MK Resmi Tak Terima Gugatan Anggota DPR, DPD, DPRD Dibatasi 2 Periode

Kamis, 30/11/2023 13:09 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 atau legalisasi ganja untuk medis dan menilai materi yang diuji adalah kewenangan DPR dan pemerintah. Sidang uji materi tersebut dengan pemohon Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Robinsar Nainggolan

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 atau legalisasi ganja untuk medis dan menilai materi yang diuji adalah kewenangan DPR dan pemerintah. Sidang uji materi tersebut dengan pemohon Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa tidak dapat menerima permohonan uji materiil yang ingin anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hanya dibatasi dua periode.

Permohon itu tercatat dengan nomor 98/PUU-XXI/2023 yang diajukan mahasiswa, Andi Redani Suryanata. Dia menguji Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu terkait masa jabatan anggota DPR, DPRD, dan DPD.

Ketua MK Suhartoyo menyampaikan kesimpulan bahwa mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

"Menyatakan permohonan tidak dapat diterima," ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MKRI, Jakarta, Rabu (29/11).

Dalam salah satu pertimbangannya, mahkamah menilai norma pada kedua pasal yang diuji itu baru dapat dinilai telah merugikan atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak konstitusional Pemohon apabila menghalangi hak Pemohon untuk mencalonkan atau dicalonkan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota.

Kendati demikian, mahkamah berpendapat persyaratan yang termaktub dalam kedua norma pasal tersebut tidak menghalangi hak konstitusional Pemohon untuk diajukan sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota, dan DPD.

Karenanya, syarat dalam kedua pasal itu dinilai termasuk syarat personal yang melekat pada individu yang akan mencalonkan diri atau diajukan sebagai calon.

Pemohon pun dinila telah terbukti tidak dapat memenuhi persyaratan adanya kerugian atau anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017.

Perkara ini didaftarkan ke MK pada 6 Agustus 2023 silam. Setelahnya, sidang pemeriksaan pendahuluan digelar pada 11 September.

Lalu, pada 25 September terdapat sidang perbaikan permohonan. Hingga akhirnya MK membaca putusannya pada sidang pengucapan putusan pada 29 November.

"Menyatakan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang-Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk juga "tidak pernah memegang jabatan sebagai anggota DPD selama dua periode dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut"," demikian bunyi petitum yang diajukan pemohon.

"Menyatakan Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang-Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk juga "tidak pernah memegang jabatan sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota selama dua periode dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut"," bunyi petitum lainnya.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar