Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

IT KPU Cacat Lahir, Fabrikasi Kesalahan & Kecurangan: Audit Forensik!

Rabu, 28/02/2024 13:56 WIB
Petugas memantau hasil rekapitulasi sementara pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia di Jakarta, Kamis (15/2/2024). Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan hasil sementara penghitungan suara dalam Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) yang menunjukan hasil sementara itu, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka unggul. Adapun hasil resminya akan diumumkan oleh KPU paling lambat pada 35 hari setelah pemungutan su

Petugas memantau hasil rekapitulasi sementara pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia di Jakarta, Kamis (15/2/2024). Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan hasil sementara penghitungan suara dalam Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) yang menunjukan hasil sementara itu, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka unggul. Adapun hasil resminya akan diumumkan oleh KPU paling lambat pada 35 hari setelah pemungutan su

Jakarta, law-justice.co - Sistem IT KPU, Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi), atau apapun namanya, harus segera dihentikan. Karena terbukti ada cacat bawaan sejak ‘lahir’, sehingga tidak layak fungsi, tidak layak pakai.

Sistem IT KPU tersebut terbukti telah memproduksi atau memfabrikasi banyak kesalahan perhitungan suara TPS. Bukan satu atau dua kesalahan. Tetapi ribuan kesalahan.

Kesalahan perhitungan suara tersebut hampir dapat dipastikan bukan kesalahan biasa, bukan kesalahan input data oleh petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), bukan kesalahan manusia (human error), dan juga bukan kesalahan sistem membaca data, seperti klaim KPU.

Tetapi, kesalahan perhitungan suara ini nampaknya difabrikasi, oleh Sistem IT KPU, secara otomatis, sistematis, dan masif, melalui program dan algoritme.

Sehingga masuk kategori kejahatan IT dan kejahatan pemilu yang terorganisir, dan terencana sejak awal. Kalau terbukti, perbuatan ini termasuk pidana sangat berat. Mungkin bisa diancam hukuman mati.

Alasannya, setiap petugas KPPS pasti tahu kalau jumlah pemilih per TPS maksimal hanya 300 pemilih (suara).

Karena itu, tidak mungkin ada petugas KPPS yang berani bertindak nekat, memanipulasi perolehan suara di TPS secara brutal, dengan meng-input total perolehan suara lebih dari 300. Karena, manipulasi seperti ini sama saja dengan bunuh diri, karena pasti langsung ketahuan, dan bisa dipidana.

Di lain sisi, kesalahan perolehan suara di Sistem IT KPU tersebut sangat luar biasa besar, bisa jauh lebih besar dari angka maksimal 300 per TPS. Karena itu, kesalahan seperti itu tidak masuk akal dilakukan oleh petugas KPPS.

Artinya, kesalahan, tepatnya kejahatan, seperti itu, tidak bisa tidak, diproduksi dan difabrikasi oleh algoritme secara otomatis.

Karena itu, jumlah suara per TPS di Sistem IT KPU dengan sengaja tidak dibatasi 300, agar program bisa melakukan simulasi perolehan suara sesuai target persentase yang ditetapkan.

Tentu saja, Sistem IT KPU yang tidak membatasi jumlah suara per TPS sangat tidak normal, dan menunjukkan ada niat jahat untuk melakukan kecurangan pemilu.

Sistem IT yang baik seharusnya dapat mengeliminasi kemungkinan human error. Sebaliknya, Sistem IT KPU ini sengaja memberi fasilitas untuk melakukan kesalahan, secara sistem, yang kemudian dilabelkan sebagai human error.

Banyak “Kesalahan” perolehan suara di Sistem IT KPU ini terlihat sangat janggal, dengan jumlah perolehan suara lebih dari 300 per TPS, dan tidak mengikuti pola tertentu, sehingga menunjukkan “kesalahan” tersebut bukan kesalahan konversi.

Sebagai contoh, angka depan X (artinya nol), misalnya X58, bisa diisi dengan angka berapa saja. Tidak terpola. X bisa diganti dengan angka 1, 5, 7, 8, atau lainnya, menjadi 158, 558, 758 atau 858. Kesalahan seperti ini jelas difabrikasi oleh Sistem.

Contoh lainnya, perolehan suara 117 bisa berubah menjadi 617. Tidak ada berpola. Artinya, bukan kesalahan konversi: karena, kenapa angka 1 pertama terbaca menjadi 6, dan angka 1 kedua terbaca benar? Artinya, kesalahan ini diproduksi oleh algoritme, untuk mencapai persentase tertentu, untuk paslon tertentu.

Dan ada juga “kesalahan input” yang lebih janggal lagi, yaitu perolehan suara 80 berubah menjadi 720, seperti terjadi di TPS 026 Kelurahan Joglo, Jakarta Barat.

Bahkan, petugas KPPS di TPS tersebut secara jelas mengatakan, bahwa yang bersangkutan tidak bisa input perolehan suara untuk paslon 02 (sebesar 80), karena di situ sudah tercantum angka 720 yang tidak bisa diubah.

Sekali lagi, kesalahan seperti ini jelas bukan kesalahan manusia, dan bukan kesalahan konversi sistem, tetapi kesalahan yang disengaja dan terprogram.

Kesalahan dan manipulasi terprogram ini terbongkar setelah tim dari salah satu paslon lainnya menanyakan keanehan data di Sistem IT KPU untuk TPS tersebut.

Kejadian lebih ekstrim lagi, dan ini pasti di luar akal sehat manusia dan petugas KPPS, terjadi pada 15 Februari 2024. Antara pukul 19:00 hingga 19:30, perolehan suara paslon 01 berkurang lebih dari 3,4 juta suara.

KPU bereaksi dan menjelaskan, memang benar ada pengurangan suara paslon 01, yang disebabkan ada koreksi perolehan suara di salah satu TPS, yaitu TPS 006 di Kelurahan Kota Dalam, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Menurut penjelasan KPU, perolehan suara paslon 01 di TPS tersebut sebelumnya tercatat 3.514.615.

Penjelasan ini sangat tidak masuk akal. Karena, sangat mustahil petugas KPPS bisa melakukan salah input mencapai 3.514.615.

Masih menurut penjelasan KPU, hasil perolehan suara yang benar di TPS tersebut adalah 35 untuk paslon 01, 146 untuk paslon 02, dan 15 untuk paslon 03.

Tetapi, ada salah input sehingga paslon 01 mendapat 3514615 suara, yang merupakan penggabungan dari perolehan suara semua paslon, yaitu 35-146-15. Karena itu, sangat tidak mungkin bisa ada salah input seperti itu (angka gabungan).

Artinya, penjelasan KPU sangat absurd. Sangat tidak masuk akal.

Kesalahan dengan menggabungkan perolehan suara paslon tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia (petugas KPPS), dan juga tidak mungkin merupakan kesalahan konversi, yang menggabungkan perolehan suara menjadi 7 angka, menjadi 3.514.615: tiga juta lima ratus sekian …

Artinya, penjelasan KPU terkait pengurangan suara paslon 01 tersebut diduga tidak benar, alias bohong. Atau memang hanya dikurangi saja tanpa dasar?

Kesimpulannya, alasan KPU, bahwa kesalahan di Sistem IT KPU, di Sirekap, hanya salah input atau human error, dan salah konversi, tidak bisa diterima. Tentu saja, permintaan maaf KPU juga tidak bisa diterima.

Kesalahan sistematis dan masif ini harus diusut tuntas, melalui audit forensik.

Karena, kalau bisa terjadi kesalahan di 1 TPS, di 1.000 TPS, maka sangat mungkin juga terjadi kesalahan di 10.000 TPS, atau 100.000 TPS, bahkan lebih.

Artinya, siapa yang bisa menjamin bahwa kesalahan di Sistem IT KPU hanya terjadi di 2.325 TPS, seperti pengakuan Ketua KPU Hasyim Asy’ari?

Salah satu area yang perlu diaudit dan diselidiki adalah siapa pelaku yang melakukan salah input: manusia atau mesin?

Siapa yang input perolehan suara 3.514.615 untuk paslon 01 di TPS 006, provinsi Lampung, dan siapa yang mengurangi suara paslon 01 tersebut? Apakah ada berita acaranya? Semua ini wajib diusut tuntas.

Sambil menunggu audit forensik, maka Sistem IT KPU tersebut harus dihentikan, dan tidak boleh digunakan lagi.

Audit forensik merupakan sebuah keharusan untuk mencari keadilan dan kebenaran, agar kesalahan dan kejahatan pemilu melalui IT tidak terjadi lagi di masa depan.

Yang bisa memerintahkan audit forensik Sistem IT KPU hanya DPR, melalui hak angket, untuk selamatkan Kedaulatan Rakyat.

Rakyat harus mengawal dan memastikan hak Angket Kejahatan Pemilu harus terlaksana.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar