Resmi, MK Tolak Uji Formil UU Kesehatan yang Diajukan IDI

Jum'at, 01/03/2024 12:50 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 atau legalisasi ganja untuk medis dan menilai materi yang diuji adalah kewenangan DPR dan pemerintah. Sidang uji materi tersebut dengan pemohon Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Robinsar Nainggolan

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 atau legalisasi ganja untuk medis dan menilai materi yang diuji adalah kewenangan DPR dan pemerintah. Sidang uji materi tersebut dengan pemohon Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang diajukan oleh sejumlah organisasi profesi kesehatan, termasuk Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).

Ketua MK, Suhartoyo menyampaikan kesimpulan bahwa mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, permohonan pengujian formil para pemohon diajukan tidak melewati tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil, para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, dan pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

"Mengadili, nenolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Suhartoyo saat membacakan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/2).

IDI sebelumnya menilai proses pembuatan UU Kesehatan cacat formil, terutama terkait tidak adanya partisipasi masyarakat yang bermakna serta penghambatan partisipasi masyarakat saat pembentukan UU itu.

MK pun memeriksa keterangan para pihak di persidangan, keterangan ahli dan saksi baik yang diajukan oleh para pemohon, pemerintah, maupun pihak terkait baik yang didengarkan keterangannya dalam persidangan, maupun yang memberikan keterangan tertulis melalui Kepaniteraan MK.

Setelah mencermati fakta-fakta hukum yang ada, MK menemukan empat hal, yakni para pemohon yang merupakan lima organisasi profesi diundang untuk konsultasi publik ataupun public hearing dalam pembentukan UU 17/2023.

Lalu, pembentuk undang-undang telah melakukan kegiatan public hearing, focus group discussion, dan sosialisasi dalam rangka memenuhi hak untuk didengar (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan (right to be considered), dan hak untuk diberi penjelasan (right to be explained) terhadap keterangan atau pendapat ahli serta masyarakat dalam pembentukan undang-undang.

Kemudian, saksi yang diajukan baik oleh para pemohon, pemerintah dan pihak terkait yang mewakili berbagai organisasi, dalam keterangannya mengakui diundang dalam kegiatan konsultasi publik yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang dan dapat memberikan masukan dan saran terhadap materi muatan rancangan UU Kesehatan.

Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah memberikan akses yang terbuka kepada masyarakat terhadap rancangan undang-undang, naskah akademik, serta memberikan saluran untuk menyampaikan pendapat masyarakat melalui laman resmi Kementerian Kesehatan yaitu https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ dalam bentuk pengisian form pendapat dan masukan secara daring (online).

Selain itu, MK juga mempertimbangkan dalil para pemohon yang menyatakan UU 17/2023 cacat formil lantaran dalam pembentukannya tidak mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam pembahasan rancangan undang-undang.

Terkait hal itu, MK pada intinya menilai bahwa UU 17/2023 tidak menjadi cacat formil meskipun dalam proses pembahasan rancangannya tidak melibatkan DPD dan tidak juga meminta pertimbangan DPD.

Adapun setelah mempertimbangkan dalil-dalil para pemohon, MK berkesimpulan bahwa proses pembentukan UU 17/2023 tidak bertentangan dengan UUD 1945.

"Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan UU 17/2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 17/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata MK.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar