Nonton Bareng Film Eksil

Mahfud MD : Tragedi Kemanusiaan `65 Tak Boleh Terulang

Kamis, 14/03/2024 21:45 WIB
Calon wakil Presiden Mahfud MD janjikan internet gratis dan cepat (Dok.Tangkapan Layar Youtube KPU)

Calon wakil Presiden Mahfud MD janjikan internet gratis dan cepat (Dok.Tangkapan Layar Youtube KPU)

Jakarta, law-justice.co - Bekas Menko Polhukam sekaligus calon wakil presiden Mahfud MD berharap tragedi kemanusiaan di tahun 1965 tak kembali terjadi di Indonesia. Menurut Mahfud, tragedi `65 hingga kini masih banyak menyisakan sisa-sisa bentuk diskriminasi yang sulit dihapus di masyarakat.

Pernyataan itu disampaikan Mahfud usai ikut nonton bareng atau nobar film dokumenter Eksil garapan Lola Amaria di Blok M Plaza, Jakarta Selatan, Kamis 14 Maret 2024.

Eksil mengisahkan kehidupan para warga negara Indonesia (WNI) yang terasingkan di luar negeri buntut tragedi 1965.

"Era reformasi telah membuka kepada kita demokratisasi. Oleh sebab itu, saya kira tugas kita ke depan sebagai bangsa mari jangan sampai terjadi kemanusiaan seperti ini, ini residunya masih banyak sampai sekarang," jelas Mahfud dilansir dari CNN Indonesia.

Sebagai eks Menko Polhukam, Mahfud mengaku sempat berurusan dengan para eksil yang sebagian besar kini tinggal di negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Ceko, dan Belanda.

Saat ini, kata Mahfud, jumlah mereka ada 144 orang. Namun,Kemenkumham dan Kementerian Luar Negeri punya versi yang berbeda. Menurut dia, mereka adalah orang yang dulu dituduh berafiliasi dengan PKI.

Karena itu, pasca insiden `65, mereka yang semula adalah pelajar yang dikirim oleh Presiden Sukarno, tak boleh kembali ke dalam negeri. Hak-hak mereka sebagai warga negara pun dicabut.

"Jadi orang dulu dikaitkan dengan familinya PKI, bapaknya PKI, saudaranya PKI, mau sekolah nggak bisa, cari kerja selalu diisolasi, minta surat keternagan. Itu selama 32 tahun orde baru," ungkap Mahfud.

Namun, kata Mahfud, pemerintah kini telah memberikan hak kepada mereka dan mencabut cap PKI yang selama ini melekat. Pemerintah juga telah memberikan mereka kebebasan untuk kembali ke dalam negeri.

Hanya saja sebagian besar dari mereka sulit untuk menghabiskan sisa hidup dan tinggal di Indonesia. Sebab, selain sudah tak memiliki keluarga, mereka juga tak memiliki pekerjaan.

"Mereka sudah sangat senang pemerintah Indonesia mengakui mereka sebagai warga negara dan mempersilakan pulang kapan pun mau pulang," kata dia.***

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar