Diskon PPh Badan Sektor Pariwisata Dinilai Timbulkan Masalah Baru

Selasa, 23/01/2024 17:45 WIB
Ilustrasi hiburan malam (Dok.Pixabay)

Ilustrasi hiburan malam (Dok.Pixabay)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah telah menetapkan batas pajak hiburan atau pajak barang dan jasa tertentu (PJBT) sebesar 40%-75% dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

Tarif itu hanya berlaku untuk jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa.

Oleh karena itu, pemerintah terus memutar otak untuk mengatasi gejolak tersebut dengan memberikan insentif perpajakan kepada pelaku usaha.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan memberikan insentif berupa pengurangan pajak dalam bentuk pemberian fasilitas ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 10% dari pajak penghasilan (PPh) badan kepada sektor pariwisata.

Nah, dengan pemberian insentif tersebut maka nantinya wajib pajak di sektor usaha hanya membayar tarif PPh badan 12%.

"Untuk tetap mendukung pengembangan sektor pariwisata di daearah, pemerintah akan memberikan insentif fiskal berupa pengurangan PPh Badan berupa fasilitas pajak yang ditanggung pemerintah (DTP)," beber Airlangga belum lama ini.

Hanya saja, pemberian insentif tersebut akan menimbulkan masalah baru, yakni belanja perpajakan yang membengkak serta bisa menurunkan penerimaan pajak dan tax ratio.

Sebagai informasi, pemerintah memproyeksikan belanja perpajakan pada tahun ini mencapai Rp 374,5 triliun. Angka ini tumbuh 6,1% atau meningkat dari outlook tahun 2023 yang sebesar Rp 352,8 triliun.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, pemberian insentif ini akan menurunkan penerimaan pajak dari sektor pariwisata. Imbasnya, cita-cita pemerintah yang ingin mendongkrak angka rasio pajak alias tax ratio di titik optimal akan sulit tercapai.

"Ini ironis menurut saya. Belum lama kita berdiskusi bagaimana menaikkan tax ratio, para capres adu gagasan bagaimana menaikkan tax ratio. Tapi di sisi lain pemerintah malah berencana memberikan insentif fiskal PPh DTP 10% bagi industri pariwisata," kata Fajry dikutip dari Kontan.co.id, Selasa 23 Januari 2024.

Memang kontribusi penerimaan pajak dari sektor pariwisata memang tidak sebesar dibandingkan dengan sektor lain seperti perdagangan maupun manufaktur. Namun, tetap saja pemberian insentif tersebut akan membuat iri sektor lain sehingga juga akan ikut meminta insentif serupa.

"Terlebih ini tahun politik, bisa-bisa saja terjadi," jelasnya.

Fajry menambahkan, apabila melihat penerimaan pajak secara sektoral, alasan dari rendahnya tax ratio adalah pemberian insentif atau perlakuan khusus bagi sektor tertentu seperti sektor pertanian atau konstruksi.

"Jadi pemberian insentif PPh badan DTP 10% bagi industri pariwisata tak diperlukan," tegas Fajry.

Menurutnya, rencana pemberian insentif PPh Badan DTP 10% bagi industri pariwisata hanya aji mumpung dari isu kenaikan tarif pajak hiburan khusus dalam UU HKPD yang mengalami kenaikan tarif menjadi 40%-75%.

Hal ini dikarenakan kenaikan tarif pajak hiburan tersebut sudah ada solusinya yakni melalui mekanisme Pasal 101 UU HKPD dan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Untuk itu, sudah sepatutnya pengusaha hiburan tidak perlu lagi khawatir dengan rencana kenaikan tarif pajak hiburan tersebut sehingga tidak membutuhkan insentif pajak yang lain.

"Terlebih, yang terdampak dari kenaikan hanya hiburan khusus seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa bukan industri pariwisata secara umum. Kenapa rencana PPh DTP 10% ke industri pariwisata secara umum? Kan kita pantas curiga," tanyanya.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai munculnya insentif terebut sebagai kompensasi kenaikan tarif pajak di industri hiburan tertentu berdasarkan UU HKPD.

Namun, rencana pemberian insentif pajak DTP tersebut akan menimbulkan adverse selection, di mana pemberian insentif DTP 10% tidak sebanding dengan pungutan pajak daerah. Apalagi, pemerintah pusat juga harus menanggung hilangnya penerimaan pajak (potential loss) dari pemberlakuan insentif tersebut.

"Karena tidak menjawab permasalahan, yang tetap harus diperjuangkan adalah merevisi UU HKPD secepatnya," kata Bhima.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar