Nawaitu Redaksi

Ironi Aturan Kampanye Pemilu, Siapa Bermain dan Diuntungkan?

Sabtu, 28/10/2023 00:00 WIB
Contoh surat suara pemilu 2024 (Dok.Ist)

Contoh surat suara pemilu 2024 (Dok.Ist)

Jakarta, law-justice.co - Gelaran pemilu 2024 memang tidak lama lagi bakal tiba. Sejumlah partai politik, calon anggota legislatif (caleg), serta calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mulai intens melakukan aksinya. Flyer dan brosur mulai tersebar dimana mana. Spanduk, baliho, hingga Videotron, yang sering disebut sebagai alat peraga kampanye (APK) pun mulai terpampang di hampir seluruh ruas jalan di berbagai kota bahkan sampai pelosok desa.

Sebagian dipasang melalui reklame berbayar atau melalui penyampaian izin pemasangan ke Pemerintah Daerah (Pemda), namun sebagian besar dipasang secara liar disembarang  tempat tak ada izinnya.

Aktivitas yang marak berbalut kegiatan sosialisasi tidak hanya berkaitan dengan pemasangan alat peraga saja. Partai politik pun sudah mulai banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya pengumpulan massa, seperti Harlah Partai, Halal bi halal, deklarasi dukungan capres, senam bersama, konser musik, mancing bersama, pembagian sembako dengan barter KTP atau KK, pengobatan gratis, dan bentuk kegiatan lainnya. Sosialisasi "rasa kampanye" pun mulai bermunculan dimana mana.

Untuk diketahui sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 bahwa masa Kampanye baru akan dimulai tanggal 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.

Kampanye massif para caleg dan dan capres bukan hanya terjadi di dunia nyata saja melainkan juga ada di dunia maya. Seolah olah masa kampanye memang sudah dilegalkan dan mereka semua boleh jual diri dan jualan  jagoannya untuk dipilih menjadi calon pejabat negara. Tapi anehnya pihak terkait yang diberi tanggungjawab untuk penertiban dalam rangka penegakan hukumnya  terkesan cuek cuek saja.

Mungkin karena kesal dengan fenomena yang ada, puluhan massa mahasiswa merusak APK caleg yang bertebaran diberbagai sudut kota Bogor tanggal 7 Oktober 2023.  Kejadian seperti itu bisa saja terjadi diberbagai wilayah di Indonesia.

Lalu dimana kira kira letak masalahnya ? Siapa yang harus melakukan penertiban dan pembersihan APK  yang terpasang di sembarang tempat dan  diatur dalam ketentuan yang mana?

Salah Kaprah Aturan Kampanye

Mengacu pendapat ahli sejarawan hukum Amerika, Lawrence M Friedman menyatakan bahwa hukum sebagai suatu sistem, dalam operasinya mempunyai tiga elemen yang saling berkaitan yaitu substansi, struktur dan kultur hukum. Substansi hukum adalah aturan hukum itu sendiri, struktur hukum adalah penegak hukumnya sementara budaya hukum adalah pemakai jasa hukum atau rakyat itu sendiri sebagai obyeknya.

Dalam kaitannya dengan aturan tentang kampanye, peraturan tentang pelaksanaan kampanye ternyata masih mengandung permasalahannya didalamnya.Tidak ada kejelasan untuk membedakan mana kampanye politik dan mana kampanye pemilu sehingga aparat penegak hukumnya akhirnya juga kewalahan untuk bisa menertibkan pelanggaran pelanggaran yang timbul akibat ketidak jelasannya.

Sesungguhnya kampanye politik dan kampanye pemilu memiliki makna, fungsi dan posisi yang berbeda.Kampanye politik, umumnya bersifat jangka panjang dan terus menerus dan hampir mustahil dibatasi durasi waktunya. Karena kampanye ini bertujuan membangun citra politik yang spesifik tentang partai atau kandidat dalam konteks membentuk dan membina dukungan dan basis politik di tengah masyarakat yang bersifat bertahan lama dan tidak hanya dalam rangka pemilu saja.

Kampanye jenis ini selalu dilakukan dengan cara yang lebih interaktif dan bermaksud mencari pemahaman bersama dalam rangka menghadapi dan mengatasi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi bersama.

Produk utama kampanye politik bukan jumlah suara, tapi pengungkapan masalah bersama, penyusunan agenda publik dan perumusan jalan keluarnya seperti apa. Semua proses ini di satu sisi merupakan hasil dialog dan hubungan yang cenderung setara antara partai atau kandidat dengan masyarakat di wilayahnya.

Di sisi lain merupakan upaya partai atau kandidat mengimplementasikan ideologi dan nilai-nilai yang dijunjung partai atau kandidat ke dalam masalah-masalah riil yang dihadapi masyarakatnya. Artinya, kampanye politik adalah aktivitas sangat penting saat partai atau kandidat menjalankan fungsi-fungsi politik paling mendasar seperti: pendidikan politik, artikulasi kepentingan dan rekrutmen politik untuk menambah jumlah simpatisannya.

Kampanye ini jelas tidak boleh dilarang dan justru harus digalakkan sepanjang tahun agar partai atau kandidat benar-benar bekerja sebagai layaknya sebuah partai atau seorang kandidat pemimpin yang tidak hanya baru aktif saat menjelang pemilu saja.

Sebaliknya kampanye pemilu, dari namanya saja, bisa diketahui bersifat jangka pendek yaitu pada saat menjelang pemilu saja. Tujuannya hanya untuk memobilisasi dukungan dan menggiring pemilih ke bilik suara. Kampanye cenderung bersifat satu arah dengan memberi tekanan yang sangat besar pada harapan dan janji jika memenangkan pemilu nantinya.

 Produk utama kampanye ini adalah janji-janji politik di satu sisi dan dukungan di bilik-bilik suara di sisi lainnya. Hubungan antara partai atau kandidat dalam konteks ini karenanya tidak bersifat permanen, cenderung pragmatik dan sangat tergantung pada program konkrit dalam bentuk aktivitas fisik yang diberikan saat kampanye dan tidak permanen sifatnya.

Berbeda dengan kampanye politik, kampanye pemilu ada rambu rambunya. Karena tujuannya yang sangat spesifik untuk memperoleh dukungan di bilik suara, kampanye jenis ini memang sejak awal dimaksudkan hanya untuk aktivitas menjelang pemilu saja.

Yang menjadi persoalan kemudian adalah pengaturan atau pelarangan kampanye dalam waktu tertentu ini tidak disadari perbedaannya oleh penyelenggara pemilu maupun peserta. Akibatnya pembatasan yang jelas lebih tepatnya diterapkan untuk kampanye pemilu akan berimbas pada kampanye politik yang  ikut-ikutan dilarang pula. Dalam hal ini apa yang dianggap sebagai pelanggaran dalam berkampanye  bisa jadi bukan pelanggaran jika apa yang sedang dilakukan partai atau kandidat adalah kampanye politik sehingga memang harus jelas batasan batasannya.

Pertama-tama aturan pembatasan kampanye pemilu perlu memperhatikan pentingnya aspek dialog dan hubungan yang cenderung interatif antara partai atau kandidat dengan para calon pemilih. Tekanan pada arti penting dialog membuat kampanye pemilu mustinya mendapat alokasi waktu yang lebih longgar.

Bisa dibayangkan kampanye yang serba terbatas ini akan sulit mengedepankan dialog antar mereka. Jumlah pemilih yang banyak dan cakupan dapil yang luas akan semakin mempersulit proses dialog bisa terlaksana. Kampanye kemudian bisa menjadi sangat pragmatis; berisi janji-janji dan harapan yang seringkali sangat tidak mendidik; dan, sudah tentu yang paling parah dari semua ini adalah penggunaan hadiah dalam bentuk uang tunai ataupun bantuan barang dan pembangunan fisik sebagai satu-satunya cara yang paling masuk akal untuk memobilisasi dukungannya.

 Artinya, jika tidak berhati-hati, aturan pembatasan kampanye justru berpotensi besar membuat kampanye pemilu menjadi tidak bermutu dan terperangkap dalam politik uang yang saat ini memang sudah merajalela dimana mana.

Disini apa yang dikenal sebagai pelanggaran kampanye pemilu seringkali tidak lain dari upaya partai atau kandidat tertentu untuk membangun dukungan melalui proses-proses yang lebih cerdas seperti dialog dan membangun pemahaman bersama. Upaya seperti ini mudah menjadi pelanggaran karena perlu dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama dari masa kampanye yang dibolehkan. Tapi sesungguhnya model kampanye seperti ini yang perlu diapresiasi karena berpotensi meminimalisir politik uang atau pemberian hadiah lainnya.

Selain pentingnya memperhatikan aspek dialogis, pembuatan aturan kampanye juga perlu mempertimbangkan dan bersikap adil terhadap posisi partai atau kandidat. Bagi partai atau kandidat yang sedang berkuasa, batas waktu kampanye bisa jadi tidak menjadi masalah sama sekali.

Pertama, partai atau kandidat tersebut sudah dikenal luas masyarakat karena posisinya sebagai petahana. Kedua,banyak sekali program pemerintah yang dibiayai oleh negara juga bisa dengan mudahnya di klaim sebagai program partai atau kandidat petahana sehingga menjadi semacam kampanye terselubung.

Ketiga, partai atau kandidat petahana juga selalu memiliki basis sumber daya yang lebih memadai untuk melakukan kampanye pemilu dalam waktu singkat yang umumnya memerlukan yang lumayan besar jumlahnya

Sebaliknya partai atau kandidat yang bukan petahana memerlukan waktu yang lebih lama untuk memobilisasi dukungan. Pertama, sekedar untuk memperkenalkan diri saja kepada calon pemilih dan membuat calon pemilih tidak curiga dan cenderung enggan dengan orang baru memerlukan waktu yang panjang dan bahkan tidak bisa dengan menggunakan uang berapapun besarnya.

Kedua, partai dan kandidat yang bukan petahana dalam posisi yang kurang menyenangkan karena akan cenderung memulai kampanye dengan bersikap kritis terhadap petahana. Seringkali sikap kritis ini bisa menjadi bumerang jika mengingat kecenderungan masyarakat yang masih alergi dengan kritik. Sekalipun kritik tersebut mengungkap hal yang benar, seperti mengingatkan kembali bahwa program-program pembangunan petahan bukan milik pribadinya.

Ketiga, bisa dibayangkan dengan semua situasi seperti ini, partai dan kandidat yang bukan petahana akan selalu memerlukan sumber daya yang sangat besar bahkan hanya untuk bersaing secara adil

Siapa Yang Berwenang Menertibkan ?

Selain pembenahan terkait dengan aturan kampanye politik dan kampanye pemilu. Hal lain yang juga sangat mendesak untuk dicarikan solusinya adalah bagaimana menegakkan hukum ata setiap pelanggaran kampanye pemilu.

Fakta yang terjadi di lapangan adalah alat peraga yang terpasang lebih didominasi oleh spanduk, baliho hingga Videotron yang sudah mencirikan sebagai APK karena memuat visi, misi, program, foto bacaleg/bacapres dan disertai unsur ajakan untuk memilih pada hal sebenarnya hal ini belum boleh dilakukan sebelum masa kampanye tiba.

Kemudian, berkaitan dengan bentuk kegiatan sosialisasi dan Pendidikan politik yang seharusnya berupa metode pertemuan terbatas dalam ruangan atau Gedung tertutup dan/atau pertemuan virtual melalui Media Daring (ketentuan pertemuan terbatas ), faktanya banyak kegiatan yang melibatkan masyarakat umum dan di tempat terbuka.

Kegiatan sosialisasi untuk internal partai politik sudah berubah menjadi ajang kampanye karena sudah melibatkan dan mengajak masyarakat untuk memilih mereka disertai dengan membagikan bahan kampanye dan memasang APK. 

Kalau di identifikasi kewenangan para pihak maka KPU berfokus pada aspek teknis penyelenggaraan pemilu dan Bawaslu fokus pada pengawasan tahapan pemilihan umum, dan bukan pada tugas-tugas penertiban APK.

Lembaga yang lebih berwenang melakukan penertiban APK yang diduga melanggar aturan, dengan melihat perangkat hukum yang ada maka Satpol PP tidak perlu ragu untuk menjalankan tugasnya dengan menggunakan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum. 

Celakanya, sebagian Satpol PP terhadap kondisi ini cenderung menghindar untuk melakukan penertiban terhadap spanduk, baliho, maupun Videotron dengan konten Pemilu, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kepemiluan itu merupakan wilayah tugas Pengawas Pemilu.

Mengapa harus Satpol PP ? Karena Bawaslu dan KPU harus menjaga netralitas dan tidak dapat terlibat dalam tugas penertiban yang bersifat politis di luar kewenangannya. Tugas penertiban lebih baik dilakukan oleh lembaga atau instansi yang memiliki wewenang dan tugas khusus dalam mengatur perizinan dan penertiban APK, seperti Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) atau instansi pemerintah daerah setempat.

Berdasarkan fenomena sebagaimana dikemukakan diatas , sudah sepantasnya selama masa kampanye belum dimulai, maka Pemda melalui Satpol PP dapat langsung melakukan penertiban reklame/APK yang tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ada.

Sepanjang masa kampanye belum dimulai, dalam hal reklame/APK tersebut diketahui sudah memperoleh izin atau berbayar dan sudah terpasang, apabila konten reklame/APK sudah memenuhi unsur kampanye (memuat visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu) dan berisi ajakan untuk memilih, maka reklame/APK tersebut perlu segera ditertibkan, atau pihak pemasang dimintakan untuk merubah konten reklame/APK.

Sebelum masa kampanye dimulai, jika terdapat pihak yang akan memasang reklame/APK, maka sebagai langkah pencegahan Pemda dapat memberikan masukan berkaitan dengan konten reklame/APK agar tidak berisi ajakan kampanye karena hal itu melanggar ketentuan yang ada.

Selanjutnya jika sudah  memasuki masa kampanye, maka yang menjadi perhatian pemerintah daerah (Pemda) dalam rangka penertiban adalah titik pemasangan APK apakah di tempat yang dilarang atau diperbolehkan.

Dimasa kampanye ini pula  Dalam hal sudah memasuki masa kampanye, jika terjadi pelanggaran maka Bawaslu perlu segera melakukan proses penanganan dugaan pelanggaran administrative Pemilu melalui pemeriksaan acara cepat pada hari yang sama;Akan halnya ditemukan konten reklame/APK yang terpasang berisikan ujaran kebencian, hoax, atau SARA, maka Pemda segera melakukan penertiban tanpa kecuali sesuai dengan ketentuan yang ada.

Bagaimanapun untuk terwujudnya pemilu yang berkualitas, upaya penertiban terhadap APK yang menyalahi aturan memang perlu segera dilakukan. Agar supaya tidak terjadi main hakim sendiri seperti yang diduga terjadi di Bogor dan tempat tempat lainnya.  

Dengan demikian selain perlu adanya  pembenahan peraturan kampanye politik dan kampanye pemilu, perlu juga kejelasan aparat penegak hukum yang menegakkan aturan supaya tidak ada kegamangan dalam melaksanakan tugasnya. Semua itu utuk mencegah terjadinya hal hal yang tidak diinginkan misalnya kejengkelan masyarakat karena menganggap aturan tidak dijalankan sebagaimana yang mereka harapkan. Bukankah kita menginginkan pemilu yang berkualitas demi terwujudnya kedaulatan rakyat yang sebenarnya ?

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar