Alman Helvas Ali, Konsultan defense industry and market pada PT Semar Sentinel

Nasib Akuisisi Jet Tempur Pasca 2024 & Tantangan Disiplin Fiskal

Rabu, 06/03/2024 17:35 WIB
Pesawat tempur TNI AU (Foto: Ant)

Pesawat tempur TNI AU (Foto: Ant)

Jakarta, law-justice.co - Selama pelaksanaan pembangunan kekuatan pertahanan jangka panjang 2010-2024 lewat Minimum Essential Force (MEF), Indonesia mengakuisisi 78 pesawat tempur yang terdiri atas 12 Sukhoi Su-27/30, 24 F-16C/D dan 42 Rafale yang menghabiskan Pinjaman Luar Negeri (PLN) sekitar US$ 20 miliar.

Angka demikian belum mencakup dana Rupiah Murni yang dibelanjakan untuk mendukung pembangunan fasilitas logistik. Sebanyak 78 unit jet tempur juga belum termasuk pengadaan 12 pesawat tempur serang darat EMB-314 yang mengadopsi turboprop engine dan 22 pesawat latih jet T-50i.

Selain pengadaan pesawat tempur baru dan bekas, PLN dengan nilai sekitar US$ 700 juta disediakan pula untuk memodernisasi armada 10 F-16A/B, baik melalui program e-MLU maupun rencana peningkatan kemampuan menjadi setara Viper, dan 16 Su-27/30.

Baca: Pembelian Jet Tempur Mirage Dituding Korupsi, Kemhan Blak-Blakan
Mengacu pada Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 yang dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, masih terdapat program pengadaan pesawat tempur yang tidak dapat diwujudkan hingga MEF berakhir pada tahun ini.

Kegiatan pembelian jet tempur F-15EX gagal sebab Presiden Joko Widodo menyetujui usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani agar alokasi PLN bagi Kementerian Pertahanan dibatasi pada angka US$ 25 miliar. Kegagalan tersebut tidak terlalu mengejutkan mengingat bahwa usulan pembiayaan program F-15EX nampaknya mengalami tarik menarik antar kementerian terkait dan tidak relatif mulus seperti akuisisi 42 Rafale.

Kini Indonesia akan memasuki fase baru pembangunan kekuatan pertahanan dengan berakhirnya MEF. Program pembangunan pertahanan jangka panjang berikutnya adalah 2025-2044 dengan tahap pertama terbentang pada 2025-2029.

Terkait dengan akuisisi jet tempur hingga lima tahun mendatang, belum dapat dipastikan apakah program pengadaan yang akan diakomodasi dalam Blue Book 2025-2029 hanya mencakup F-15EX ataukah ada pesawat tempur lain yang akan dibeli pula. Tentu saja jet tempur yang dimaksud adalah unit baru dan bukan pesawat tempur bekas seperti Mirage 2000-5.

Parameter pemilihan pesawat tempur oleh Kementerian Pertahanan selama ini kurang diketahui oleh publik. Garis besar mengenai parameter tersebut tidak pernah dibuka kepada masyarakat, padahal hal demikian bukan merupakan rahasia negara dan bukan pula rahasia bisnis produsen jet tempur.

Hanya parameter teknis kinerja jet tempur yang tidak dapat dibuka kepada masyarakat seperti kinerja ketika melaksanakan misi-misi Combat Air Patrol, Close Air Support, Suppression of Enemy Air Defense dan lain sebagainya. Terlepas dari fakta bahwa Rafale dan F-15EX merupakan pesawat tempur tier satu di dunia untuk generasi 4.5, sebaiknya alasan keputusan mengakuisisi suatu jenis jet tempur dijelaskan kepada masyarakat.

Setidaknya terdapat empat parameter yang dapat diadopsi ketika melakukan seleksi pembelian jet tempur. Pertama, aspek strategis, yakni kemampuan pabrikan calon pemasok dan pemerintah negara kandidat penyuplai mendukung Indonesia mencapai tujuan kebijakan pertahanan.

Aspek ini cakupannya sangat luas dan penerjemahannya membutuhkan kecerdasan Indonesia sendiri. Yang menjadi tantangan bagi Indonesia adalah terkadang dalam dokumen-dokumen yang terkait kontrak akuisisi pesawat tempur, terdapat klausul-klausul dari pemerintah negara pembuat yang kurang sejalan kepentingan kebijakan pertahanan Indonesia.

Kedua, aspek militer. Kemampuan produsen calon pemasok dan pemerintah negara calon penyuplai menyediakan pesawat tempur dengan mission effectiveness yang tinggi serta mampu mendukung kesiapan operasional dan teknis jet tempur tersebut selama rentang hidup (life span).

Selain itu, baik pabrikan kandidat pemasok maupun pemerintah negara calon pemasok dalam jangka panjang dapat pula mendukung peningkatan kemampuan jet tempur yang dibeli oleh Indonesia. Persyaratan-persyaratan tersebut sangat penting sebab perkembangan geopolitik dunia sangat dinamis, sementara posisi Indonesia yang tidak mau bersekutu dengan negara-negara lain terkadang membuat kelangsungan operasional pesawat tempur dalam jangka panjang tidak terjamin.

Ketiga, aspek ekonomi. Indonesia hendaknya berhitung secara seksama mengenai life-cycle cost pesawat tempur yang hendak dibeli, seperti biaya-biaya yang terkait akuisisi, operasi, pemeliharaan dan risiko-risiko lain yang dapat dihitung.

Setiap jet tempur mempunyai life-cycle cost yang berbeda, di mana secara umum pesawat tempur buatan Eropa dan Amerika Serikat memiliki biaya pengadaan yang lebih tinggi namun life-cycle cost lebih rendah dibanding pesawat tempur yang dihasilkan oleh produsen lain. Life-cycle cost penting untuk dihitung karena akan terkait langsung dengan penyediaan anggaran pemeliharaan selama rentang hidup jet tempur yang diperkirakan sekitar 30 tahun atau bahkan lebih.

Keempat, partisipasi industri. Partisipasi industri dalam program akuisisi pesawat tempur sudah diterapkan oleh Indonesia, namun pelaksanaannya tidak konsisten. Hal itu disebabkan oleh sejumlah hal, seperti industri pertahanan dan non pertahanan domestik yang belum matang dalam penguasaan teknologi tinggi, keterbatasan finansial industri lokal, aturan keamanan teknologi yang diterapkan oleh pemerintah negara pembuat jet tempur dan lain sebagainya.

Istilah partisipasi industri lebih disukai oleh negara-negara produsen tertentu sebab program offset yang disyaratkan oleh Indonesia dipandang sebagai upaya merebut teknologi yang mereka kuasai dengan jalan pintas dan murah.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, terdapat kemungkinan rencana impor F-15EX akan dilaksanakan pada pembangunan kekuatan pertahanan periode 2025-2029. Diperkirakan biaya akuisisi jet tempur yang mengadopsi dua engine GE F110-129 tersebut berkisar antara US$ 10 miliar sampai US$ 15 miliar, di mana harga akhir akan ditentukan oleh kesepakatan antara Kementerian Pertahanan dan U.S. Office of Defense Cooperation.

Sementara untuk periode 2025-2034, alokasi PLN untuk Kementerian Pertahanan menurut rancangan pemerintahan saat ini adalah US$ 30 miliar. Bila pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto hendak membeli pesawat tempur buatan Boeing, maka dapat dipastikan alokasi PLN pada jangka waktu 2025-2029 akan mengalami kenaikan dan tidak mengikuti rancangan pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Menaikkan alokasi PLN untuk belanja mesin perang merupakan sebuah keniscayaan sepanjang tetap mengacu pada disiplin fiskal. Munculnya kembali gagasan untuk mengalokasikan PLN sebesar US$ 124 miliar bagi belanja pertahanan periode 2025-2044 perlu dihitung secara seksama dari aspek resiko fiskal.

Apakah pemerintah mempunyai kapasitas fiskal untuk berutang US$ 124 miliar? Bagaimana resiko kegiatan itu terhadap pengelolaan keuangan negara, termasuk debt-to-GDP ratio dan kapasitas pemerintah membayar utang dalam jangka panjang?

Kalaupun pemerintah memiliki kapasitas fiskal, bagaimana dengan daya serap PLN sebesar US$ 124 miliar? Berdasarkan pengalaman MEF 2010-2024, salah satu tantangan yang dihadapi adalah daya serap PLN oleh Kementerian Pertahanan.

Mengacu pada data sementara untuk MEF 2020-2024, setidaknya terdapat sekitar US$ 2,3 miliar PLN yang tidak terserap meskipun Menteri Keuangan telah menerbitkan Penetapan Sumber Pembiayaan. Angka demikian mungkin saja bertambah mengingat batas akhir MEF adalah 31 Desember 2024.***

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar