Soal Presiden Boleh Kampanye, Pakar UGM: Saatnya Kita `Lumpuhkan` Joko

Rabu, 31/01/2024 05:49 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar. (Istimewa).

Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar. (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Pakar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa daripada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dimakzulkan, sebaiknya dipincangkan saja kekuasaannya atau istilahnya yakni lame duck alias bebek lumpuh.

Dalam konteks presiden, ia menuturkan, beberapa negara menerapkan aturan `memincangkan` atau `memincangkan` presiden untuk menurunkan daya kuasanya, khususnya menjelang transisi pemerintahan.

"Presiden di beberapa negara ya, menjelang pemilu atau transisi antar pemilu, atau transisi menuju ke pemerintah selanjutnya itu rata-rata dipincangkan. Dibuat menjadi tidak bisa berdaya, sedaya guna presiden biasa. Itu ada, banyak," kata Zainal, dalam diskusi secara virtual bertajuk `Presiden Berkampanye?` yang digelar Universitas Paramadina, Jakarta, Senin (29/1/2024).

Kata dia, banyak kepentingan yang melandasi untuk dilakukannya `lame duck` terhadap presiden, bukan saja terkait kepemiluan atau cawe-cawe di gelaran pesta demokrasi.

"Tapi menghindari yang namanya Cinderella Action. Menghindari biasanya presiden itu menjelang menjadi orang biasa itu kemudian mengeluarkan peraturan banyak sekali," tuturnya.

Sebagai contoh, Zainal mengatakan, Presiden Amerika Serikat Ke-44 Barack Obama, sebelum masa kepemimpinannya habis dan akan menjadi orang biasa, mengeluarkan 144 kebijakan baru.

"Kita harus mulai memincangkan presiden. Bukan hanya soal kampanye. Kampanye itu hanya satu titik kecil. Kita harus membicarakan bagaimana dengan hak protokoler keuangan, kita harus membicarakan bagaimana dia (presiden) membangun politik anggaran," tuturnya.

"Karena apapun yang diputuskan oleh presiden di tahun ini, khususnya di Agustus nanti, itu akan berlaku untuk presiden baru lho," sambungnya.

Bahkan, kata Zainal, Nigeria termasuk negara yang mengancam pidana jika presiden menghalang-halangi proses transisi pemerintahan.

"Ini berlaku bukan untuk pemilu 2024 saja. Diatur bahwa presiden tidak bisa menyelenggarakan roda pemerintahan sama seperti ketika dia menjadi baru dilantik, karena ada potensi konflik kepentingan," katanya.

Adapun hal ini menurutnya dapat dilakukan oleh DPR, karena lembaga legislatif itu memiliki kewenangan dalam hal demikian.

"Sebenarnya ini sederhana, karena DPR bisa melakukan itu," ungkap Zainal.

Sebelumnya, ucapan Jokowi memancing polemik di tengah masyarakat. Adapun penyataan tersebut mengenai presiden boleh berkampanye dan memihak salah satu paslon.

Usai jadi polemik, Jokowi pun memberikan klarifikasi. Ia mengatakan ucapan itu dilontarkan untuk menjawab pertanyaan wartawan. Jokowi menerangkan maksud dari ucapannya itu hanya coba menjelaskan ketentuan undang-undang.

“Itu kan ada pertanyaan dari wartawan mengenai menteri boleh kampanye atau tidak, saya sampaikan ketentuan dari peraturan perundang-undangan,” kata Jokowi melalui video dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (26/1/2024).

Jokowi kemudian menunjukkan sebuah kertas yang menunjukkan ketentuan Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. "Ini saya tunjukkin (menunjukkan kertas).

Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 jelas dalam pasal 299 menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye, jelas?" ujar Jokowi.

Dia kembali menegaskan apa yang disampaikannya beberapa waktu lalu terkait presiden boleh melakukan kampanye adalah ketentuan yang ada dalam Undang-undang Pemilu.

"Itu yang saya sampaikan ketentuan mengenai UU Pemilu. Jangan ditarik ke mana-mana. Kemudian juga pasal 281 juga jelas, bahwa kampanye, pemilu yang mengikutsertakan Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi ketentuan, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan, kecuali fasilitas pengamanan, dan menjalani cuti di luar tanggungan negara,” tutur dia.

Dia pun kembali meminta agar pernyataannya beberapa waktu lalu tidak ditarik atau diinterpretasikan ke mana-mana, karena dirinya hanya menyampaikan ketentuan perundang-undangan.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar