Tgk Akmal Abzal, Komisioner KIP Aceh 2008-2013 dan 2018-2023

Politik Uang Masih Ada di Negeri Syariat

Jum'at, 05/01/2024 19:20 WIB
Partai Lokal Aceh dalam pemilu 2024 (Indonesiabaik.id)

Partai Lokal Aceh dalam pemilu 2024 (Indonesiabaik.id)

Jakarta, law-justice.co - Aceh sebagai daerah syariat Islam tentulah sangat sensitif jika dikaitkan dengan praktik money politik (politik uang) sebagai sesuatu yang tabu bagi penganutnya. Tulisan ini hanya ingin memaparkan dua hal yang acap terdengar di lapangan, apakah keduanya sebagai indikator adanya praktik money politik atau tidak? Tentu perlu pembuktian dalam memastikannya namun keduanya layak menjadi bahan diskusi yaitu keluhan para peserta pemilu dan pengakuan pemilih sebagai calon penerima “amplop politik”.

Pertama, keluhan peserta. Keluhan tersebut berupa berat dan besarnya cost atau biaya politik. Saat seseorang maju sebagai calon legislatif (caleg) atau kepala daerah maka biaya operasional menjadi tak beraturan. Mulai biaya kopi, rokok, makan minum, penganti BBM, uang saku dan segudang pengeluaran yang sudah ada judul dari tim sukses (timses) calon.

Beragam biaya dikuras dari saku caleg ini belum termasuk biaya pengadaan bahan dan alat peraga kampanye (APK) serta kebutuhan lain terkait sosialisasi yang menjadi kebutuhan riil caleg. Malah khusus untuk baliho dan spanduk, di luar ongkos desain dan cetak, akan ada biaya tambahan lagi berupa biaya pemasangan dan penjagaan agar ada jaminan baliho dan spanduk tidak raib dengan cost nominal tergantung negosiasi lapangan antara “preman kampung” dengan pemilik APK.

Cukup sudah peserta merogoh kocek? Jawabannya belum. Untuk mendapatkan satu kursi terhormat di daerah pemilihannya, caleg mesti menguras lagi isi deposit untuk dipindahkan ke dalam amplop sebagai buah tangan dalam memenuhi undangan warga di pelbagai kegiatan. Lebih parah lagi menjelang hari H, peserta justru “diancam” oleh isu serangan fajar yang bakal menguras banyak energi dan isi rekening.

Serangan fajar di medan kepemiluan berbeda dengan makna serangan fajar Israel terhadap muslim Palestina. Masyarakat Gaza mesti bersembunyi dan berlari menyelamatkan diri dari mortir namun tidak dengan serangan fajar menjelang detik-detik hari H, malah masyarakat “nakal” ini menunggu bahkan sebagian lebih “radikal” justru menghubungi peserta pemilu untuk “diserang”.

Maklum amunisi serangannya bukan peluru mematikan tapi berupa rupiah yang menggiurkan. Pelurunya bervarian nilainya satu dengan wilayah lainnya, ada nominal dua dan tiga ratusan ribu hingga jutaan per suara, tergantung zona. Sehingga asumsi harga kursi DPRK dibutuhkan dana 1 miliar, untuk DPRA butuh persiapan 2-3 miliar dan untuk DPR-RI mesti ada deposit minimal 5 M. Angka fantastis ini berembus di masyarakat dan butuh data pendukung lain dalam memastikan kebenarannya.

Kedua, masifnya pengakuan pemilih. Kepercayaan pemilih kepada peserta pemilu kian menurun dan terus menurun bahkan timbulnya distrust atau ketidakpercayaan yang terwarisi sehingga momentum pemilu sebagai media pemilihan acap dinikmati sebagai pesta pora dalam mendapatkan banyak materil tak terkecuali dari peserta pemilu. Bahasa kedai kopi “menyoe kon jinoe pajan lom?” (kalau bukan sekarang minta/terima kapan lagi?), “dijoek cok, culok hom” (diberi terima, masalah pilihan belakangan) dan selaksa bahasa lain menjadi pembenar atas penerimaan “amplop politik” tersebut.

Pengakuan ini bukan tanpa sebab, pemilih memiliki pengalaman kelam dari masa ke masa terhadap oknum caleg yang pernah dipilih. Mereka ingkar atas segenap komitmen dan janji kampanye bahkan sebagian yang terpilih justru mengganti nomor handphone. Maka trauma masa lalu membuat pemilih mengubah gaya yaitu menerima lebih awal, pilihannya menyusul.

Diskusi money politik negeri ini mirip seperti perdebatan awal mana antara ayam dengan telurnya? Ada yang lantang menyebut ayam lebih awal ketimbang telur dan tidak sedikit pula mengaku telur adalah embrio adanya ayam. Tidak ada jawaban konkret masalah ayam dengan telurnya.

Demikian pula soal money politik mana lebih duluan mengumbar uang? Warga menuding peserta sebagai pemancing awal, sebaliknya peserta mengaku pemilihlah lebih awal meminta. Saling klaim kedua pihak terus berlanjut tanpa tepi. Konon realitasnya, persoalan money politik dianggap sama-sama tahu atau berpura-pura tidak tahu? Mengingat dinamika lapangan bisa dilihat, dirasakan bahkan bisa dinikmati, hanya saja sedikit yang mau menjadi saksi atas praktik curang tersebut.

Uang Bagai Magnet

Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh No 14 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Umum Menurut Perspektif Islam memutuskan bahwa “Politik uang dan atau memberikan sesuatu untuk kemenangan kandidat tertentu hukumnya adalah haram. Serta pemberian sesuatu baik langsung atau tidak langsung yang berkaitan dengan politik adalah perilaku tidak terpuji, baik yang memberi atau yang menerima”. Butir Fatwa di atas jelas menyebut haram dan merupakan perilaku tidak terpuji bagi pemberi dan penerima.

Berkaitan fatwa di atas, Tgk Alizar M Hum pengasuh Dayah Digital Kitab Kuning juga memberi warning tentang bahayanya money politik alias sogok-menyogok terkait dengan pemilu (aceh.tribunnews.com, 30 November 2023). Pada intinya menyebut fenomena semacam ini, beberapa abad lalu Islam telah mengajarkan kepada bahwa risywah (sogok) merupakan tindakan tidak terpuji. Dari Ibnu Umar r.a, beliau berkata yang artinya “Rasulullah saw melaknat penyogok dan penerima sogok” (H.R. Abu Daud).

Kendatipun demikian, uang atau materi bukan sama sekali tidak bisa beredar namun ruang “shadaqah” politik mesti berpegang teguh pada norma pasal 33 Peraturan KPU No 15 Tahun 2023 Tentang Kampanye Pemilu. Secara eksplisit pasal tersebut memuat nominal harga barang dan bahan yang boleh diberikan kepada masyarakat paling tinggi senilai Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) jika dikonversikan dalam bentuk uang.

Dengan demikian, terlepas ada atau tidaknya money politik di lapangan, peredaran dan perputaran uang adalah keniscayaan yang tidak terbantahkan. Maka dari itu penulis menyarankan: Pertama, money politik atau sogok-menyogok adalah hal keliru dan dosa dalam meraih suatu kekuasaan sehingga sebuah misi suci namun dilakukan dengan perjuangan yang kotor maka akan memungut hasil yang kotor pula.

Prinsip ini mesti dipegang teguh masyarakat Aceh yang mayoritas berbasis religius. Kedua, setiap warga mesti merdeka menentukan pilihan terbaiknya demi melahirkan wakil dan pemimpin negeri yang baik pula maka pilihan berdasarkan transaksi akan berimplikasi pada malpraktik para wakil pilihan kita.

Pemimpin atau wakil kita di parlemen adalah cerminan dari masyarakat itu sendiri. Pemimpin baik akan terlahir dari warga dan pemilih yang baik juga. Terakhir, uang bukan tolak ukur namun tidak punya uang kian mudah kita diukur. Adagium yang sulit terbantahkan adalah uang bagaikan magnet penentu suatu kekuasaan. Uang hampir saja menjadi tuhan bagi sebagian insan yang hampa imannya. Namun tidak semua hal mesti diuangkan karena masyarakat juga cerdas dalam memilih, memilah dan menentukan pilihan kendati tanpa dibayar.

Tulisan ini bukanlah sebuah tudingan atau penghakiman dini terhadap potret demokrasi negeri ini. Namun penulis harapkan kelak bisa mengedukasi para peserta dan pemilih dalam pesta demokrasi lima tahunan ini demi terwujudnya pemimpin terbaik bagi Aceh.

Ada tidaknya praktik money politik di negeri ini mesti disikapi bijak agar nama besar syariat tidak ternoda oleh praktik pragmatis pencari kekuasaan. Silakan berkompetensi secara sehat dan serius dengan mengedepankan etika, akhlak dan moral karena Anda merupakan cikal bakal wakil rakyat dan pemimpin masa depan umat.***

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar