Jokowi Berpihak, Kubu Ganjar-Mahfud Ingatkan Wacana Pemakzulan

Sabtu, 27/01/2024 19:22 WIB
Jokowi dan Prabowo Subianto (Dok.Detik)

Jokowi dan Prabowo Subianto (Dok.Detik)

Jakarta, law-justice.co - Ucapan terang-terangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal keberpihakannya dalam Pilpres 2024 dinilai bisa menjadi pintu masuk pemakzulan. Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud menekankan wacana pemakzulan Jokowi yang belakangan mencuat sangat bisa direalisasikan.

Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa pemakzulan dapat terjadi bila sikap Jokowi itu diangap melanggar sumpahnya untuk melaksanakan konstitusi dan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. "Kalau Presiden tak bisa melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka bisa saja hal ini ditafsirkan sebagai perbuatan tercela. Kalau ini disimpulkan sebagai perbuatan tercela, maka ini bisa dijadikan sebagai alasan untuk pemakzulan," kata Todung, Kamis (25/1/2024).

Todung berpendapat Jokowi tidak berhak untuk melakukan kampanye di Pilpres. Sebab, masa jabatan Jokowi bakal segera berakhir. Sedangkan, ketentuan yang membolehkan presiden berkampanye berlaku kepada pejabat petahana yang bertarung untuk periode kedua menjabat.

"Dalam konteks ini Presiden Jokowi tidak bisa lagi ikut dalam kontestasi politik, dia tidak running dalam for the second term ya, jadi tidak ada periode ketiga. Nah dia seharusnya menahan diri untuk berada di atas semua kontestan politik," tuturnya.

Todung juga menilai keberpihakan Jokowi dapat menimbulkan konflik kepentingan. Yang dia maksud adalah konflik kepentingan akibat relasi Jokowi dengan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang menjadi cawapresnya Prabowo. Konflik kepentingan juga bisa merembet ke para menterinya yang bisa saja dikerahkan untuk memenangkan Prabowo-Gibran.

"Inilah yang tidak adil, tidak fair, dan menurut saya ini yang tidak sejalan dengan semangat negara hukum yang menjamin equality dan tidak ada diskriminasi," kata Todung.

Adapun sebelumnya, Jokowi menyatakan bahwa seorang presiden boleh berkampanye dan memihak kepada calon tertentu dalam kontestasi pemilu. Begitu pula dengan para menterinya yang memiliki hak untuk menentukan sikap politiknya. "Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja.Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” kata Jokowi pada awal pekan ini.

Bicara soal wacana pemakzulan Jokowi, sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat sempat menuntut mekanisme pemakzulan melalui DPR dan MPR lantaran menduga adanya pelanggaran konstitusional oleh Jokowi. Dalam hal ini, dugaan nepotisme dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pelanggaran konstitusional itu, menurut Petisi 100, adalah keterlibatan Jokowi sebagai ipar mantan Ketua MK Anwar Usman dalam pengambilan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia capres-cawapres. Adapun Majelis Kehormatan MK memutuskan Anwar Usman telah melanggar etik berat sehingga diberhentikan sebagai Ketua MK dan menyebut putusan yang diputus Anwar itu membukan potensi intervensi pihak luar.

Intervensi yang diduga dari Jokowi, menurut Petisi 100, jelas melanggar Pasal 22 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Para penggagas pemakzulan Jokowi mendasari gerakannya sesuai TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur tentang pemakzulan Presiden. Mereka juga menyepakati akar masalah semua persoalan bangsa adalah Jokowi. Sehingga, mereka mengaku berkewajiban terhadap upaya menyelamatkan bangsa dan negara.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar