Romli Atmasasmita, Pakar Hukum Pidana Universitas Padjajaran

Aspek Hukum dan HAM tentang Penahanan

Kamis, 18/01/2024 20:20 WIB
Profesor Romli Atmasasmita (RMOL)

Profesor Romli Atmasasmita (RMOL)

Jakarta, law-justice.co - Sistem peradilan pidana Indonesia yang berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah saatnya diperbarui seiring dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) baru yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023 dan dinyatakan efektif berlaku tanggal 2 Januari 2026.

KUHP baru 2023 menganut filosofi restorative dan pemasyarakatan yang menegasikan filosofi penjeraan/pembalasan- an eye for an eye, a tooth for a tooth; pemulihan hubungan keseimbangan hak dan kewajiban pelaku dan korban dalam kejahatan.

Filosofi UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP juga berbeda dengan filosofi yang dianut KUHAP yaitu negative wettelijke beginsel- pembuktian negative yang diartikan bahwa hakim tidak menjatuhkan pidana kecuali berdasarkan dua alat bukti hakim berdasarkan keyakinannya bahwa terdakwa bersalah telah melakukan kejahatan.

Perbedaan filosofi pemidanaan dalam KUHP 2023/hukum pidana materiil tersebut berdampak terhadap bagaimana perlakuan hukum yang sepatutnya terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersngka.

Salah satu tindakan hukum yang dibenarkan menurut UU adalah penahanan (detention). Penahanan secara normatif diterjemahkan sebagai salah satu tindakan aparatur hukum penyidik menempatkan seseorang di dalam rumah tahanan dengan alasan bahwa dikhawatirkan melarikan diri, merusak dokumen/alat bukti/barang bukti, atau melakukan kejahatan kembali.

Intinya, penahanan adalah hak subjektif negara untuk membatasi kemerdekaan bergerak seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan. Di dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang undang ini.

Dari segi tata bahasa, pembentuk UU menekankan bahwa penahanan harus berdasarkan mandat dari suatu undang-undang oleh seorang penyidik (Pasal 20), dan dilaksanakan atas perintah hanya terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21).

Namun, dalam praktik penahanan sering terjadi dan dilakukan oleh penyidik melampaui batas yang dibolehkan menurut UU/KUHAP atau bahkan sewenang-wenang atau tanpa dasar hukum dan alasan yang dibenarkan menurut KUHAP. Peristiwa tersebut terjadi di mana-mana di setiap negara sehingga masyarakat internasional melalui Kovenan Internasional PBB telah menetapkan ketentuan-ketentuan universal tentang Perlindungan Hak Asasi bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa termasuk pemidanaan yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.

Tindakan eksesif penyidik dengan alasan apa pun apalagi berlatar belakang kepentingan selain kepentingan hukum jelas merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang meliputi melampaui batas wewenang, mencampuradukkan wewenang dan tindakan sewenang-wenang (Pasal 17 jo Pasal 18 UU Nomor 30 Tahun 2014). Tindakan tersebut dapat diajukan perlawanan hukum/upaya hukum, melalui praperadilan.

Kelemahan dalam ketentuan penahahan adalah bahwa KUHAP tidak mengatur secara rinci tentang batas/tenggat waktu penahanan yang sepatutnya terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Hanya diatur batas waktu tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam tahap penyidikan.

Namun, sering terjadi masa penahanan lebih dari 60 (enam puluh) hari, jika tenggat waktu dilampaui harus segera dilimpahkan ke penuntutan kecuali ditetapkan penghentian penyidikan.

Dampak buruk tindakan penahanan, terlepas dari terbukti tidaknya kemudian dalam sidang pengadilan, adalah terhentinya status tersangka dari pekerjaan dan dampak sosial yang dialami keluarganya sedangkan belum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam hal inilah, kita sering dihadapkan, terutama advokat pada umumnya, khususnya ahli hukum, tentang masalah rentannya perlindungan Hak Asasi Manusia dalam proses penahanan sekalipun berdasarkan mandat undang-undang.

Di beberapa wilayah hukum di Indonesia, praktik penahanan telah dilaksanakan berdasarkan “pesanan” elite politik atau kekuasaan eksekutif hanya dengan tujuan “menyandera” agar seseorang yang dijadikan objek penahanan menjadi tidak berdaya, terbatas ruang kebebasan beropini dan dampak sosial negatif terutama bagi keluarganya. Itu merupakan suatu tindakan penahanan yang tidak berperikemanusiian dan menandakan bahwa hukum bisa dijadikan “alat permainan” perorangan atau kelompok orang yang tidak bernurani dan memiliki karakter barbar seperti yang dikemukakan Thomas Hobbes, homo homini lupus, belum omnium contra omnes,manusia itu serigala untuk manusia lain, satu sama lain saling memangsa.

Keadaan buruk dan chaos ini terjadi terutama menjelang Pilpres 2024 bagaimana terjadi ketua-ketua parpol disandera oleh berbagai kasus pidana sehingga mereka tunduk dan menyerah terhadap tuntutan penguasa untuk berpihak dan memenangkan salah satu paslon. Situasi sosial politik ini jelas merupakan ancaman terhadap demokratisasi politik yang berdampak hukum sebagai alat politik. Peristiwa politik berdampak hukum ini harus dihentikan dengan cara membangun kesadaran hukum di samping membangun kesadaran berbangsa dan bernegara.

Hakikat kesadaran hukum adalah kejujuran dan memahami perbedaan antara perbuatan baik dan buruk, tercela dan bersusila. Beranjak dari masalah hukum tersebut pertanyaan besarnya, masih adakah moralitas/kesusilaan dalam berpolitik praktis di dalam masyarakat kita? Pertanyaan mengingatkan kita pada masa-masa pemerintahan sejak Orde Baru sampai saat ini bahwa seakan tampak moralitas/kesusilaan dan hukum adalah dua makhluk terpisah satu sama lain, saling tidak mengenal dan sering bermusuhan.

Hanya dipastikan bahwa ketika kita berpikir tentang hukum terutama dalam praktik, hanya ada dua kompas yang wajib dipegang teguh setiap individu yaitu rasio/nalar dan (hati) nurani, sekalipun Anda tidak mengetahui/memahami hukum, terlebih jika Anda seorang ahli hukum teoritis dan praktis.

Hal ini disebabkan dua kompas dalam setiap individu tersebut yang dapat menggerakkan/memberikan motivasi jalan keluar mana yang akan digunakan (pave the way) agar terbebas dari syahwat keserakahan dan kezaliman dalam kehidupan sosial dan hukum saat ini: jalan yang luruskah atau berbelok atau menyimpang?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar