Jokowi Alumnus UGM Paling Memalukan, BEM UGM: Saatnya Turun ke Jalan!
BEM UGM nobatkan Joko Widodo sebagai alumni paling memalukan (Dok,BEM UGM)
Jakarta, law-justice.co - Belum lama ini, acara Diskusi Publik dan Mimbar Bebas yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM di area Bundaran UGM diwarnai aksi penyerahan sertifikat kepada sosok yang menggunakan topeng bergambar Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
BEM UGM menyerahkan selembar kertas bertulis `Sertifikat, diberikan kepada IR.H. Joko Widodo` sebagai Alumnus UGM Paling Memalukan dalam diskusi bertajuk `Rezim Monarki Sang Alumni: Amblesnya Demokrasi, Ambruknya Konstitusi, dan Kokohnya Politik Dinasti`.
Sertifikat itu ditandatangani Ketua BEM UGM, Gielbran Muhammad Noor.
"Sertifikat ini juga akan kami kirimkan langsung ke beliau (Jokowi), tapi lewat pos saja, karena kita malas di sana (Istana Negara) banyak tikus," kata Gielbran.
Kata dia pengiriman sertifikat Alumnus UGM Paling Memalukan kepada Jokowi itu juga akan dibarengi dengan pengiriman dokumen Maklumat Bulak Sumur. Bulak Sumur merujuk alamat kampus UGM di Yogya.
Setidaknya ada tiga poin dalam Maklumat Bulak Sumur itu. Pertama, menuntut iklim demokrasi yang demokratis; kedua, konstitusi yang tidak diotak-atik tanpa otak; ketiga, mencabut semua kebijakan yang tidak sesuai kehendak rakyat.
"Kebijakan yang tidak sesuai kehendak rakyat itu termasuk Undang Undang Cipta Kerja dan UU Kesehatan," kata dia.
BEM UGM juga akan mengirimkan dokumen kajian evaluasi kepemimpinan Jokowi selama dua periode setebal 333 halaman, selain sertifikat dan dokumen Maklumat Bulak Sumur.
Dalam orasinya, dia menegaskan bahwa rezim Jokowi bukanlah rezim yang kuat, namun karena masyarakat yang lemah, sehingga rezim ini sewenang-wenang.
"Omong kosong rezim yang kuat, kita lah yang lemah. Oleh karena itu mari sesaki jalanan dengan kemarahan dan teriakkan satu kata `Lawan`," kata dia.
Diskusi dan Mimbar Bebas itu menghadirkan sejumlah pembicara seperti aktivis demokrasi, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti serta pegiat antikorupsi, Zainal Arifin Mochtar.
Disisi lain, Haris Azhar dalam diskusi itu membeberkan praktek politik dinasti yang belakangan jadi sorotan soal proses anak Jokowi, Gibran Rajabuming, jadi cawapres melalui putusan MK, sebenarnya sudah terjadi sejak lama.
"Dinasti itu terbangun karena biasanya ada kesempatan. Kebetulan ada yang dekat keluarga pejabat atau penguasa lalu memanfaatkan kesempatan itu," kata dia.
Bedanya, Menurut dia, ada yang baru berkesempatan membangun dinasti dari level bawah seperti kabupaten/kota/provinsi dan ada yang berkesempatan membangun di level negara.
"Nah, mumpung dia ada di kekuasaan tertinggi, maka levelnya membangun dinasti naik," kata Haris.
Haris mencontohkan, proses dinasti yang coba dibangun Presiden Jokowi melalui keluarganya sebenarnya bisa terlihat tahapannya. "Berapa waktu yang lalu Jokowi bilang bahwa anaknya (Gibran) baru dua tahun jadi wali kota, maka disebut tidak cocok (maju cawapres)," kata dia.
Tapi ternyata tak cuma Gibran yang akhirnya maju cawapres, anak Jokowi yang lain, Kaesang, juga jadi ketua partai. "Jadi dinasti ini terbentuk karena masyarakat seperti juga memakluminya," kata Haris.
Dia menyebut langgengnya dinasti politik juga dipicu karena biasanya penguasa telah menguasai elemen-elemen dasar kebutuhan masyarakat. Sehingga masyarakat bergantung keberadaan penguasa dan dinastinya demi bisa bertahan hidup.
"Yang jadi pertanyaan besar, bagaimana potret bangsa ini ke depan dengan politik dinasti itu?" kata dia.
Pegiat anti korupsi Zaenal Arifin Mochtar menambahkan, menguatnya politik dinasti di era pemerintahan Jokowi tak bisa ditimpakan ke Jokowi semata.
"Tapi juga partai-partai pendukungnya yang mendukung pembiaran praktik itu terjadi. Jadi ini dosa kolektif kenegaraan," kata Zaenal.
Satu satunya cara menumbangkan dinasti ini, kata Zaenal, hanya dengan tidak memberinya suara dalam pemilu. Agar kekuasaan tidak berlanjut.
"Pemilu memang tidak pernah melahirkan malaikat, namun bisa meminimalisir yang paling menakutkan muncul," kata dia.
Komentar