Didatangi Intel di Kampus, KontraS Kecam Teror pada Ketua BEM UGM dkk

Selasa, 19/12/2023 12:25 WIB
BEM UGM nobatkan Joko Widodo sebagai alumni paling memalukan (Dok,BEM UGM)

BEM UGM nobatkan Joko Widodo sebagai alumni paling memalukan (Dok,BEM UGM)

Jakarta, law-justice.co - Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa Ketua BEM UGM, Gielbran Muhammad Noor mendapatkan intimidasi dan teror mulai dari didatangi intel di kampus hingga doxxing di medsos.

Menurut Koordinator Badan Pekerja KontraS, Dimas Bagus Arya intimidasi itu didapatkan usai Gielbran menobatkan Jokowi sebagai alumni paling memalukan.

Selain itu, KontraS juga mengecam aksi teror terhadap sejumlah mahasiswa lainnya yang dilakukan sejumlah pihak.

Seperti diketahui, Gielbran menjadi sorotan setelah BEM KM UGM yang dipimpinnya memberikan predikat kepada Jokowi sebagai alumni paling memalukan.

Pada Jumat 8 Desember 2023 lalu, Poster Jokowi sebagai alumni paling memalukan ini diunggah di Instagram BEM KM UGM dan disampaikan Gielbran dalam orasinya di acara Mimbar diskusi publik di Bundaran UGM.

Acara tersebut juga dihadiri sejumlah tokoh yakni aktivis Hak Asasi Manusia, Fatia Maulidiyanti dan akademisi sekaligus peneliti Hukum Tata Negara Indonesia, Dr. Zainal Arifin Mochtar.

Dampak dari aksi Gielbran menyebut Jokowi sebagai alumni paling memalukan ini, Ketua BEM KM mendapatkan serangkaian teror mulai dari didatangi intel ke kampus hingga doxxing di media sosial mengenai latar belakang keluarganya.

Dalam pernyataan KontraS menyebut intimidasi dan teror semacam ini sangat berbahaya bagi demokrasi karena hanya akan terus menggerus kebebasan sipil.

"Terlebih, menjelang hari pencoblosan pada 14 Februari 2024 nanti, ruang pengawasan dalam kerangka check and balances seharusnya terbuka luas," katanya dalam rilisnya.

Sebelumnya, kasus serupa juga pernah dialami oleh Ketua BEM Universitas Indonesia, Melki Sedek Huang pun mendapatkan perlakuan serupa.

Berdasarkan informasi, orangtuanya yang berada di Pontianak didatangi oleh aparat yang mengaku Babinsa.

Selain itu, Melki pun mendapatkan serangan digital berupa peretasan terhadap akun WhatsAppnya setelah rangkaian kritiknya bersama mahasiswa lainnya terhadap situasi demokrasi khususnya yang terjadi di Mahkamah Konstitusi.

Selain itu beberapa waktu lalu, Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI), Rizki Agus Saputra bahkan mendapatkan serangan fisik berupa pengeroyokan oleh orang yang tidak dikenal pada 15 Desember 2023 lalu.

Rizki mengaku dikeroyok tiga orang yang berseragam militer. Serangan ini diduga berelasi dengan aktivitasnya melaporkan kebocoran data kepada pimpinan KPU dan DKPP terkait pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.

Menurut Dimas Bagus Arya, serangan dan tindakan intimidasi terhadap mahasiswa yang kritis tentu saja melanggar berbagai norma seperti halnya Pasal 28 UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi lewat UU No. 12 Tahun 2005.

Selain itu kata dia, intimidasi terhadap mahasiswa merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan akademik. Selama ini, secara natural, mahasiswa memang menjadi ‘ujung tombak’ pengkritik kekuasaan.

oleh sebab itu, ruang tersebut yang harus dijamin secara utuh. Sebab, lingkungan yang represif terhadap mahasiswa hanya akan menghasilkan pelajar yang takut, apatis serta mematikan daya kritis.

Berbagai serangan berupa teror dan intimidasi terhadap mereka yang kritis mengawal Pemilu juga menunjukan sikap anti kritik penguasa.

Berbagai langkah intimidatif, bahkan kekerasan hanya akan membangun iklim ketakutan di tengah masyarakat untuk berpendapat dalam rangka mengawasi jalannya Pemilu.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sebetulnya telah menyusun dokumen yang sangat esensial yakni Human Rights and Elections: A Handbook on the Legal, Technical and Human Rights Aspects of Elections.

Dalam panduan ini, diatur dan diuraikan norma-norma hak asasi manusia yang berlaku secara universal dan standar-standar yang berlaku dalam konteks penyelenggaraan Pemilu, seperti halnya political participation, non-discrimination, self determination, dan Prerequisite rights.

Menjelang Pemilu, masyarakat tentu saja bukan hanya memiliki hak memilih dan dipilih saja. Lebih substansial, hak atas partisipasi dalam proses berjalannya Pemilu harus diakomodir dan mengkritik lewat berbagai saluran haruslah dijamin oleh pemerintah.

Selain itu, kebebasan berkumpul pun harus difasilitasi untuk seluruh pihak, khususnya bagi mereka yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.

Sampai di sini peran aparat menjadi sangat esensial, seharusnya aparat dapat bersikap netral, menjaga keamanan dan ketertiban salah satunya dengan mencegah praktik intimidasi dan kekerasan menuju Pemilu 2024.

Rangkaian intimidasi pun tidak sesuai dengan pernyataan Presiden yang menyatakan tidak pernah melakukan pembatasan-pembatasan apapun.

Situasi diperparah dengan potensi kecurangan yang terus saja tak terbantahkan, dilihat dari pola yang terus terjadi belakangan.

Kecurangan tidak hanya soal pengerahan aparatur negara dan aparatur desa, namun serangan terhadap mereka yang menjadi oposisi atau pendukung pasangan calon yang bukan didukung oleh pemerintah.

Misalnya diteruskannya pelaporan terhadap Aiman Witjaksono yang mengungkap Kepolisian yang tidak netral.

Begitupun dengan Butet Kartaredjasa yang diminta untuk menandatangani surat yang berisikan pernyataan agar tidak menyinggung soal politik saat pentas di Taman Ismail Marzuki.

Walaupun bentuk-bentuk kecurangan semacam ini sudah diprediksi, mengingat salah satu calon yakni Prabowo menggandeng anak Presiden, tetapi praktik intimidasi tentu tak dapat dilanjutkan dan ditolerir.

Ketimbang melakukan berbagai intimidasi, pemerintah seharusnya fokus pada persiapan Pemilu yang akan dilangsungkan kurang dari dua bulan lagi agar peristiwa seperti meninggalnya ratusan petugas KPPS tidak terjadi lagi.

Upaya-upaya pengawasan seperti halnya kritik, pelaporan atas kecurangan, membongkar kejahatan dalam Pemilu, harus dianggap sebagai langkah membantu pemerintah agar Pemilu mendatang berlangsung secara independen dan demokratis.

Atas uraian di atas, KontraS mendesak:

Pertama, Pemerintah dalam hal ini Presiden beserta jajarannya untuk menghentikan segala bentuk teror dan intimidasi selama masa kampanye politik menuju Pemilu 2024;

Kedua, Aparat dan perangkat negara yang terdiri dari Polri, TNI, intelijen hingga ASN untuk bersikap netral dan tidak berpihak pada gelaran Pemilu mendatang;

Ketiga, Komnas HAM dan LPSK untuk bertindak proaktif terhadap kasus-kasus intimidasi terhadap semua masyarakat dan menjamin tidak ada diskriminasi dalam memberikan pelayanan;

Keempat, Kepolisian untuk mengusut segala bentuk intimidasi dan kekerasan, khususnya yang menyasar pada mahasiswa;

Kelima, KPU dan Bawaslu sebagai otoritas penyelenggara Pemilu untuk memastikan agar ruang-ruang partisipasi menuju Pemilu dibuka seluas-luasnya sesuai dengan nilai Hak Asasi Manusia dan mengawasi segala bentuk kecurangan.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar