Ziyad Falahi,

Nasib Miliaran Ton Emas di Era Transisi Pemerintahan

Senin, 06/05/2024 19:35 WIB
Penyidik Kejaksaan Agung melakukan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan kegiatan usaha komoditi emas berdasar Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Prin-14/F.2/Fd.2/05/2023. Sprindik yang diteken 10 Mei 2023 itu berisi pengusutan kasus korupsi sektor emas yang terjadi dalam rentang waktu 12 tahun, yakni periode 2010 hingga 2022.

Penyidik Kejaksaan Agung melakukan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan kegiatan usaha komoditi emas berdasar Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Prin-14/F.2/Fd.2/05/2023. Sprindik yang diteken 10 Mei 2023 itu berisi pengusutan kasus korupsi sektor emas yang terjadi dalam rentang waktu 12 tahun, yakni periode 2010 hingga 2022.

Jakarta, law-justice.co - Kekayaan Indonesia telah menjadi bagian penting dalam proses sejarah peradaban manusia. Manuskrip dan catatan perjalanan masa lampau mengilustrasikan bagaimana Indonesia menjadi salah satu penyokong bagi tumbuh berkembangnya teknologi dan kemajuan sains dunia.

Kerajaan dan Kesultanan Indonesia mewariskan berbagai peninggalan yang bernilai tinggi bukan hanya dari segi estetika dan budaya, namun juga ekonomis dan politis. Sulit dipungkiri, pembangunan yang kita rasakan hari ini tidak muncul dengan sendirinya, melainkan merupakan konversi dari penguasaan atas kekayaan peradaban Indonesia. Sejarah mencatat, berulang kali kekuatan besar dunia mencoba menguasai Indonesia baik secara ekonomi maupun kebudayaan.

Para penguasa dunia menyadari, tanpa gold, maka glory dan gospel akan sulit didapatkan (3G). Tak pelak, kolonialisme selama ratusan tahun dengan tidak lain merupakan upaya kekuatan eksternal untuk mengeksplorasi kekayaan nasional Indonesia.

Kini, konstelasi ekonomi dan politik dalam level internasional sedang mengalami krisis finansial. Semakin tingginya inflasi, maka nilai “uang” tidak lagi mampu diandalkan dalam menopang beban perkembangan Industri yang semakin pesat. Belum lagi, dunia juga tengah mengalami krisis energi dan krisis pangan kontemporer, di sisi lain bahan baku menjadi semakin langka dan mahal karena tingginya permintaan. Implikasinya, kekuatan-kekuatan bermodal besar justru kian agresif dalam mencari emas sebanyak banyaknya untuk menunjang perekonomian yang rentan krisis.

Dari catatan Booklet Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Tambang Emas Perak, maka dapat disimpulkan bahwa total sumber daya bijih di Indonesia menembus 14,9 miliar ton. Dapat disebutkan diantaranya dalam bentuk sumber daya logam 0,01 juta ton, cadangan bijih 3,56 miliar, cadangan logam 0,005 juta ton. Adapun dari sisi cadangan bijih emas di Indonesia, paling besar berada di Papua yang menguasai 52 persen. Bahwa cadangan emas di dunia diprediksi mencapai 50.300 ton per Au yang mana Indonesia sendiri menyumbang sebanyak 5 persen atau 2.600 ton Au atau sekitar 5 persen cadangan dunia.

Menyadari bahwa proses pencarian dan perebutan “gold” justru telah mencapai titik puncak (klimaks) pada era kekinian, maka sebuah mekanisme pengawasan perlu untuk segera didirikan. Tujuan mekanisme pengawasan tersebut adalah melindungi kekayaan alam Indonesia dari eksplorasi para kekuatan eksternal Kedua, Mewujudkan ketahanan Nasional Indonesia ditengah krisis finansial, krisis energi dan krisis pangan yang tengah terjadi  Yang terakhir adalah, melakukan kajian terhadap kekayaan alam Indonesia ditinjau dari berbagai lingkup keilmuan (interdisipliner) Seni, sejarah, ekonomi, dan sosial-politik.

Terlebih memasuki periode transisi yang diikuti pula oleh bonus demografi rakyat hanya disuguhkan penemuan penemuan tambang emas. Omnibus Law disalahkan dan kembali diwariskan kepada presiden terpilih dengan segala problematikanya. Rakyat juga harus memeras tenaga hanya untuk memenuhi jargon investasi yang sudah gagal dengan Tax Amnesty. Hilirisasi tambang yang dijanjikan dalam debat dapat menguap jika pemerintah tidak segera memastikan langkah non finansial dalam rangka mengatasi kemiskinan. Sudah seharusnya penemuan emas tersebut adalah puncak kejayaan Indonesia jika para ilmuwan seniman dan budayawan mampu menafsirkan sebagai masa satrio piningit.

Namun sayangnya, tidak ada seorang pun ahli di Indonesia yang mampu merumuskan sebuah motivasi historis dengan menyatakan bahwa Indonesia telah memasuki era presiden ketujuh. Mengutip istilah jawa, wanti wanti terhadap penemuan emas dan hilirisasi yang belumlah tentu akan menjadi komoditas publik tentu butuh dukungan segenap rakyat.

Bagi presiden ketujuh Joko Widodo (Jokowi), adalah sangat beresiko dianggap publik bukan satrio piningit atau satrio pinandhito. Sesuai urutan kepresidenan, satrio kinunjoro murwo kuncoro adalah Soekarno sangat bisa dibuktikan dengan data sejarah. Apalagi fakta bukan kebetulan, satrio piningit hamongtuwuh yang merupakan presiden kelima adalah putrinya, yakni Megawati. Hal ini juga menguatkan fakta tentang satrio jinumput sumela atur yang merupakan Presiden Habibie. Tidak perlu pula berpolemik tentang orde baru karena satrio mukti wibowo kesandung kesampar menunjukkan rehabilitasi nama baik, yang berlaku bagi semua titisan Jawa. Hadirnya koalisi SBY dengan Jokowi juga menunjukkan bahwa tidak ksatria ketika gelar satrio boyong pambukaning gapura bukan menjadi milik Cikeas.

Sejarah yang ditulis Ronggowarsito adalah sangat terukur. Sekali lagi, mengemukakan eksistensi tujuh satrio adalah akurat dengan Gus Dur diakui sebagai satrio lelono topo ngrame. Dinasti politik bukan alasan ilmiah untuk mengabaikan sila keempat Pancasila, yakni musyawarah dalam rangka konsolidasi kearah indonesia maju. Indonesia siap membuka lembaran baru dengan Presiden Jokowi dianugerahi gelar satrio pinandhito. Lalu mengapa Kraton Jogja khususnya tidak berinisiatif menganugerahkan gelar satrio pinandhito bagi Jokowi yang sudah yatim piatu?

Lagipula, keraton Jogja terancam selesai jika puteri perempuan dipaksakan. Kraton bisa dicecar dan jejak intervensi keraton terhadap demokrasi bisa dicurigai. Sultan ground bisa jatuh ke tangan rakyat Jogja. Dengan kata lain, secara simbolik dinasti berakhir bisa menjadi era transisi yang terlalu populis

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar