Masyarakat Mulai Terdampak, UU Cipta Kerja Hambat Reforma Agraria

Kamis, 21/12/2023 07:45 WIB
Protes penuntasan konflik agraria (Net)

Protes penuntasan konflik agraria (Net)

Jakarta, law-justice.co - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Lokataru dan Indonesia Human Rights Committee for Social Justice, memantau implementasi Undang-undang Cipta Kerja di beberapa daerah pada Februari-November 2023. Hasilnya, UU Cipta Kerja menghambat reforma agraria, pemutihan bisnis ilegal dan berisiko merugikan 6.158 jiwa atau 1.700 keluarga.

Pemantauan mereka lakukan di Desa Batulawang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Lokasi diklaim sebagai aset bank tanah yang merugikan 16.632 jiwa atau 4.795 keluarga. Lokasi itu berpotensi untuk pertanian dan pariwisata.

“Tumpang tindih dengan rencana percepatan reforma agraria warga,” kata Dewi Sartika, Sekjen KPA, dalam diskusi Dampak Pelaksanaan UU Cipta Kerja terhadap Kehidupan Masyarakat di Sektor Agraria secara daring November lalu dilansir dari Mongabay.

Mereka juga pemantauan di Desa Siabu, Kecamatan Salo, Kabupaten Kampar, Riau. Temuan di sana, terjadi pemutihan bisnis ilegal pengusaha sawit, merugikan 6.158 jiwa atau 1.700 keluarga.

Kemudian di Desa Labota, Desa Kuerea, Desa Bahodopi, Kecamatan Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, ada proyek program strategis nasional untuk hilirisasi tambang nikel dengan lokasi berpotensi untuk pariwisata.

Lalu, Desa Golo Mori, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur atas pembanguan jalan penunjang kawasan ekonomi khusus (KEK) Golo Mori. Melibatkan 2022 jiwa, lokasi berpotensi untuk pertanian dan perikanan.

Dewi menjelaskan kasus di Batulawang. Masyarakat petani Desa Batulawang, Kecamatan Pacet, Cianjur, katanya, terancam kehilangan hak mengelola lahan menyusul aktivitas bank tanah yang akan menguasai lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Maskapai Perkebunan Moelia (MPM).

Padahal, sejak awal Batulawang ditetapkan dalam lokasi prioritas reforma Agraria (LPRA) yang diusulkan KPA.

Secara eksisting, lahan dikuasai masyarakat. Di atas lahan berdiri pemukiman dan sumber kehidupan masyarakat. Mereka memanfaatkan untuk pertanian, yang kini subur dan produktif.

Proyek MPM yang dikenal dengan desa unggas mulai pada 1989, dengan lahan HGU seluas 1.020 hektar. Sebanyak 320 keluarga dipindahkan untuk pengelolaan desa unggas itu. HGU perusahaan berakhir 1996, diperpanjang sampai 2021.

“Dua kali habis dan diperbarui.”

Masyarakat petani kerjasama dengan perbankan untuk mendapat kredit Rp6,5 miliar. Dana dikembangkan untuk budidaya unggas, MPM menjanjikan masyarakat bakal mendapat hak atas tanah. Dalam prosesnya, MPM kembali mengajukan HGU ke Mendagri pada 1997. “Ada ketidaksepakatan dengan warga hingga terjadi konflik,” katanya.

MPM juga menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan bank tanah secara sepihak, klaim desa sebagai aset bank tanah.

Dewi bilang, bank tanah bisa menimbulkan konflik horizontal antara petani yang dipaksa menerima, bertahan dan yang menerima. “Bank tanah menghambat reforma agraria. Seharusnya, tinggal satu ketukan saja [jadi lahan warga],” katanya.

Sejak 2018, MPM membiarkan lahan terlantar. Dalam proses percepatan reforma agraria, Batulawang menjadi prioritas utama.

Pemerintah Cianjur sosialisasi redistribusi lahan pada medio Feberuari 2020. Dalam sosialisasi akan ada redistribusi lahan seluas 680 hektar tersebar di tiga desa.

Proses berjalan lambat hingga keluar Undang-undang Cipta Kerja pada 2020. Dalam UU ini ada bank tanah.

Bersamaan dengan itu, HGU perusahaan habis 2021.

Seharusnya, perusahaan kehilangan hak dan tak memiliki landasan hukum. Tiba-tiba, katanya, pasca UU itu dan HGU berakhir, Bupati Cianjur berbalik mendukung perpanjangan HGU perusahaan.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) 64/2021 tentang Badan Bank Tanah, memberi kewenangan operasi bank tanah. MPM pun makin percaya diri dengan mendapat dukungan politik Bupati Cianjur dan kembali menghidupkan lagi HGU.

Pada 14 Juli 2023, MPM melepaskan lahan seluas 1.020 hektar untuk hak pengelolaan lahan (HPL) kepada bank tanah. Bahkan, ada pengukuran batas tanah sepihak tanpa melibatkan masyarakat pada 24 Juli 2023.

Operasi bank tanah, katanya, juga mendapat dukungan Kantor Pertanahan.

Modusnya, 200 hektar dialokasikan untuk reforma agraria, pondok pesantren satu hektar, dan fasilitas Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri seluas 50 hektar.

Sejak 2013

Dewi mengatakan, sejak awal bank tanah digadang-gadang untuk memenuhi kebutuhan lahan investasi. Alasannya, investor kesulitan dalam pengadaan tanah dan pengadaan tanah lebih mudah. Selain itu, untuk kepentingan umum, sosial, pengembangan, pemerintahan ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma agraria.

Menurut dia, terjadi penyelewengan reforma agraria melalui UU Cipta kerja dengan ada bank tanah. Bank tanah, katanya, bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agaria.

Tugas bank tanah, katanya, menyiapkan aset, kondolisasi, sampai izin dan transaksi jual beli. “Tugasnya luas, hingga bisa terjadi konflik kepentingan.”

Pada 2013, bank tanah sudah berhembus mulai dari rencana pembangunan menengah nasional (RPMN) 2015-2019, diajukan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan 2019. Kala itu gagal dan kembali muncul dalam UU Cipta Kerja.

“Disipkan pasal bank tanah untuk reforma agraria, hanya gula-gula saja. Bank tanah seolah memberikan keadilan sosial bagi petani,” kata Dewi.

Awal-awal duduk sebagai presiden, Joko Widodo, menjanjikan lahan sembilan juta hektar untuk reforma agraria. Lahan-lahan ini prioritas untuk buruh tani, petani gurem dan wilayah adat. Prioritas juga mendistribusikan HGU terlantar seluas tujuh juta hektar.

Dewi bilang, bank tanah mengkhawatirkan masyarakat. Saat bank tanah berjalan, terjadi pematokan tanah sistematik seperti di Jawa Barat, Bali, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur.

“Bank tanah tertutup, katanya, sarat manipulasi dan ada kepentingan dalam prosesnya. Bank tanah turut mempersulit penataan administrasi pertanahan, hingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kepetingan. Seolah HPL bank tanah sah. Realitasnya, belum sah,” kata Dewi.

Bank tanah juga memberikan impunitas hukum kepada perusahaan yang beroperasi ilegal hingga jadi legal. Bank tanah, katanya, juga memiskinkan petani, lantaran akses sejumlah ruas jalan ditutup untuk petani. Petani juga kehilangan rasa aman dan nyaman serta berpotensi kehilangan tanah pertanian, permukiman dan fasilitas umum.

‘Bank tanah justru membahayakan reforma agraria, bukan mendukung. Menghambat.”

Kurniatun dari Sulawesi Tengah ceritakan kasus bank tanah di Sigi. Warga sudah menguasai kembali lahan seluas 1.063 hektar karena HGU habis pada 2016. Mereka tanami lahan dengan kelor dan asam.

Sekitar 260-an hektar lahan jadi tanah objek reforma agraria (Tora). Saat banjir bandang 2019, katanya, Gubernur Sulteng menetapkan lokasi jadi area hunian tetap.

Pasca bencana, katanya, data Tira diputihkan dan diambil negara. Data subyek dianggap batal pada 2021. Ketika keluar keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan lahan eks HGU 1.063 hektar, terbagi 194 hektar untuk bank tanah. “Ada patok tanpa beritahu warga,” kata Kuniatun.


Sementara Pemerintah Sigi bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) membagikan lahan kepada 689 keluarga, terdiri dari 389 keluarga di Desa Pombewe dan 300 keluarga di Desa Oloboju, Kecamatan Sigi Biromaru.

Kasus lain dari Lampung. Madin, warga Desa Tanjung Kemala, Kabupaten Pesawaran, Lampung mengatakan, tanah masyarakat adat diambil PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) pada 1974. Anehnya, perusahaan pelat merah ini baru mendaftarkan lahan untuk izin perkebunan pada 2021. Dugaan kuat sebelum itu beroperasi belum ada izin perkebunan.

“Mereka mengelola lahan tanpa HGU. Tim Reforma Agaria merekomendasikan tanah tidak bertatus apapun. Tidak ada HGU,” kata Madin.

Bupati Pesawaran dan Tim Reforma Agraria menyebutkan, tanah tidak berstatus, bukan milik PTPN VII. Namun, katanya, Badan Pertanahan Nasional membela PTPN VII atas lahan seluas 329 hektar di Tanjung Kemala.

UU Cipta Kerja juga berikan peluang pemutihan pada bisnis ilegal yang terlanjur merambah kawasan hutan. Gunawan dari Indonesia Human Rights Committee for Social Justice mengatakan, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ((KLHK) pada 2023 seluas 3,3 juta hektar kebun sawit merambah kawasan hutan di Indonesia.

Ia terdiri atas hutan produksi terbatas 44%, hutan produksi konversi 33%, hutan produksi tetap 15%, hutan lidung 3% dan hutan konservasi 3%. KLHK memberi pengampunan bisnis ilegal di kawasan hutan.

“[Jadi] legal dengan hanya membayar denda kepada KLHK,” katanya.

Gunawan memantau di PT Ciliandra Perkasa, Desa Siabu, Kecamatan Salo, Kampar, Riau. Pada Januari 1995, perusahaan memperoleh 3.787 hektar melalui SK 55/HGU/BPN, kini ditanami sawit.

Pada 2004, perusahaan memperluas sawit di kawasan hutan antara lain 1.835 hektar berstatus hutan produksi terbatas (HPT), 1.209 hektar hutan produksi tetap (HP), 430 hektar hutan produksi dikonversi (HPK), dan 36 hektar hutan lindung.

“Seharusnya, dijatuhi sanksi pidana karena merambah hutan. Malah forest amnesty. Dampaknya, terjadi kerusakan lingkungan, memperumit konflik agraria, dan kerugian ekonomi,” kata Gunawan.

Per Oktober 2023, sebanyak 969 bidang kebun sawit ilegal Ciliandra Perkasa seluas 867.313 hektar diampuni dengan Pasal 110 A dan Pasal 110 B UU Cipta Kerja. Sisanya 162 bidang kebun sawit ilegal seluas 507.000 hektar diampuni dengan Pasal 110 A.

Pemutihan atau pengampunan kebun sawit ilegal ini, kata Gunawan, meruntuhkan harapan kebijakan politik mendukung reforma agraria.

“Sawit berkelanjutan diabaikan, bahkan kebun sawit masuk kawasan hutan jadi legal.”

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar