KKP Tegaskan Ekspor Pasir Laut Lanjut Meski Tim Mahfud Minta Disetop

Rabu, 29/11/2023 09:29 WIB
Hati-hati, Ada Sesuatu Dibalik Izin Ekspor Pasir Laut Jokowi. (Pikiran Rakyat).

Hati-hati, Ada Sesuatu Dibalik Izin Ekspor Pasir Laut Jokowi. (Pikiran Rakyat).

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa akan tetap melanjutkan kebijakan ekspor pasir laut meski Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengusulkan agar Presiden Jokowi mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Juru Bicara Menteri KKP, Wahyu Muryadi mengatakan tim bentukan Mahfud tersebut bersifat internal yang hanya menyampaikan usulan kepada menteri koordinator yang bersangkutan.

"Tapi silahkan saja, kami akan tetap menjalankan kebijakan tersebut karena tata kelolanya sangat berbeda dengan rezim penambangan pasir laut yang diatur oleh Kementeria ESDM merujuk UU Minerba. Ini urusan pengelolaan sedimentasi di laut yang menjadi tanggung jawab KKP berdasarkan UU Kelautan," kata Wahyu seperti melansir cnnindonesia.com, Selasa (28/11).

Wahyu menambahkan dalam PP Nomor 26, pasir yang diperbolehkan untuk diekspor adalah pasir hasil sedimentasi. Pasir itu pun hanya boleh diambil dari ordinat tertentu berdasarkan rekomendasi kajian ilmiah para pakar oseanografi yang melibatkan ahli di bidangnya dari kementerian dan lembaga terkait serta pemerintah daerah (pemda) setempat.

Dia menjelaskan sedimentasi merupakan endapan atau polusi di laut yang justru harus dibersihkan karena mengganggu ekosistem biota laut seperti rumput laut, kekerangan, koral, dan sebagainya.

"Nah ini mau dibersihkan, ibaratnya bersihin sampah malah negara dapat rezeki pemasukan berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kan bagus. Prinsipnya tata kelolanya harus benar dan proper," katanya.

"Jadi kami berpandangan mending diatur tata kelolanya dengan prinsip tak boleh merusak lingkungan. Bukan seperti penambangan pasir selama ini yg dilakukan secara serampangan, sehingga merusak lingkungan dan murah pula," tambahnya.

Ekspor sendiri, lanjut Wahyu, merupakan opsi paling akhir jika kebutuhan domestik yang begitu besar sudah terpenuhi dengan menggunakan mekanisme government to government (G2G) sebagai payung hukum sebelum dilakukan antar business to business (B2B).

Apalagi Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono juga ke depan, katanya, akan mensyaratkan bahwa setiap reklamasi di mana pun di dalam negeri harus menggunakan bahan sedimentasi.

Sementara itu, badan usaha yang diperbolehkan mengekspor pasar sedimen harus mengajukan izin ke KKP.

"Harus mengajukan proposal kepada KKP yang akan kami uji bonafiditas finansialnya dan kecanggihan teknologi kapalnya apakah mampu melakukannya tanpa merusak lingkungan dan sebagainya," katanya.

Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengusulkan kepada Presiden RI Jokowi untuk mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Dalam rekomendasi jangka pendeknya, Tim Percepatan Reformasi Hukum, khususnya yang membidangi isu reformasi sektor agraria dan sumber daya alam (SDA), mengusulkan kepada Jokowi agar pencabutan pp itu dilakukan pada Desember 2023.

Dalam dokumen rekomendasi yang diserahkan kepada Presiden RI yang dipublikasikan Antara, Sabtu (16/9), Tim Percepatan Reformasi Hukum menyoroti masih ada kebijakan-kebijakan yang berisiko berdampak pada kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible).

Walaupun demikian, rekomendasi jangka pendek yang mencakup revisi dan pencabutan beberapa peraturan, menurut Tim Percepatan Reformasi Hukum, hanya akan bermakna jika diikuti dengan tindak lanjut atas rekomendasi jangka menengah dan jangka panjang.

Dalam pengelolaan agraria dan SDA lainnya, Tim juga memandang bahwa tidak berarti yang paling mendesak adalah untuk menyelesaikan persoalan yang bersifat jangka pendek.

Dalam dokumen rekomendasinya, Tim memandang perlu perbaikan kebijakan maupun peningkatan kapasitas kelembagaan serta penyesuaian terhadap pola administrasi baru, yang semuanya memerlukan waktu lebih panjang.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar