Koalisi Masyarakat Sipil:

Tolak Tanda Kehormatan & Adili Para Jenderal Terduga Penjahat HAM

Rabu, 28/02/2024 11:42 WIB
Presiden Jokowi Resmi Beri Pangkat Jenderal Kehormatan pada Prabowo. (Tangkapan Layar Youtube).

Presiden Jokowi Resmi Beri Pangkat Jenderal Kehormatan pada Prabowo. (Tangkapan Layar Youtube).

Jakarta, law-justice.co - Koalisi Masyarakat Sipil secara resmi mengecam pemberian kenaikan pangkat kehormatan Jenderal (HOR) bintang empat untuk Menteri Pertahanan (Menhan RI), Prabowo Subianto.

Dalam keterangan resminya, Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa hal ini tidak hanya tidak tepat tetapi juga melukai perasaan korban dan mengkhianati Reformasi 1998.

Menurut mereka, pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto merupakan langkah keliru.

"Gelar ini tidak pantas diberikan mengingat yang bersangkutan memiliki rekam jejak buruk dalam karir militer, khususnya berkaitan dengan keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu. Pemberian gelar tersebut lebih merupakan langkah politis transaksi elektoral dari Presiden Joko Widodo yang menganulir keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu" ujar Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan resminya yang diterima redaksi.

Perlu diingat bahwa berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP, Prabowo Subianto telah ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan termasuk melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis pro demokrasi pada tahun 1998.

Berdasarkan surat keputusan itu Prabowo Subianto kemudian dijatuhkan hukuman berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan.

"Pemberian pangkat kehormatan terhadap seseorang yang telah dipecat secara tidak hormat oleh TNI sejatinya telah mencederai nilai-nilai profesionalisme dan patriotisme dalam tubuh TNI." jelasnya.

Selain itu, apresiasi berupa pemberian kenaikan pangkat kehormatan inipun justru bertentangan dengan janji Presiden Joko Widodo dalam Nawacitanya untuk menuntaskan berbagai kasus Pelanggaran berat HAM di Indonesia sejak kampanye Pemilu di tahun 2014 lalu.

"Terlebih, pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo telah memberikan pidato pengakuan dan penyesalan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat salah satunya kasus penculikan dan penghilangan paksa yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat sejak tahun 2006." tuturnya.

Dengan demikian, hal ini haruslah beriringan dengan konsistensi, komitmen, dan langkah nyata dari pemerintah untuk mengusut tuntas kasus ini dan mengadili para pelaku alih-alih melindungi mereka dengan tembok impunitas dan memberikan kedudukan istimewa dalam tatanan pemerintahan negara ini.

Selain itu, pemberian gelar kehormatan bagi Prabowo Subianto juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap gerakan Reformasi 1998. Kebebasan yang kita nikmati hari ini merupakan buah perjuangan para martir dari Gerakan Reformasi 1998.

"Bagaimana mungkin, mereka yang dulu ditumbangkan oleh Reformasi 1998 justru hari ini ingin diberikan penghargaan. Bahkan, Prabowo Subianto belum pernah diadili atas tuduhan kejahatan yang dia lakukan. Jadi, nama Prabowo Subianto masih masuk dalam daftar hitam terduga pelaku kejahatan kemanusiaan karena belum pernah diputihkan atau dibersihkan melalui sidang pengadilan yang terbuka melalui Pengadilan HAM ad hoc yang digelar untuk mengadili kasus penculikan dan penghilangan aktivis 1997-1998."

Serangkaian tindakan Presiden Joko Widodo yang kerap kali memberikan apresiasi dan karpet merah bagi terduga pelaku kejahatan HAM di Indonesia tentu turut memperkuat belenggu impunitas di bumi pertiwi. Hal ini kembali menunjukan bahwa human rights vetting mechanism tidak pernah dijalankan secara serius dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak:

1. Presiden untuk membatalkan rencana pemberian pangkat kehormatan terhadap Prabowo Subianto yang diduga terlibat dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
2. Komnas HAM RI mengusut dengan serius kasus kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan memanggil serta memeriksa Prabowo Subianto atas keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
3. Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat dalam hal ini kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
4. Pemerintah dalam hal ini Presiden beserta jajarannya menjalankan rekomendasi DPR RI tahun 2009 yakni untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc, mencari 13 orang korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia;
5. TNI-POLRI untuk menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam aktivitas politik.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar