Nawaitu Redaksi

Menelisik Gaya Kampanye Prabowo "Gemoy", Akankah Berhasil Menang?

Minggu, 17/12/2023 21:07 WIB
Ketua Umum Partai Gerindra, sekaligus calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto menghadiri Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Gerindra di Jakarta Internasional Expo (JIExpo), Jakarta (15/12/2023). Sejumlah elite Partai Gerindra tampak hadir dalam acara ini. Robinsar Nainggolan

Ketua Umum Partai Gerindra, sekaligus calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto menghadiri Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Gerindra di Jakarta Internasional Expo (JIExpo), Jakarta (15/12/2023). Sejumlah elite Partai Gerindra tampak hadir dalam acara ini. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Diantara elite politik yang berusaha menjadi presiden Indonesia, barangkali Prabowo Subianto adalah sosok yang paling banyak mencobanya. Tercatat sudah empat kali Prabowo Subianto mencalonkan dirinya sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Pada tahun 2004, Ia memulai karier politiknya dengan mencalonkan diri sebagai Capres dari Partai Golkar melalui Konvesi Capres yang dilakukan oleh partai itu meskipun kemudian kalah suara oleh peserta konvensi lainnya.

Dalam konvensi saat itu,  ia hanya mendapatkan 39 suara, yang merupakan perolehan terendah dari lima calon lainnya yaitu Wiranto, Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Konvensi ini akhirnya dimenangkan oleh Wiranto, mengalahkan Akbar Tanjung di putaran kedua.

Kekalahan itu tidak membuat Prabowo menyerah karena pada pada Pilpres tahun 2009, ia mencalonkan diri kembali berpasangan dengan Megawati Soekarno Putri. Hanya saja Prabowo kali ini harus puas sebagai Cawapresnya Ibu Mega. Sayangnya Prabowo kembali menemui kegagalan karena pasangan ini kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Selanjutnya di Pilpres 2014, Prabowo kembali maju bersama Hatta Rajasa yang menjadi cawapresnya. Namun sayang, Ia kalah lagi dari pasangan Jokowi-Yusuf Kalla. Kekalahan ini tidak mematahkan semangatnya sehingga di Pilpres 2019, ia kembali maju bersama dengan Sandiaga Uno sebagai cawapresnya.

Namun lagi lagi Prabowo masih belum beruntung karena dikalahkan oleh pasangan Jokowi -Ma’ruf Amin. Kekalahan beruntun ini tidak membuat Prabowo jera sehingga di Pilpres 2024 ini Prabowo kembali maju berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapresnya.

Terus munculnya nama Prabowo di kertas suara saat Pilpres tiba, membuat orang ada yang merasa bosan juga sehingga dengan nada seloroh berkata: “ kapan kapan kalau nanti ada pemilu lagi kasih tahu ke KPU ya supaya Prabowo jangan diberitahu, soalnya kalau tahu dia bisa ikut lagi ”, begitu candaannya.

Mungkin karena sudah berkali kali kalah dalam pilpres, membuat Prabowo akhirnya mawas diri dan mengoreksi perjalanan pencalonannya. Sampai akhirnya ia berusaha memperbaiki diri dengan mengevaluai strategi pemenangannya.

Lalu perubahan gaya politik macam apa yang di praktekkan oleh Prabowo setelah berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka ?. Benarkah gaya kampanye Prabowo dalam pilpres kali ini meniru apa yang dilakukan oleh Ferdinand Romualdez Marcos Jr atau Bongbong, anak diktator Philipina ?. Sejauhmana perubahan gaya dan strategi pemenangan ini bisa mengantarkan Prabowo menjadi presiden Republik Indonesia ?

Perubahan Gaya Politik

Prabowo sudah berkali kali ikut pilpres sehingga masyarakat sudah hafal betul bagaimana penampilannya selama ini dalam upaya menarik simpati calon pemberi suara. Ia dikesankan sebagai pribadi yang tegas, kaku,militeristik, dengan semangatnya yang berapi api sesuai dengan latar belakannya yang merupakan pensiunan tentara.

Sebagai contoh ketika Prabowo masih menjadi calon presiden pada Pilpres 2014, ia terlihat memarahi wartawan televisi seperti Berita Satu, Kompas TV, dan Metro TV setelah mencoblos di Tempat Pemungutan Suara di rumahnya.

Sikap Prabowo yang keras terhadap media juga terlihat pada konferensi pers pada 14 Juli 2014 di kantor Freedom Institute, Jakarta Pusat, di mana ia menyebut harian The Jakarta Post sebagai brengsek dan menuduh Sofyan Wanandi, salah satu petinggi The Jakarta Post, tidak demokratis dalam pemberitaannya.

Pada masa kampanye Pilpres 2019, citra Prabowo yang keras dan emosional terus terlihat, terutama dengan insiden gebrak-gebrak meja podium di Stadion Kridosono, Yogyakarta, pada 8 April 2019, dan rekam jejak dugaan pelanggaran HAM penculikan aktivis ’98 yang melibatkan namanya.

Namun, citra Prabowo yang keras dan militeristik itu mulai melunak setelah ia masuk ke Pemerintahan menjadi Menteri Pertahanan dalam pemerintahan yang sekarang berkuasa. Penampilan Prabowo mengalami perubahan menjadi lebih santai, tidak lagi militeristik melainkan bergaya sipil seperti kebanyakan masyarakat pada umumnya. Gaya komunikasinya juga sudah lebih humanis menyentuh langsung audiensnya terutama di sosial media.

Menjelang pemilu 2024 kali ini, kata ‘Gemoy’ sering kali terdengar dari para pendukung Prabowo dalam berbagai kesempatan, seperti saat deklarasi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendukung Capres Prabowo Subianto pada 24 Oktober 2023, atau pada peresmian relawan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.

Transformasi citra dari sikap tegas menjadi lebih santai, yang disebut sebagai “gemoy,” dianggap sebagai strategi Prabowo untuk meraih dukungan pemilih muda (first voters) dalam rangka memenangkan Pemilu 2024, setelah mengalami dua kekalahan sebelumnya.Demam gemoy membuat citra Prabowo menjadi lebih lunak di mata pemilih, utamanya di kalangan pemilih muda

Prabowo menyatakan bahwa pengalaman dikalahkan dalam pemilihan umum sebelumnya telah membawanya untuk belajar dari Jokowi yang notabene mantan rivalnya. Begitulah pengakuannya sebagaimana dinyatakan pada acara HUT ke-59 Partai Golkar pada 6 November 2023,. Ia berkomitmen untuk mengikuti langkah Jokowi dengan mengajak semua pihak untuk bekerja sama membangun bangsa.

Seolah komunikasi publik yang mau dibangun Prabowo adalah berkaitan dengan politik narasi soal gaya dan citra, yang tidak sama sekali berbicara soal ide atau gagasan politik yang ditawarkannya untuk anak muda. Gaya dan gestur Prabowo kali ini sering dianggap jenaka, disukai dan mewakili anak muda; sementara pada Pemilu 2019, yang ditampilkan adalah Prabowo sosok keras, tegas dan berwibawa.

Meniru Bongbong Marcos

Perubahan gaya politik Prabowo disebut sebut meniru Bongbong atau Ferdinand Romualdez Marcos yang merupakan anak dari Ferdinand Marcos, penguasa dan diktator Filipina selama 21 tahun sebelum digulingkan rakyat dari kursi kekuasaannya.

Seperti diketahui, jejak keluarga Marcos pernah hancur lebur di Filipina. Pemerintahan Ferdinand Marcos dikenal represif, korup, dan pelanggar HAM (hak azasi manusia). Selama masa kepimimpinannya justru dianggap banyak membawa mudarat, ketimbang manfaat bagi rakyatnya.

Marcos mengontrol segalanya, antara lain media massa, meneror rakyat, dan membunuh mereka yang tak sejalan dengan pemerintahannya. Fakta itu membuat Marcos jadi musuh bersama rakyat Filipina sehingga kecaman datang dari mana-mana.

Rakyat Filipina kemudian bergerak untuk melengserkannya. Diktator Marcos akhirnya memilih kabur ke Hawaii setelah untuk sekian lama menjadi bulan bulanan rakyat Filipina. Kepergian itu membawa kebahagiaan sekaligus kesedihan bagi rakyatnya.

Rakyat Filipina bahagia karena rezim diktator itu akhirnya minggat dari negaranya. Sedih juga karena kepergian Marcos membawa serta kekayaan negara berupa uang tunai, perhiasan, emas hingga saham yang tidak sedikit jumlahnya. Tetapi kebencian rakyat Filipina nyatanya tak bertahan lama.

Pada tahun 1991, Keluarga Marcos pada akhirnya kembali diterima rakyat Filipina setelah Ferdinand Marcos meninggal dunia. Keluarga Marcos kembali masuk politik tanpa halangan suatu apa. Bongbong Marcos, misalnya. Sang anak diktator itu karier politiknya melejit dalam waktu yang tidak terlalu lama. Ia pernah merasakan hangatnya kursi Gubernur Ilocos Utara era 1990-an. Ia juga pernah menjadi senator dan Menteri Pertanian Filipina.

Kondisi itu membuat Bongbong merasa percaya diri untuk menjadi orang pertama di Philipina. Ia kian berani mematok mimpi jadi Presiden Filipina seperti ayahnya. Dia kemudian mengumumkan pencalonannya bersama pasangannya Sara Duterte, putri presiden Rodrigo Duterte yang saat itu berkuasa di Philipina. Ia juga kemudian menemukan formula yang tepat: yaitu berkampanye melalui sosial media. Kampanye itu digunakannya untuk melaju dalam Pilpres Filipina 2022.

Dalam kampanyenya ia menggunakan media sosial seperti Facebook, Youtube, hingga TikTok dan sebagainya. Mimpinya yang ingin mengembalikan kejayaan keluarga Marcos menjadi semakin nyata. Semuanya karena Bongbong mampu menciptakan disinformasi dan mengemas citra gemoy dalam kampanyenya.

Gemoy di sini berasal dari plesetan kata gemas atau menggemaskan. Disinformasi kemudian diciptakan Bongbong dengan merujuk kepada ajian memutar balikkan fakta. Dosa-dosa masa lalu ayahnya mulai direduksi sedemikian rupa. Ia meletakkan narasi ayahnya seorang pahlawan, ketimbang diktator atau koruptor yang menjadi musuh bersama rakyat Philipina.

Mesin media sosial yang berisi influencer dari berbagai platform digerakkan untuk mengubah citra dirinya dan juga masa pemerintahan yang dipegang ayahnya. Hasilnya sungguh luar biasa karena Bongbong  mampu memengaruhi cara pandang pemilih muda kepada rezim Marcos yang awalnya sangat buruk menjadi sebaliknya. Apalagi target suara yang disasarnya kebanyakan anak muda yang notabene tak merasakan hidup di bawah kuasa ayahnya.

Lewat kampanye massif yang dilakukannya,Bongbong pun mulai mengunci kemenangannya dengan kampanye gemoy-nya. Ia dan cawapresnya, Sara Duterte --yang notabene anak Presiden juga-- mulai membuat video tarian bak anak muda. Tarian itu diunggah secara masih dengan narasi tarian BBM-Sara dan merebut hati jutaan anak muda Filipina.

Tarian gemoy itu jadi diikuti banyak pesohor media sosial di Philipina. Mereka yang awalnya tak mendukung Bongbong akhirnya ikut menyebarkan bahkan ikut menari BBM-Sara. Tarian gemoy itu memenuhi sosial media. Ramuan kampanye gemoy dan disinformasi dijadikan ajian ampuh merebut suara dalam Pemilu 2022.

Pada akhirnya Bongbong  menang mudah dalam Pilpres Filipina. Bongbong jadi Presiden Filipina dan dilantik menggantikan Rodrigo Duterte melalui sebuah upacara di Manila, pada Kamis (30/6/22). Kondisi itu membuat rakyat Filipina bak melupakan dosa-dosa kepemimpinan ayahnya.

Rupanya keberhasilan Bongbong di Philipina itu telah menginspirasi tim Prabowo bersama Gibran untuk mencoba dipraktekkan di Indonesia. Seperti halnya yang dilakukan oleh Bongbong, Tim Prabowo juga mulai kampanye masif dengan mengubah citra melalui media sosial dan menarget anak muda.

Prabowo dan timnya memanfaatkan media sosial (dalam hal ini TikTok) untuk membuat citra ‘gemoy’ yang belakangan memang viral dan melekat di hati para Milenial dan Generasi Z, segmen pemilih yang paling diperebutkan para kontestan pemilu untuk menggaet suara mereka.

Kalau Bongbong menggandeng anak penguasa Philipina yaitu Sara Duterte, putri presiden Rodrigo Duterte maka Prabowo menggandeng Gibran, Wali Kota Surakarta sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo, presiden yang sekarang berkuasa.

Seperti halnya yang dilakukan oleh tim pemenangan Bongbong, mesin media sosial yang berisi influencer dari berbagai platform juga digerakkan oleh Tim Prabowo untuk mengubah citra Prabowo yang awalnya dikenal lekat dengan pemerintahan orde baru yang dikenal korup dan otoriter, dan juga citra dirinya yang sering dilabeli sebagai pelanggar HAM (Hak Azasi Manusia).

 Sedikit banyak dengan adanya joget Gemoy  telah memengaruhi cara pandang pemilih muda kepada sosok Prabowo yang awalnya dikesankan sebagai pribadi yang tegas, kaku,militeristik, dengan semangatnya yang berapi api menjadi pribadi yang ramah, lucu dan menggemaskan menurut kacamata kawula muda. Apalagi target suara yang disasarnya kebanyakan juga anak muda notabene tak merasakan hidup di bawah penguasa rejim orde baru (Orba).

Saat ini rakyat pada umumnya khususnya generasi muda sudah mulai amnesia terhadap pemerintahan Orba yang dulu ditumbangkan rakyat pada tahun 1998 karena dosa dosanya. Lewat kampanye dan joged gemoy, “dosa dosa” Prabowo yang lekat dengan penguasa Orba mulai dilupakannya.

Berhasilkah ?

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah perubahan gaya berpolitik Prabowo dengan joget dan “gemoy” yang beredar dalam dunia maya bisa menjadi cara efektif mendulang suara pemilih mula di Nusantara?

Kalau di Philipina, massa pemilih Bongbong sendiri sebagian besar tidak memiliki memori ihwal people power tahun 1986 yang membuat sang diktator Ferdinan Marcos dilengserkan dari kursi kekuasaannya. Begitu pula halnya dengan pemilih generasi muda Indonesia sekarang yang memiliki kondisi serupa dengan tidak terlibat atau tidak tahu secara langsung soal peristiwa 1998 di Indonesia.

Sehingga borok borok yang terjadi pada masa Orba maupun rekam jejak Prabowo yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM dianggap sebagai masa lalu yang tidak penting untuk dipersoalkan lagi menurut pandangan generasi muda. Mereka lebih tertarik pada apa yang dilihat sekarang ketimbang mengenang masa lalu yang dianggapnya hanya menjadi catatan sejarah belaka.

Jika ada segmen generasi muda yang berpandangan demikian maka perubahan gaya politik Prabowo dengan joged gemoy-nya bisa berimbas efektif untuk  menarik suara dari generasi muda yang sudah terkena penyakit “amnesia”. Tapi bagi generasi muda yang cerdas, tak cukup sebagai faktor pemberian suara. Mereka masih dapat berpikir logis dan rasional untuk menentukan pilihannya. Sehingga tidak semua akan mudah terbujuk begitu saja, dengan joged joged gemoy yang tidak ada substansinya.

Tetapi kemudian kita juga memahami mengapa Prabowo mengubah strategi kampanyenya dengan joged “gemoy” dan jualan program program yang sifatnya instan jangka pendek seperti makan siang dan pembagian susu gratis bagi pelajar serta jualan kartu kartu ala Jokowi yang sekarang menjadi “panutannya”. Semua itu dilakukan barangkali karena Prabowo ingin menyesuaikan diri dengan karakter mayoritas pemilih suara di Indonesia pada umumnya.

Para pemilih kebanyakan masih mengidolakan simbolisme ketimbang politik gagasan yang bersifat rasional mengubah masa depan kehidupan mereka. Para pemilih masih banyak yang berpikir jangka pendek, bersifat pragmatis mengabaikan kepentingan jangka panjang untuk perbaikan kehidupan mereka. Itulah sebabnya program program jangka pendek seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), makan siang gratis, jualan kartu kartu, penampilan merakyat atau penampilan gemoy masih menjadi pilihannya.

Sehingga kalau orientasinya ingin menang Pilpres memang harus menyesuaikan diri dengan keinginan rakyat pada umumnya. Bukan keinginan para intelektual atau keinginan pemilih cerdas yang tidak banyak jumlahnya di Indonesia. Kalau memang demikian halnya, apakah Pilpres mendatang hanya akan melahirkan sosok pemimpin yang  dipilih rakyat  karena joged “gemoy-nya” ?. Sama halnya dengan fenomena Bongbong di Philipina sana ?.

 

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar