Ini Respons KKP Setelah WTO Tidak Sepakati Subsidi Nelayan

Jum'at, 08/03/2024 14:55 WIB
Komunitas nelayan cilincing melakukan tradidi Nadran Pesta Laut 2022 di Kampung Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu (22/10/2022). Nadran adalah tradisi yang lahir dari masyarakat pesisir dalam memperkaya konsepsi dan tujuan pembangunan berbasis kelautan. Tradisi Nadran ini diikuti sekitar 600 perahu nelayan. Robinsar Nainggolan

Komunitas nelayan cilincing melakukan tradidi Nadran Pesta Laut 2022 di Kampung Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu (22/10/2022). Nadran adalah tradisi yang lahir dari masyarakat pesisir dalam memperkaya konsepsi dan tujuan pembangunan berbasis kelautan. Tradisi Nadran ini diikuti sekitar 600 perahu nelayan. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Pembahasan subsidi nelayan tidak meraih kesepakatan dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke 13 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Abu Dhabi. Artinya, rencana pembatasan atau penghapusan subsidi nelayan masih menjadi ancaman bagi Indonesia.

Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Budi Sulistiyo mengatakan, pembahasan subsidi nelayan buntu lantaran masih lebarnya perbedaan pandang antara kelompok negara maju, negara berkembang dan negara kurang berkembang (LDCs) perihal pelarangan pemberian subsidi yang ditengarai menimbulkan over capacity dan overfishing.

"Namun, KKP memastikan akan mengawal aspirasi tersebut di forum Negotiating Group on Rules (NGR) di Jenewa, Swiss," jelas Budi dalam keteranganya, Jum`at 8 Maret 2024.

Lebih lanjut Budi menegaskan, konsistensi Indonesia pada posisi pemberian subsidi tetap harus diperbolehkan untuk nelayan yang menangkap ikan di wilayah yurisdiksi tanpa dibatasi waktu dan batasan geografis.

Tak hanya itu, Indonesia mengajak negara maju (big subsidizers) untuk mendisiplinkan pemberian subsidi untuk praktik distant water fishing yang merujuk pada penangkapan ikan atau sumber daya perikanan lainnya di perairan yang terletak jauh dari pantai.

"Kegiatan ini melibatkan kapal-kapal besar yang berlayar ke laut lepas atau kedalaman yang lebih besar untuk menangkap ikan secara massal," ungkap Budi dilansir dari Kontan.

Dikatakannya, karakteristik dari distant water fishing melibatkan penggunaan kapal penangkap ikan besar, penggunaan teknologi canggih seperti radar dan GPS untuk melacak ikan, dan seringkali melibatkan perjalanan yang jauh dari pelabuhan untuk mencapai lokasi-lokasi perikanan yang produktif.

"Ini sekaligus menjadi concern kita mengingat pengelolaan perikanan harus berkelanjutan dan mencegah eksploitasi berlebihan di laut lepas," tegasnya.

Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai, pemerintah harus menyiapkan langkah jika penghapusan subsidi nelayan dilakukan.

Apalagi isu penghapusan subsidi nelayan sudah lama di bahas di WTO dan beberapa negara telah menyatakan sepakat untuk wacana ini.

Beberapa hal yang dilakukan utamanya perbaikan sistem penyaluran BBM bersubsidi yang mudah di akses bagi nelayan tradisional agar nelayan kecil tetap mendapatkan jaminan BBM Subsidi dari pemerintah.

"Mengingat ada fakta di lapangan menunjukkan bahwa penyimpangan dalam penyaluran BBM bersubsidi masih marak terjadi dan patut diduga melibatkan oknum aparat keamanan," jelas Halim.

Untuk itu, pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan dalam proses distribusi BBM subsidi mulai dari pusat hingga ke tangan nelayan. Selain itu, pemerintah harus menyediakan laporan berkala kepada publik berkenaan dengan proses penyaluran.

"Bila ditemukan penyimpangan, pemerintah perlu menindak secara tegas pelakunya berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku," jelas Halim

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar