Singgung Indonesia Cemas 2045

Civitas UGM Lakukan Deklarasi Kampus Menggugat

Selasa, 12/03/2024 21:26 WIB
UGM terbitkan surat tak dukung aksi #GejayanMemanggil (foto: Republika)

UGM terbitkan surat tak dukung aksi #GejayanMemanggil (foto: Republika)

Jakarta, law-justice.co - Sejumlah civitas academica dan alumni UGM juga universitas lain, serta elemen masyarakat sipil mendeklarasikan gerakan Kampus Menggugat demi menegakkan etika, konstitusi, dan memperkuat demokrasi Republik Indonesia.

Deklarasi gerakan Kampus Menggugat itu dilakukan bertempat di Balairung, UGM, Sleman, DIY, Rabu 13 Maret 2024.

Mereka yang hadir antara lain Wakil Rektor UGM, Ari Sudjito; Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Koentjoro; Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas; pakar tata hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar; Rektor UWM, Edy Suandi Hamid; Rektor UII, Fathul Wahid dan puluhan tokoh lainnya.

Dalam deklarasi diserukan bahwa gerakan Kampus Menggugat ini dimaksudkan untuk mengembalikan etika dan konstitusi yang terkoyak selama lima tahun terakhir.

Sementara perguruan tinggi dianggap memiliki peran sebagai benteng etika dan akademisi selaku insan ilmu pengetahuan yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga keadaban, dan mewujudkan keadilan serta kesejahteraan.

"Inilah momentum kita sebagai warga negara melakukan refleksi dan evaluasi terhadap memburuknya kualitas kelembagaan di Indonesia dan dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara," bunyi deklarasi yang dibacakan salah seorang Guru Besar UGM, Wahyudi Kumorotomo.

Disebutkan, reformasi 1998 adalah gerakan rakyat untuk mengembalikan amanah konstitusi, setelah terkoyak oleh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di masa Orde Baru.

Akan tetapi, para civitas melihat pendulum reformasi seakan berbalik arah sejak 17 Oktober 2019 yang ditandai revisi UU KPK, diikuti pengesahan beberapa UU kontroversial lainnya, seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan lain sebagainya. Belum lagi pelanggaran etika dan konstitusi yang meningkat drastis jelang Pemilu 2024 hingga memperburuk kualitas kelembagaan formal maupun informal.

"Kemunduran kualitas kelembagaan ini menciptakan kendala pembangunan bagi siapapun presiden Indonesia 2024-2029 dan selanjutnya. Konsekuensinya, kita semakin sulit untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045, yang membayang justru adalah Indonesia Cemas," jelas Wahyudi melansir dari CNN Indonesia.

Para civitas academika menyebut akademisi menjalankan tugas konstitusi dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi.

"Pelanggaran etika bernegara oleh para elit politik, akan mudah dicontoh oleh berbagai elemen masyarakat. Hal ini mengancam kelangsungan berbangsa dan bernegara, dan menjauhkan Indonesia sebagai negara hukum," tutur Wahyudi.

Sebagai akademisi yang memahami hak dan tanggungjawab konstitusional, mereka mencoba mengetuk nurani segenap elemen masyarakat untuk bersinergi membangun kembali etika dan norma yang terkoyak dan mengembalikan marwah konstitusi yang dilanggar untuk menentukan Indonesia yang akan diwariskan kepada generasi anak-cucu.

Melalui gerakan moral Kampus Menggugat ini, para civitas academica UGM dan kampus lain menyerukan agar: pertama, universitas sebagai benteng etika menjadi lembaga ilmiah independen yang memiliki kebebasan akademik penuh untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menyuarakan kebenaran berbasis fakta, nalar dan penelitian ilmiah.

Kedua, segenap elemen masyarakat sipil terus kritis terhadap jalannya pemerintahan dan tak henti memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Ormas sosial keagamaan, pers, NGO, CSO, tidak terkooptasi, apalagi menjadi perpanjangan tangan pemerintah.

Ketiga, meminta para pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk memegang teguh prinsip-prinsip demokrasi secara substansial dan menjunjung tinggi amanah konstitusi dalam menjalankan kekuasaan demi mewujudkan cita- cita proklamasi dan janji reformasi.

"Politik dinasti tak boleh diberi ruang dalam sistem demokrasi," kata Guru Besar UGM, Prof. Budi Setiadi Daryono melanjutkan deklarasi.

Lalu, meminta para pemegang kekuasaan menegakkan supremasi hukum dan memberantas segala macam bentuk KKN, tanpa mentolerir pelanggaran hukum, etika dan moral dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selanjutnya, meminta para penguasa secara serius mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial bagi semua warga dan tak membiarkan negara dibajak oleh para oligarki dan para politisi oportunis yang terus mengeruk keuntungan melalui kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat.

Bangun pengadilan rakyat
Zainal Arifin Mochtar sementara itu dalam orasinya menyebut perlakuan rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) menguatkan kembali elemen atau kubu oposisi yang telah lama dibonsai dan didomestikasi hingga lumpuh.

"Oposisi bangkit itu lah tanda demokrasi insya Allah akan menuju lebih sehat," kata Zainal yang akrab disapa Uceng itu.

Saat wacana hak angket DPR untuk mengusut kecurangan pemilu 2024 mulai berembus, dan DPD memulai pansusnya, maka Uceng mengajak para akademisi UGM khususnya untuk membangun pengadilan rakyat.

Kata Uceng, ketika lembaga negara tak serius mengadili dan menjatuhkan sanksi, maka rakyat mengambil peran tersebut seperti yang sudah dilakukan di negara luar.

"Demokrasi bukan tidak pernah kalah tapi demokrasi itu adalah membutuhkan perjuangan," ucap Uceng.

Busyro Muqoddas sementara itu mengajak para akademisi agar tak berpangku tangan melihat situasi ini. Bulan Ramadan, menurutnya, jadi momen menyedekahkan pemikiran dan komitmen melawan politik dinasti.

Baginya, proses politik selama pemilu kemarin membuktikan bahwa ada fakta rasa malu kandas pada elite politik istana. Etika politik dikubur, dan diganti dengan berkobarnya syahwat nafsu politik keluarga presiden.

"Bukti ketertelanjangan etika politik kenegaraan adalah direnggutnya konstitusi kita, 1945 terutama dan marwah Mahkamah Konstitusi terutama lewat putusan MK nomor 90 tahun 2023 yang memberi previlege secara amoral, asosial terhadap anak sulung Presiden Jokowi yang bernama Gibran," kata mantan pimpinan KPK ini.

Lanjut Busyro, sekarang ini adalah momen buat seluruh civitas akademika dan pimpinan perguruan tinggi negeri maupun swasta agar tak serta merta mendiamkan kejahatan. "Ilmuwan yang diam itu sama saja mendiamkan kejahatan, mendiamkan kejahatan adalah kejahatan itu sendiri," sambungnya.

"Oleh karena itu kita menghimbau kepada rekan-rekan civitas akademika di seluruh Indonesia PTN dan PTS untuk sesegera mungkin, syukur-syukur sebelum tanggal 20 Maret ini melakukan gerakan-gerakan adab, penuh sopan, penuh santun tapi tegas terhadap rezim yang memamerkan ketelanjangan etika moral dan rasa malunya," pungkasnya.***

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar