terjadi hari ini dari pemilu, entry pointnya dari putusan MK nomor 90 itu (yang dianggap sebagai karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka maju dalam Pilpres 2024).

Coba pada waktu itu (saat memutuskan perkara batas usia capres-cawapres), hakim-hakim MK itu memahami betul apa yang mereka putuskan. Mereka kan mengatakan syarat-syarat yang berkaitan dengan pencapres dan pencawapresan itu selalau open legal policy. Mereka enggak mau utak-atik itu. Tapi kenapa, tiga putusan terdahulu ditolak, tetapi kenapa untuk yang permohonan (dari penggugat bernama Almas Tsaqibbiru) ini dikabulkan.

Jadilah seperti ini. Juga hakim-hakim konstitusi tidak menggunakan prinsip yang dikembangkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang pada dasarnya prinsip itu menegaskan bahwa pengadilan itu tidak akan memutuskan suatu perkara dalam pemilu apabila tahapan pemilu itu sudah dimulai.

Coba pada saat itu hakim-hakim MK memahami dampak yang terjadi akibat putusan itu. Dampaknya kan luas terhadap masyarakat. Dampak yang berpengaruh bagi kualitas pemilu. Coba saja hakim-hakim MK menyadari betul tugas dan tanggung jawabnya, maka yang terjadi saat ini kemungkinan besar tidak akan terjadi.

Kegaduhan-kegaduhan ini kan muncul akibat Gibran menjadi cawapres. Dan ketika menjadi cawapres, sementara bapaknya masih menjabat presiden. Maka itu dipastikan ada conflict of interest.

Sudah dapat dipastikan asas-asas pemilihan umum itu tidak akan dijalankan secara benar. Kan banyak itu asas pemilihan umum. Dan jangan lupa asas pemilhan umum itu diatur dalam UUD 1945. Artinya apa, semua orang itu terutama penyelenggara negara terikat oleh sumpah bahwa mereka akan menjalankan peraturan sebaik-baiknya. Mereka semua jadi lupa kalau sudah ada kepentingan sehingga mereka lupa akan sumpah jabatan mereka.

Kalau nilai demokrasi dalam Pemilu?

Pemilu itu bukan semata-mata sebagai suatu mekanisme perubahan kepemimpinan 5 tahun sekali, tidak. Maknanya lebih dalam dari itu, Pemilu itu harus merepresentasikan bahwa rakyat yang memiliki kedaulatan. Dan itu dalam konteks demokrasi. Tetapi karena pelanggaran terhadap etika, norma itu dibiarkan terus-menerus, maka jadi seperti ini.

Apakah rakyat bisa disalahkan ketika terus mempertanyakan kecurangan, semisal Sirekap. Ketika guru-guru besar maupun akademisi lain melontarkan seruan atau gerakan moral, maka kami ini dicap ada kepentingan, dituding ada narasi elektoral di balik seruan kampus. Saya katakan bahwa guru-guru besar ini tidak memiliki kepentingan politik apapun. Kami tidak punya narasi elektoral. Yang kami inginkan bahwa ketika sudah terjadi pelanggaran, maka kami harus bicara. Bagaimana mungkin kita bisa membiarkan bahwa bangsa ini akan terjerumus menjadi bangsa yang tidak beretika, bangsa yang tidak mengedepankan moralitas.

Mengapa kemarin UGM menyerukan ‘kampus menggugat’. (Lalu ada) para akademisi se-Jabodetabek menyerukan ‘Seruan Salemba’. Jangan dianggap kami ini hanya berisik saja. Ya karena memang demokrasi itu harus berisik karena demokrasi kalau tenang, itu harus dicurigai. Jangan-jangan demokrasi itu jadi terkooptasi oleh kepentingan tertentu. Karena demokrasi itu kan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Jadi ketika kami melihat para penyelenggaraan negara sudah jauh melenceng dari tujuan reformasi, yang tujuannya menegakan prinsip negara berdasarkan hukum, menciptakan pemerintah yang terbatas yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Nah sekarang diperlihatkan kepada rakyat bagaimana dari tujuan reformasi sengaja dijauhi oleh para penguasa.

Atas nama kepentingan, seakan-akan tujuan itu menghalalkan segala cara. Kami tidak bisa terima itu dari perspektif akademisi karena kami ikut bertanggungjawab. Karena ilmuwan tidak berdiam diri saja di kampus. Ketika masyarakat powerless, maka kami harus turun membersamai rakyat.

Lantas, bagaimana integritas pemilu?

Indonesia menganut konsep pemilu yang berkeadilan. Jadi pemilu berkeadilan itu merupakan instrumen penting untuk menegakan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, jujur dan adil. Dan sistem kepemiluan yang berkeadilan itu akan menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur dan keputusan terkait proses pemilu, itu sesuai dengan kerangka hukum.

Kemudian juga sistem pemilu yang berkeadilan itu melindungi atau memulihkan hak pilih. Kemudian juga berkaitan dengan penegakan hukum yang adil. Nah oleh karena itu, di dalam pemilihan umum, kita punya siklus, mulai dari pra-pemilu hingga pasca-pemilu. Nah ini kan gaduh sekali sejak pra-pemilu. Pada masa pemilu juga (gaduh) saat masa nominasi, masa kampanye, masa pemungutan suara dan hasil pemungutan suara.

Di masa pemilu ini gaduh semua. Mulai dari nominasi Gibran. Apalagi sebelumnya ketika presiden mengatakan akan cawe-cawe. Ini kan pernyataan yang membuat rakyat menjadi gusar. Betul tidak pernyataan cawe-cawe presiden itu akan menjadikan pemilu itu yang berintegritas, pemilu yang bermartabat--pemilu yang menjalankan prinsip yang jujur dan adil. Pernyataan dari presiden ini (justru) yang juga menyebabkan pemilu sarat permasalahan hukum dan etik. Jangan lupa kalau bicara soal demokrasi--pemilu yang bebas jujur dan adil, itu akan dipertaruhkan di tangan penyelenggara negara dan pemilu.

Maka, pertaruhan apakah rakyat akan percaya dengan demokrasi, artinya di tangan otoritas negara dan penyelenggara pemilu. Maka kepercayaan rakyat terhadap demokrasi dan legitimasi kepemimpinan itu dipertaruhkan. Seperti pencalonan Gibran, selalu dikatakan ini sudah sesuai. Putusan MK sudah sesuai hukum memiliki legitimasi.

Ya memang sudah sesuai putusan MK tapi putusan MK itu memberi jalan bagi pencalonan Gibran. Tapi bagaimana ketika rakyat mengatakan bahwa Anda tidak memiliki legitimasi moral. Kita bisa bayangkan ketika terpilih menjadi pemimpin republik ini, tetapi dari awal memiliki banyak cacat prosesnya, cacat etik dan moral. Ada Hakim (MK) Anwar Usman yang terbukti melanggar etik dan komisioner KPU yang juga melanggar etik. Jadi dari pencalonan sudah melanggar etik. Lalu bagaimana pemilu ini bisa dikatakan sebagai pemilu yang berintegritas.

Soal hak angket, bagaimana tanggapan Anda? Apakah hanya sebatas wacana yang berujung gimik politik saja?

Kalau anggota DPR mengklaim dirinya sebagai wakil-wakil rakyat, maka seharusnya mereka mendengar apa yang diminta rakyat. (Adapun) permintaan untuk penggunaan hak angket itu sudah luas disuarakan. Partai politik itu jangan hanya menjalankan fungsi rekrutmen, mencalonkan seseorang kader untuk posisi jabatan politik. Tetapi partai politik itu punya fungsi menyerap aspirasi publik, (dan) fungsi agregasi kepentingan rakyat.

Nah soal hak angket, kalau partai politik ini betul memahami fungsinya, maka seharusnya mereka mendengar. Ini saya heran partai Demokrat terang -terangan menolak. Partai politik itu memang tujuannya meraih kekuasaan, tapi jangan sampai meraih kekuasaan itu dengan cara melukai rakyat. Rakyat hanya didekati kalau menjelang pemilu. Tetapi ketika kepentingan sudah tercapai dan mereka sudah duduk dalam jabatan politik, kemudian mereka lupa rakyat.

Jadi ketika rakyat mendesak DPR menggunakan hak angket, sebetulnya rakyat itu sedang meminta akuntabilitas mereka (DPR). Harus diingat, anggota DPR itu digaji dari uang rakyat.

Apa langkah berikutnya dari kalangan intelegensia Unpad setelah ‘Seruan Padjadjaran’?

Seruan Padjadjaran itu seruan moral yang akan kami terus laksanakan dalam beberapa bentuk kegiatan. Saya berpikiran seruan moral ini menjadi gerakan moral. Awalnya kan dari masing-masing universitas, tapi sekarang sudah bergerak bersama. Seperti seruan kampus menggugat di UGM yang juga mengundah pihak eksternal atau kampus lain juga hadir.

(Juga) guru besar dan akademisi se-Jabotebek juga menyerukan. (Unpad) bisa saja akan ada bentuk aksi ilmiah (kedepannya). Jadi seruan harus dieskalasi menjadi gerakan moral. Akan lebih bagus lagi kalau jadi gerakan sosial. Harus ditingkatkan gerakannya karena pemerintahan itu harus senantiasa itu harus ditempatkan dalam pengawasan rakyatnya. Kami akan terus mengkritik karena ini menjadi tugas moral dari kaum intelegensia.

(Rohman Wibowo\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar