Merger BTN Syariah-Muamalat Ditolak MUI, Ini Sebabnya

Selasa, 23/01/2024 12:03 WIB
Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas. (Dok. JawaPos.com)

Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas. (Dok. JawaPos.com)

Jakarta, law-justice.co - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas menyatakan bahwa menolak rencana penggabungan usaha atau merger PT Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah dengan PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) Tbk.

Alasannya kata dia, MUI masih berharap BMI tetap dengan paradigmanya dari umat, milik umat, bersama umat, dan untuk umat.

"Oleh karena itu ide untuk memergerkan Bank Muamalat dengan BTN Syariah sebaiknya tidak dilanjutkan," katanya, Jumat (19/1).

Dia menyatakan bahwa penolakan merger tersebut muncul dengan beberapa pertimbangan. Pertama kata dia, agar warisan para pendiri terdahulu yang telah bersusah payah mendirikan bank tetap terjaga.

Dia membeberkan pendirian BMI datang dari kalangan umat, terutama dari MUI, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah, serta beberapa para pengusaha muslim yang kemudian mendapat dukungan dari pemerintah.

Kata dia, ide ini tercetus pertama kali dalam sebuah lokakarya MUI pada Agustus 1990. Hasan Basri, yang kala itu duduk sebagai ketua umum MUI, mengangkat tema masalah bunga bank dan perbankan.

Dia menegaskan bank syariah pertama di Indonesia bukan bank pemerintah atau milik negara, melainkan swasta milik umat, kendati pendirian BMI mendapat dukungan pemerintah.

"Jadi BMI ini merupakan bank pertama murni syariah yang berdiri 1992 yang sejarah kelahirannya berbeda dengan bank-bank syariah lainnya yang berinduk kepada bank konvensional," jelasnya.

Dia bercerita BMI sempat menghadapi masalah sehingga investor asing dari Timur Tengah diundang untuk memperkuat bank tersebut.

Usai berjalan dengan baik, BMI kembali menghadapi masalah. Akhirnya, pemerintah mendorong Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk berinvestasi.

"Tetapi hal itu bukanlah berarti BMI sudah menjadi bank milik pemerintah karena dana BPKH yang diinvestasikan di BMI tersebut bukanlah dana dari pemerintah, tapi adalah dana milik umat," tuturnya.

Kedua lanjut dia, pihaknya juga ingin di tengah-tengah persaingan dunia perbankan yang ada di negeri yang mayoritas umatnya beragama Islam, tetap ada bank swasta yang merupakan milik umat.

"Untuk itu dalam menangani masalah BMI ini ke depan kita mengharapkan pendekatan yang dipergunakan tidak hanya murni mempergunakan hitung-hitungan ekonomi dan bisnis saja, tapi kita juga harus bisa memperhatikan dan mempertahankan sejarah," tandasnya.

Dia kemudian menegaskan saat ini bukan saatnya memikirkan bagaimana menyatukan BTN Syariah atau bank lain, melainkan memajukan dan membesarkannya secara bersama-sama.

Langkah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut adalah bagaimana umat bisa menggerakkan elemen-elemen untuk terlibat secara bersama-sama.

"Kita punya banyak ormas Islam di negeri ini, juga punya banyak masjid, sekolah, perguruan tinggi dan rumah sakit serta usaha-usaha bisnis milik umat yang bisa digerakkan untuk itu. Hal ini tentu akan mudah dilakukan karena dengan masuknya dana BPKH ke BMI meskipun baru sekitar 1 persen dari total dana haji yang dikelolanya, kita melihat kepercayaan umat terhadap BMI sekarang tampak semakin kuat dan meningkat," ungkapnya.

Oleh sebab itu, dia menyebut langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah bukan mencaplok BMI untuk menjadi bank milik negara tapi bagaimana negara bisa hadir untuk membuat BMI tetap eksis dan menjadikannya sebagai bank milik umat yang kuat.

"Jadi ukuran keberhasilan pemerintah dalam menangani masalah BMI ini tidak dilihat dan diukur dari segi keberhasilannya untuk menjadikan Bank Muamalat menjadi bank milik negara, tapi dilihat dari segi mampunya pemerintah menciptakan satu situasi dan kondisi yang mendukung untuk membuat BMI tetap menjadi sebuah bank milik umat yang kuat, maju, terpercaya, dan bisa dibanggakan," tutupnya.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar