Tak Satu Suara Gerakan Mahasiswa Ihwal Isu Pemakzulan Jokowi

Sabtu, 03/02/2024 16:30 WIB
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi unjuk rasa di Kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa (21/6). Aksi yang bertepatan dengan hari ulang tahun Presiden Jokowi ini menuntut Presiden dan DPR untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam isu krusial. Robinsar Na

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi unjuk rasa di Kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa (21/6). Aksi yang bertepatan dengan hari ulang tahun Presiden Jokowi ini menuntut Presiden dan DPR untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam isu krusial. Robinsar Na

Jakarta, law-justice.co - Wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyeruak seiring munculnya gerakan Petisi 100 yang beranggapan Jokowi sudah mengkhianati konstitusi sehingga layak dilengserkan. Pelanggaran yang dilakukan Jokowi dalam situasi teranyar bisa dilihat dari manuver politik dinasti yang diduga kuat menghalalkan segala cara, termasuk mengintervensi putusan MK dengan kolusi bersama Anwar Usman agar bisa meloloskan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapresnya Prabowo dalam Pilpres 2024.

Bicara di elemen pergerakan kampus, isu pemakzulan Jokowi ini dinilai tak cukup masif dibicarakan. Gielbran Noor berkata ada selisih pendapat dalam gerakan mahasiswa terkait isu tersebut. Ketua BEM UGM periode 2023 ini mengatakan isu pemakzulan tidak begitu populer di kalangan mahasiswa, meski berembus narasi bahwa Pemilu 2024 tidak akan berjalan jujur dan adil apabila Jokowi masih menjabat presiden. “Ada beberapa kalangan mahasiswa yang sepakat dengan itu. Ada juga gerakan yang melihat itu membahayakan sehingga ada sebagian besar menolak. Mungkin enggan terjadi chaos, itu yang jadi hambatan soal gagasan pemakzulan,” kata dia kepada Law-justice, Kamis.

Gielbran yang mengaku sebagai salah satu penyusun Petisi Bulaksumur juga menekankan bahwa awalnya narasi pemakzulan Jokowi sempat ingin digaungkan dalam petisi yang jadi cerminan sivitas akademika UGM terkait penyimpangan kekuasaan Jokowi. Tetapi, kalangan dosen mempertimbangkan narasi pemakzulan tak relevan saat ini. “Sebenarnya usulan pemakzulan itu ada, namun dari internal kami dan dosen-dosen, usulan itu kurang visible karena waktu yang sudah cukup mepet dalam konteks jabatan dan kami tidak ingin pemilu ini tidak berjalan dengan lancar,” kata dia.

Adapun dalam petisi itu, kampus UGM menekankan tindakan-tindakan menyimpang terjadi dalam masa pemerintahan Jokowi. Mulai dari pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang berjalan, dan pernyataan kontradiktif Presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi.

Kembali ke konteks gerakan mahasiswa yang tak satu padu, Gielbran bilang ada fragmentasi gerakan mahasiswa yang dipengaruhi sikap pragmatisme individu. Kata Gielbran, banyak mahasiswa yang telah bergabung tim pemenangan capres-cawapres. “Itu yang membuat gerakan mahasiswa terhambat. Makanya dari UGM lebih gerak sendiri. Saya cukup pesimistis karena begitu sulitnya menggandeng BEM-BEM itu, makanya gerakan tidak kolektif, hanya beberapa kampus saja karena mahasiswa sudah banyak terbeli,” kata dia.

Dia membeberkan sejumlah BEM kampus yang kecenderungan berpihak pada paslon tertentu sebagai tim pemenangan. Semisal BEM Universitas Semarang, Trisakti, UPN Jakarta, UTM Malang, Polinema Malang, UNS, UNY, Udayana hingga Unsri.

Bahkan, katanya, muncul aksi balasan dari mahasiswa ketika ramainya UGM menyebut Jokowi sebagai alumni yang memalukan. Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi BEM-PTNU disebut mendapat arahan dari elite politik untuk mengkonter gerakan. “Aliansi BEM PTNU yang dibayar untuk menegasikan gerakan BEM UGM. Menegasikan lewat rilis media, aksi saya disebut membuat ricuh,” ujar dia.

Meski begitu, Gielbran mempercayai masih banyak mahasiswa yang menilai demokrasi hari ini buruk akibat ambisi politik Jokowi. Dia mewanti-wanti keberpihakan Jokowi dan wacana kampanyenya sebagai hal yang melanggar etika dan hukum. Dia menyindir aksi Jokowi yang mencoba meyakinkan publik soal bolehnya keberpihakan politk dan presiden kampanye sesuai UU Pemilu.  

“Pejabat kita secara sengaja membodohi rakyat seperti Jokowi memampangkan karton berisi UU Pemilu. Padahal dalam UU itu menyatakan kampanye presiden adalah yang berstatus petahana. Kalau pun kampanye, itu harus cuti dan mendukung partai dan paslon yang didukungnya. Namun, bertabrakan pula dengan aturan bahwa presiden dan penyelenggara negara tidak boleh mencampur adukan wewenang dan kepentingan politik. Enggak mungkin Jokowi tidak mencampurkan itu. Dan ini yang tidak disampaikan ke publik,” tutur Gielbran.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar