Tudingan Tabrak Konstitusi dan Intervensi Pemilu, Picu Isyu Pemakzulan Presiden Joko Widodo
Riuh Pemakzulan di Tengah Sengkarut Pemilu
Emak-emak PETISI 100 mendesak pemakzulan Presiden Joko Widodo.
law-justice.co - Sebuah fenomena politik tengah terjadi di Indonesia. Di tengah hiruk pikuk kampanye Pemilu 2024, tiba-tiba terselip wacana pemakzulan presiden. Tentunya ini merupakan anomali, sebab Pemilu mestinya merupakan mekanisme suksesi demokrasi. Isyu pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo bukanlah barang baru. Tercatat sejak periode I kepresidennya (2014-2019) wacana ini kerap disuarakan lantang oleh kalangan oposisi. Lantas apa yang membuat wacana pemakzulan kali ini berbeda?
Mantan KASAD Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto menilai masif dan maraknya kecurangan Pemilu 2024 merupakan momentum untuk segera memakzulkan Presiden Joko Widodo. “Pemakzulan perlu dilakukan, sebaiknya sebelum Pemilu. Supaya tanpa ada Pak Jokowi sebagai presiden yang berkuasa (saat Pemilu), tidak bisa melaksanakan memerintahkan kekuasaannya itu menggunakan kekuasaannya itu untuk cawe-cawe pelaksanaan Pemilu sehingga tidak jujur dan tidak hadir,” ujar Tyasno.
Menurut Tyasno, puncak cawe-cawe Jokowi adalah saat memberikan restu pada anaknya untuk menjadi Cawapres dengan jalur Mahkamah Konstitusi. Dia juga merasa tidak berkepentingan, meskipun pasangan Gibran merupakan juniornya di TNI.
“Justru in adalah panggilan Sapta Marga. Kami landasan Sapta Marga, bahwa negara ini disusun atas dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang asli. Di mana posisi seorang Presiden itu harus adil dan jujur terhadap seluruh rakyat Indonesia, tidak bisa kemudian kepada salah satu calon saja,” tuturnya kepada Law-Justice, Kamis (1/2/2024). Dia pun menegaskan, meskipun sampai Pemilu usai, Jokowi tak juga dimakzulkan, dia akan terus melakukan gerakan untuk memakzulkan.
Mantan KASAD Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto.
Sementara itu, di sebuah Hotel di Kawasan Matraman, Jakarta Timur, pada Kamis (1/2/2024) berkumandang seruan pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo. Dalam kegiatan yang digagas oleh Petisi 100 tersebut, sejumlah tokoh pro demokrasi dan politisi tampak hadir memenuhi function hall hotel tersebut. Acara yang sedianya merupakan diskusi dan refleksi dari Petisi 100, berubah menjadi mimbar bebar mengkritik pemerintahan Jokowi dan kecurangan dalam Pemilu dengan tema utama pemakzulan terhadp Presiden Joko Widodo.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyatakan bahwa pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah tidak bisa ditunda lagi. Apalagi kata dia, setelah Jokowi mengatakan pemimpin negara boleh berkampanye dan memihak asal tidak menggunakan fasilitas negara. Dia mengatakan, Jokowi jelas-jelas sudah banyak melakukan pelanggaran sehingga layak dimakzulkan.
"Di negara normal, (Presiden) sudah pasti turun. Tetapi Indonesia saat ini dalam kondisi yang tidak normal maka itu rakyat harus membuat normal," kata Anthony. Ekonom senior itu melanjutkan, pernyataan Jokowi soal presiden boleh berkampanye dan berpihak sesungguhnya mengabaikan moral dan etika. Serta jelas-jelas melanggar sumpah jabatan presiden yang tertera di Pasal 9 UUD 1945 yang menegaskan akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
"Berpihak adalah sudah jelas bahwa ini menunjukkan ketidakadilan dan melanggar Pasal 9 (UUD 1945). Maka dari itu sudah tidak ada tempat lagi Joko Widodo bisa meneruskan kepemimpinannya," tegas Anthony.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan (berdiri) di acara Sarasehan Petisi 100 dengan tema `Lengserkan Joko Widodo Segera: Rakyat Siap Melawan Politik Dinasti dan Pemilu Curang`, di Hotel Balairung, Jalan Matraman Raya, Jakarta Pusat, Kamis (1/2/2024).
Mantan Juru Bicara Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie Massardi menegaskan bahwa gerakan pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disuarakan kelompok petisi 100 harus disegerakan. Meski kata dia, sejumlah pihak menilai "cost" pemakzulan Jokowi ini terlalu besar karena saat ini Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu). Pasalnya kata dia, jika pemilu tetap berjalan tanpa mengindahkan petisi 100 maka biayanya akan lebih mahal. "Siapa yang menjamin tidak akan chaos setelah pemilu?" kata Adhie.
Adhie Massardi yang saat ini masuk dalam Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin (Timnas Amin) menyebut, Pemilu 2024 adalah yang paling buruk dalam sejarah. Pasalnya, kecurangan sudah terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) yang notabene institusi yang bertugas menyelesaikan sengketa pemilu. "Itu sebabnya saya meyakini kalau pemilu ini berjalan dengan cawe-cawe yang luar biasa, endingnya pasti chaos," tegas Adhie Massardi.
"Lalu ada pertanyaan pemilu kan sudah terjadwal, sudah diatur oleh konstitusi, iya, dia akan tetap berjalan dengan atau tanpa Jokowi. Kan masih ada KH Maruf yang bisa menjadi pelaksana penanggung jawab? jadi nggak ada masalah," tandasnya.
Tanggapan lebih keras datang dari aktifis senior Bambang Beathor Suryadi, dia mengajak audiens untuk melakukan langkah kongkrit, bukan sekedar wacana. Dia lantas mengajak untuk menghadap ke Wakil Presiden Maruf Amin. Menurut Beathor, gerakan pemakzulan ini mesti didukung dan dipimpin oleh Wapres Maruf Amin. Sebab, jika Jokowi dimakzulkan maka secara otomatif Wapres akan menjadi Presiden.
Suasana forum yang memanas tak bisa didinginkan oleh pendingin ruangan. Pengacara cum aktifis Eggi Sujana memberikan tantangan yang lebih teknis. “Saya tak akan banyak bicara. Bagaimana kalu tanggal 9 (Februari) kita turun ke jalan,” ajaknya. Ajakan ini ditimpali oleh perwakilan emak-emak, “Kelamaan!”
Acara ini dipungkasi dengan kesepakatan akan membicarakan hal teknis secara tertutup dan terbatas. Juru bicara Petisi 100 Marwan Batubara menyampaikan pandangan Petisi 100. Menurutnya, Pemilu 2024 khususnya Pilpres tinggal beberapa hari lagi. Atmosfir politik pemilu yang terasa saat ini adalah jauh dari nilai-nilai demokratis, jujur dan adil. Pemerintah tidak menempatkan diri sebagai penjaga demokrasi tetapi justru pengancam dan perusak demokrasi. Demikian juga dengan KPU dan Bawaslu.
Marwan menyampaikan kelompok Petisi 100 bersama dengan Elemen Perjuangan Rakyat lain, termasuk perwakilan Timses Paslon No.1 dan Paslon No.3 mempunyai lima poin pernyataan sikap. Pertama, mengutuk keras perilaku Jokowi yang telah menginjak-injak demokrasi dan menggantinya dengan politik penghalalan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan melalui politik dinasti yang pro-oligarki dan bahkan pro-monarki. Rezim Joko Widodo ini telah merendahkan marwah bangsa Indonesia melalui pentasbihan diri sebagai Presiden yang berdiri di atas Trias Politika, berfungsi sebagai figur yang rakus akan kekuasaan.
Kedua, mendesak Joko Widodo, demi kebaikan diri dan keluarga, serta demi tegaknya marwah bangsa Indonesia sebagai negara berdaulat yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip moral Pancasila dan hukum, agar segera mengundurkan diri dari jabatan sebagai Presiden RI. Sebagian besar rakyat sudah tidak memiliki kepercayaan dan harapan kepada Joko Widodo.
Ketiga, mendesak DPR agar segera memulai proses pemakzulan Jokowi atas perbuatan yang dikualifikasi melanggar hukum dan perbuatan tercela sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Pengabaian DPR menjadi bukti atas mandul dan berkhianatnya DPR pada aspirasi rakyat. Partai-partai pendukung rezim tiranik dan monarkis yang tersendera tidak layak dipilih rakyat!
Keempat, kepada lembaga penegak hukum agar mengusut dan menyidik berbagai dugaan korupsi dan pelanggaran HAM berat Joko Widodo, serta menindaklanjuti dengan serius laporan masyarakat atas kejahatan Nepotisme yang dilakukan Jokowi dan Keluarga, terutama melanggar Pasal 22 UU No.28 Tahun 1999 dan TAP MPR No.11/1998 yang masih berlaku.
Juru bicara Petisi 100 Marwan Batubara.
Kelima, mengajak seluruh elemen perjuangan dan rakyat Indonesia untuk melakukan perlawanan dan pembangkangan atas perbuatan curang rezim Joko Widodo dalam Pilpres 2024. Menolak keras pasangan haram yang didukung dan direkayasa oleh Istana melalui KKN yang melibatkan Lembaga Yudikatif, MK dan sejumlah Partai yang tersendera, yaitu Prabowo-Gibran yang secara brutal telah mencederai amanat reformasi, konstitusi, dan hukum, serta azas-azas moral berupa kebenaran, kejujuran, transparansi dan keadilan.
Kepada Law-Justice, Marwan menyinggung tentang perjalanan Petisi 100. Menurutnya, gerakan pemakzulan yang mereka inisiasi tidak diniatkan untuk Pemilu saja. “Gerakan ini sudah berjalan sejak awal tahun lalu,” ujarnya. Marwan mengaku, gerakan pemakzulan ini tidak laku di kalangan politisi Senayan. “Berulang kali kami mengirimkan surat untuk audiensi, walhasil kami hanya diterima oleh perwakilan DPD,” ujarnya.
Namun, dia tidak kecil hati. Dia yakin, jika gerakannya disokong rakyat. Soal politisi Senayan yang abai, dia menilai saat ini merupkan momentum bagi wakil rakyat untuk merapatkan barisan. Dia juga menegaskan, jika partai-partai parlemen bersatu dan mendukung pemakzulan, maka waku yang diperlukan tidak akan lama. “Prosedurnya bisa sangat cepat,” ujarnya.
Namun, jika elit politik tidak mendukung, Petisi 100 akan tetap bergerak bersama rakyat. “rakyat punya hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat. Kami akan lakukan demonstrasi yang masif,” ujarnya.
Pro-Kontra Pemakzulan
Di tengah euphoria kalangan oposisi untuk melaksanakan pemakzulan, suara berlawanan datang dari Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis. Dia menilai upaya pemakzulan Jokowi cuma gimmick atau hanya sekedar main-main. Ia juga berpandangan, hal itu tidak perlu ditanggapi dengan serius, hanya buang-buang waktu saja. “Itu cuma gimmick untuk mencari perhatian, main-main saja. Tinggal tidur saja, karena buang-buang energi kalau ditanggapi dan direspon,” kata Margarito melalui keteranganya, Kamis (1/2/2024).
Margarito menyatakan bila hal tersebut hanya gimmick karena tidak ada elemen kunci yang akan melaksanakan upaya tersebut. Elemen kunci yang dia maksud adalah tokoh-tokoh politik seperti Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan lain-lain. “Kalau mereka semua merespon dan bertemu, baru bisa jalan ini ‘barang’, karena ada elemen kuncinya. Tapi kan ini tidak ada tokoh partai politik yang merespon, yang bisa meneruskan ke DPR menjadi sebuah laporan,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, Margarito juga menilai tidak ada tafsir yang bisa dijadikan alasan mereka untuk memakzulkan Presiden Jokowi, sehingga usulan tersebut tidak akan berpengaruh apa-apa. “Coba tunjukkan ke saya tafsir apa yang dipakai, tindakan kritis mana dari tindakan presiden yang bisa dijadikan alasan, tidak ada. Makanya saya bilang ini main-main, tinggal tidur saja, tidak perlu direspon,” ujarnya yang mengaku kalau sedari awal dirinya menilai upaya pemakzulan Presiden Jokowi hanya sekedar bikin ramai saja.
Margarito mengatakan kalau dirinya kebetulan sedang riset mengenai impeachment itu, sehingga paham persoalan tersebut. Dalam situasi sekarang, apalagi menjelang Pemilu 2024 yang tinggal beberapa hari lagi, kata dia, upaya pemakzulan menjadi barang mati, yang tidak bisa dimainkan, sehingga tidak perlu dibicarakan. “Seperti saya katakan tadi, kalau mau serius bicara impeachment, harus ada elemen kunci impeachment. Apa elemen kunci itu, ya politik, itu senjata politik. Tapi saya melihat elemen kunci tidak tercukupi, tidak tersaji sejauh ini,” pungkasnya.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis.
Pendapat berbeda disampaikan pakar hukum tata negara dari Themis Indonesia, Feri Amsari. Dia menekankan gugatan pemakzulan Jokowi dilindungi konstitusi. Jokowi dapat dimakzulkan sesuai mekanisme hukum berasar Pasal 7a dan 7b UUD 1945. Feri mewanti-wanti pelanggaran fatal yang dilakukan Jokowi adalah membuka ruang bagi anaknya untuk maju pilpres. “Apakah presiden sudah memenuhi syarat melanggar konstitusi? Dalam perspektif saya ya iya. Karena dia berpotensi melanggar hukum diantaranya karena suap, korupsi, perbuatan tercela, mengkhianati negara atau pidana berat lainnya. Awalnya dia katakan tidak, tapi akhirnya mendukung (Gibran). Sekarang bahkan mau turun berkampanye mendukung anaknya. Bukan tidak mungkin dia terlibat dalam mengatur putusan di MK,” kata Feri kepada Law-justice, Kamis (1/2/2024).
Akademisi Universitas Andalas ini juga mengingatkan soal janji Jokowi yang ingin membangun industri kendaraan publik dalam negeri, tetapi faktanya sama sekali tidak ada. Lalu, dalam konteks pemberantasan korupsi, Jokowi sempat berkata soal penguatan KPK, namun yang terjadi sebaliknya. “Dan ini kebohongan yang tampak sekali,” ujar Feri.
Menurutnya, kini tinggal masalah politik di parlemen. Perlu kemauan politik dan keberanian dari parpol menggagas hak angket hingga hak menyatakan pendapat untuk proses pemakzulan Jokowi. “Hukum memungkinkan, tapi secara politik apakah DPR mau. Di MK juga nanti menentukan hingga akhirnya di MPR yang ujung memutuskan. Tanpa ada keberanian politik menegakkan konstitusi, ya politik hanya basa-basi biasa,” kata dia.
Sementara itu, Politisi PDIP TB Hasanuddin menyatakan bila wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Sebab, pemakzulan atau impeachment presiden diatur dalam pasal 7 B (ayat 1-7) UUD 1945. "Memang tidak mudah, tapi bukan hal yang mustahil dilakukan karena memang diatur dan tidak melanggar undang-undang," kata TB Hasanuddin saat dihubungi, Jumat (01/02/2024).
Legislator Komisi I tersebut mengungkapkan ada berbagai tahapan yang harus dilalui sebelum memakzulkan presiden hasil pemilihan langsung oleh rakyat. TB Hasanuddin menjelaskan, proses pemakzulan terhadap presiden diawali dengan penggunaan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) oleh DPR RI. Adapun UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) sudah mengatur soal penggunaan HMP. Merujuk Pasal 79 UU MD3, bahwa HMP merupakan hak DPR untuk menyikapi kebijakan pemerintah ataupun kejadian luar biasa yang terjadi di dalam maupun mancanegara.
HMP juga untuk menanggapi dugaan bahwa presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela. "Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR. Bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna," tuturnya.
Dia juga menegaskan, ada syarat lain untuk meloloskan usul penggunaan HMP sebagaimana diatur Pasal 210 ayat (3) UU MD3, yakni diputuskan dalam rapat paripurna yang dihadiri dua pertiga dari seluruh anggota DPR. Selain itu, usul itu harus disetujui minimal dua pertiga dari anggota DPR yang mengikuti rapat paripurna. Baru setelah ada persetujuan dalam rapat paripurna, DPR menindaklanjutinya dengan pembentukan panitia khusus (pansus). Setelah pansus bekerja paling lama 60 hari, hasilnya lantas dilaporkan dalam rapat paripurna DPR.
"UU MD3 juga mengatur tentang pengambilan keputusan atas laporan hasil pansus dalam rapat paripurna yang harus dihadiri minimal dua pertiga dari jumlah seluruh anggota DPR," tuturnya.
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan TB Hasanuddin. (Sindonews.com)
Selanjutnya, hasil kerja pansus bisa dilanjutkan ke proses berikutnya jika disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga dari anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna. Jika hasil kerja pansus itu diterima, DPR meneruskannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bila MK menyatakan presiden terbukti melanggar undang-undang, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk mengusulkan pemakzulan kepada MPR. “Setelah itu MPR melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden,” sambung Hasanuddin.
Usul pemberhentian presiden pun baru bisa dibahas oleh MPR melalui sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat dari seluruh anggotanya. "Usul pemakzulan bisa diloloskan jika disetujui dua pertiga dari anggota MPR yang menghadiri rapat paripurna," tandasnya.
Lebih lanjut, Hasanuddin menegaskan isu pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo yang mencuat dalam beberapa hari terakhir ini jangan dianggap melawan hukum apalagi dianggap makar. "Ini masalah biasa dalam era berdemokrasi. Kalau syaratnya terpenuhi sesuai UU ya bisa saja dilakukan, dan kalau tak terpenuhi ya bukan masalah, tak perlu menjadi kontroversi publik," tandasnya.
Politikus PKS, Mardani Ali Sera menyebut soal opsi pemakzulan terhadap Presiden Jokowi merupakan bagian dari aspirasi masyarakat. Meskipun menurut Mardani proses pemakzulan itu akan memakan waktu yang tidak sedikit, namun jika suara tersebut datang dari masyarakat bisa menjadi satu opsi. "Kalau jadi dan faktanya verified, pemakzulan bisa menjadi salah satu opsi," kata Mardani melalui keteranganya, Jumat (2/2/2024).
Jokowi disebut mendorong putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden atau cawapres pendamping Prabowo Subianto. Selain itu, Jokowi diketahui memberikan rekomendasi strategis untuk pemenangan Prabowo-Gibran. Mardani mengatakan opsi pemakzulan itu terbuka lantaran cawe-cawe Jokowi menabrak banyak peraturan. Hal itu, menurut dia, berbahaya bagi proses demokrasi. "Memang cawe-cawe-nya berbahaya sekali. Menabrak banyak hal," kata Mardani.
Cawe-cawe Jokowi, lanjut Mardani, perlu menjadi perhatian bersama lantaran itu merupakan indikasi ketidaknetralan Presiden dalam Pemilu 2024. "Cawe-cawe yang berlebihan ini bisa membuat banyak hal menjadi tidak jurdil, padahal syaratnya jurdil," kata Mardani.
Politik Dinasti di Balik Pemakzulan
Faizal Assegaf, salah satu motor Petisi100, menilai pengkhianatan terhadap konstitusi yang dilakukan Jokowi sudah jelas di depan mata. Dia menekankan bahwa seluruh rakyat memperbicangkan keterlibatan presiden dan adik ipar presiden meloloskan Gibran sebagai cawapres di MK. “Lalu secara cepat diakomodir oleh KPU. Jadi pengkhianatan itu mengakibatkan lembaga negara hancur, karena aturan ditabrak,” katanya.
Dia juga mewanti-wanti perbuatan Jokowi dalam tahun politik jelang pilpres. Jokowi pada mulanya berkata akan bersikap netral, akan tetapi realitas yang ada justru sebaliknya. Sikap politik Jokowi yang cenderung ingin ikut campur dalam pemenangan putranya dianggap perbuatan yant tidak patut. “Kalau mau jujur, ketika Presiden Jokowi mengumumkan dirinya cawe-cawe politik, itu kan perbuatan melawan konstitusi karena kepala negara harus bersifat netral,” kata dia yang menegaskan alasan kuat pemakzulan.
Namun, katanya, narasi yang disampaikan penggerak Petisi 100 mentok di parlemen. Wakil rakyat tidak merespons baik apa yang disuarakan rakyatnya. “Tokoh dalam petisi 100 berulang kali ke DPR ke pihak oposisi, (tapi) tidak bertemu dengan pimpinan fraksi (yang mau) menerima mereka dalam isu pemakzulan,” kata Faizal.
Faizal menuturkan semangat untuk gerakan pemakzulan ini sempat meredup sebelum akhirnya ada harapan dari Mahfud Md, cawapresnya Ganjar Pranowo dalam pilpres. Kata dia, inisiatif Mahfud membuat medium pelaporan kecurangan Pemilu ketika masih menjabat Menkopolhukam menjadi pintu masuk bagi Petisi 100. Mulanya, ia menyampaikan respons positif atas terbentuknya saluran pelaporan kecurangan di Kemenkopolhukam. Dan dibalas Mahfud dengan mengajak Petisi 100 datang ke kantornya. Singkat cerita, ada kesamaan pandangan soal situasi demokrasi akibat intervensi kekuasaan.
“Saya berkomunikasi dengan Pak Mahfud dalam konteks impeachment. Awalnya kita bicara soal gejolak dari akibatnya kepentingan politik kekuasaan yang jauh dalam pemilu,” kata dia.
“Pernyataan Pak Mahfud soal mekanisme pemakzulan presiden seolah mengonfirmasi kegelisahan Petisi 100. Jadi, kalau ada kesepakatan dari partai politik menegakkan keadilan yang menilai tidak perlu ada lagi intervensi kekuasaan Jokowi dalam pilpres, maka digelar sidang (mulai dari DPR, MK dan MPR) dan diminta mundur, itu bisa terjadi,” ia menambahkan.
Faizal Assegaf. (Detik.com)
Menurutnya, pemakzulan Jokowi perlu disegarakan. Sebab, kekacauan demokrasi dipicu karena ambisi dinasti politik yang sedang dibangun Jokowi. “Demokrasi ini tidak hanya memilih presiden tapi sebagai perekat persatuan. Demokrasi yang diinginkan rakyat adalah demokrasi yang pemilunya damai jujur dan adil, bukan demokrasi yang dibajak dinasti politik. Kalau bicara siapa biang kerok dari rusaknya demokrasi, itu ada Jokowi, adik iparnya, istrinya, Kaesang dan Gibran,” tutur dia.
Dia menegaskan perlu ada konsensus politik dari kekuatan di parlemen untuk merealisasikan pemakzulan Jokowi. Parpol seharusnya tidak perlu menunggu momen atau kejadian apapu lagi karena Jokowi sudah jelas membajak demokrasi lewat ambisi politiknya. “Enggak butuh satu tahun (untuk pemakzulan). Kalau ada konsensus politik yang menilai banyak terjadi penyimpangan kekuasaan, cawe-cawe politik jokowi dianggap merusak persatuan nasional,” kata dia.
“Cawe-cawe politik jokowi ini semakin meresahkan dan menimbulkan legitimasi, kita mengarah ke disintegrasi. Kalau cawe-cawe politik ini terus dilakukan, daerah-daerah bisa minta referendum untuk merdeka,” ujar Faizal.
Bicara soal kalkulasi politik di parlemen, Ubedilah Badrun mengatakan potensi pemakzulan memungkinkan terjadi. Analis politik dari kampus UNJ itu tak menafikan bahwa kekuatan oposisi yang ada kini belum cukup untuk mendominasi parlemen untuk pemakzulan kalau hanya bergantung pada kekuatan PDIP, Nasdem dan PKS. Tetapi, politik yang bersifat dinamis dan pragmatis bisa saja memungkinkan PAN, Demokrat dan Golkar berbalik arah melawan Jokowi.
“Golkar dan PAN bisa balik kanan. Saya nilainya politisi di dua partai itu politisi yang enggak punya harga. Politisi yang tidak punya idealisme,” kata Ubeid kepada Law-justice, Kamis (1/2/2024).
Dimulai dari Golkar, Ubeid menekankan historis Golkar mendukung Presiden Suharto semasa Orde Baru. Namun, Golkar juga tercatat dalam sejarah sebagai partai yang menyetujui lengsernya Suharto. Dalam situasi kekinian, pragmatisme Golkar pun bisa menjadi penentu sikap politiknya, menyusul psikologis partai di masa pilpres ini.
“Situasi politik internal Golkar itu tidak seperti kebanyakan bayangan orang. Saya menganalisis dari temuan di internal, misalnya keputusan Munas Golkar yang memutuskan capres dari Golkar adalah Airlangga. Nah airlangga ditugasi untuk melobi partai-partai agar capres atau cawapres dari Golkar. Makanya bergabung dengan Prabowo karena berharap jadi cawapres. Tapi tiba ditelikung Gibran melalui proses yang melukai demokrasi dan MK. Itu luka hatinya golkar itu dalam,” kata dia.
“Politik ini kan penuh drama, dan Airlangga itu sedang melakukan drama. Artinya potensi balik kanan bisa terjadi karena peristiwa itu,” ia memambahkan.
Adapun PAN, Ubeid melihat berpotensi balik kanan kalau ada proses hukum yang dilakukan aparat semisal KPK maupun Kejagung. Dia mengingatkan pengkondisian melalui politisasi hukum sempat terjadi di kubu Golkar dengan menyeret Airlangga sebagai saksi dalam kasus korupsi minyak sawit yang disidik Kejagung. “Maksudnya kalau ada penindakan dari KPK atau Kejagung memperkarakan Zulkifili Hasan karena punya sejarah terkait korupsi. Itu akan mempengaruhi psikologis politik. PAN juga pragmatis yang ikut arus, kanan-kiri ok,” kata dia.
Ubeid juga menekankan peranan DPD menjadi sentral dalam realisasi pemakzulan Jokowi. Komposisi kekuatan politik di parlemen bisa dipengaruhi, jika seluruh anggota DPD kompak menekan Jokowi untuk lengser. “Kan MPR ada berasal dari DPR sekira 500-an anggota. Selain itu ada DPD yang 100 orang sekian. Maka potensi impeachment itu bisa berasal dari DPD RI di ujungnya. Impeachment bisa dilakukan kepada Presiden Joko Widodo kalau semua argumen-argumen konstitusionalnya terbukti. Karena ini proses hukum sekaligus politik,” kata dia.
Ubeid menilai gerakan Petisi 100 didasari argumen secara konstitusional. Dalam hal pengkhianatan negara, Jokowi bisa saja diadili apakah memang menjual kedaulatan negara melalui kebijakannya. “Atau negara lebih mementingkan kepentingan asing dibanding kepentingan nasional dalam PSN, misal IKN, kereta cepat sampai proyek Rempang,” kata dia.
Menurutnya, jika pemakzulan Jokowi tidak bisa melalui mekanisme formal di DPR, maka kekuatan rakyat bisa jadi pilihan terakhir. Dia merujuk pernyataan sikap sivitas akademika berbagai kampus soal penyimpangan kekuasaan Jokowi bisa menjadi salah satu pemantik aksi massa. “Dan dalam situasi ini memungkinkan perubahan besar yang mengkibatkan Jokowi mundur tidak melalui mekanisme hukum, kalau people power terjadi. Tidak subversif, tapi lebih kepada gerakan sosial. Ada protes dari rakyat yang tumpah ruah di jalan, itu kan menjadi konsitusional. Itu hukumnya berlaku vox populis vox dei,” kata Ubeid.
“Dari situ kan bingkainya moralitas tinggi yang di atas konstitusi ada moral. Kalau para elite terlalu banyak melanggar moralitas, maka rakyat bisa menjadi penentu dari penyimpangan moralitas. Kalau itu terjadi, ya memungkinkan mundur sendiri Jokowi. Ini kan sudah banyak terjadi dalam historis Indonesia dan dunia,” imbuhnya.
Bicara di elemen pergerakan kampus, Gielbran Noor berkata ada perpecahan dalam gerakan mahasiswa. Ketua BEM UGM periode 2023 ini mengatakan isu pemakzulan tidak begitu populer di kalangan mahasiswa, meski berembus narasi bahwa Pemilu 2024 tidak akan berjalan jujur dan adil apabila Jokowi masih menjabat presiden. “Ada beberapa kalangan mahasiswa yang sepakat dengan itu. Ada juga gerakan yang melihat itu membahayakan sehingga ada sebagian besar menolak. Mungkin enggan terjadi chaos, itu yang jadi hambatan soal gagasan pemakzulan,” kata dia kepada Law-justice, Kamis (1/2/2024).
Selain itu, fragmentasi gerakan mahasiswa juga dipengaruhi sikap pragmatisme individu. Kata Gielbran, banyak mahasiswa yang telah bergabung tim pemenangan capres-cawapres. “Itu yang membuat gerakan mahasiswa terhambat. Makanya dari UGM lebih gerak sendiri. Saya cukup pesimistis karena begitu sulitnya menggandeng BEM-BEM itu, makanya gerakan tidak kolektif, hanya beberapa kampus saja karena mahasiswa sudah banyak terbeli,” kata dia.
Bahkan, katanya, muncul aksi balasan dari mahasiswa ketika ramainya UGM menyebut Jokowi sebagai alumni yang memalukan. Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi BEM PTNU disebut mendapat arahan dari elite politik untuk mengkonter gerakan. “Aliansi BEM PTNU yang dibayar untuk menegasikan gerakan BEM UGM. Menegasikan lewat rilis media, aksi saya disebut membuat ricuh,” ujar dia.
Gielbran Noor, Ketua BEM UGM periode 2023.
Meski begitu, Gielbran mempercayai masih banyak mahasiswa yang menilai demokrasi hari ini buruk akibat ambisi politik Jokowi. Dia mewanti-wanti keberpihakan Jokowi dan wacananya yang bakal berkampanye melanggar etika dan hukum. “Pejabat kita secara sengaja membodohi rakyat seperti Jokowi memampangkan karton berisi UU Pemilu. Padahal dalam UU itu menyatakan kampanye presiden adalah yang petahana. Kalau pun kampanye, itu harus cuti dan mendukung partai dan paslon yang didukungnya. Namun, bertabrakan pula dengan aturan bahwa presiden dan penyelenggara negara tidak boleh mencampur adukan wewenang dan kepentingan politik. Enggak mungkin Jokowi tidak mencampurkan itu,” tutur Gielbran.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja menegaskan seorang presiden boleh memihak kepada calon tertentu. Hal itu disampaikan Jokowi saat ditanya perihal menteri-menteri yang berasal dari bidang nonpolitik malah aktif berkampanye pada saat ini. Jokowi mengatakan, aktivitas yang dilakukan menteri-menteri dari bidang nonpolitik itu merupakan hak demokrasi.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja," ujar Jokowi didampingi Prabowo saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024). "Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye)," kata dia.
Cawe-cawe Presiden dalam kampanye mendapat perlawanan. Delik yang memberi legitimasi presiden melakukan kampanye digugat oleh seorang advokat bernama Gugum Ridho Putra. Dia mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar presiden dilarang berkampanye untuk peserta pemilu yang memiliki hubungan darah atau semenda hingga derajat ketiga.
Permohonan ini telah diregister dalam perkara nomor 166/PUU-XXI/2023. Dalam gugatannya, Gugum mengajukan perubahan terhadap sedikitnya 3 pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) terkait keikutsertaan presiden dalam kampanye pemilu.
Pasal 299 UU Pemilu yang mengatur hak presiden dan wakil presiden melaksanakan kampanye, diminta ditambahkan syarat "Tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak jabatan masing-masing.”
Syarat yang sama diminta ditambahkan pada Pasal 280 Ayat (2) UU Pemilu yang mengatur daftar pejabat negara yang dilarang ikut serta salam tim kampanye. Pasal itu diminta agar ditambahkan satu huruf, yaitu "l. presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta memiliki konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak jabatan masing-masing.”
Ilustrasi: Gedung Mahkamah Konstitusi
Kemudian, Pasal 281 Ayat (1), yang mengatur pelibatan presiden-wakil presiden dalam kampanye pemilu, diminta agar ditambahkan syarat yang sama, yaitu: "c. tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak jabatan masing-masing.”
Pemilu tinggal hitungan hari, masa kampanye tinggal sepekan saja. Eskalasi politik semakin meningkat dan sulit diprediksi. Namun, suara protes rakyat seolah makin diabaikan saja. Elit politik sibuk mendulang suara. Sambil menutup mata terhadap potensi kecurangan yang menghadang di depan mata.
Pemakzulan yang disampaikan sejumlah kalangan ini, sejatinya merupakan keresahan warga negara yang menilai arah pemerintahan semakin jauh dari dari amanah dan kepentingan rakyat.
Rohman Wibowo
Ghivary Apriman
Komentar