Analisis Hukum Vonis MK Umur Capres/Cawapres, Sarat Penyeludupan Hukum

Rabu, 01/11/2023 07:33 WIB
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Robinsar Nainggolan

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co -  

Keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan uji materi tentang usia calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, telah merusak reputasi penegakan hukum konstitusi di Indonesia  Sejumlah organisasi dan pakar hukum mengkritik putusan MK tentang uji materi yang mengabulkan permohonan syarat usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) minimal 40 tahun atau pernah menjabat kepala daerah.

Sebagaimana diketahui, dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK mengizinkan seseorang yang usianya belum mencapai 40 tahun untuk maju dalam pilpres. Syaratnya, orang tersebut harus berpengalaman menduduki jabatan hasil pemilihan langsung, baik sebagai kepala daerah, DPD, maupun DPR dan DPRD. Meski demikian, putusan tersebut tidak diputus secara bulat. Tiga hakim yang mengabulkan permohonan uji materi itu adalah Guntur Hamzah, Manahan Sitompul, dan Anwar Usman.

Lalu, empat hakim memilih dissenting opinion atau pendapat yang berbeda. Mereka adalah:  Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Serta, dua hakim memilih occurring opinion (kabul tapi beda alasannya ) Yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic. Dalam pertimbangannya, hakim MK Guntur Hamzah mengatakan, batas usia capres/cawapres tidak diatur secara jelas oleh UUD 1945.

Adanya keputusan MK yang mengizinkan seseorang yang usianya belum mencapai 40 tahun untuk maju dalam pilpres dengan syarat orang tersebut telah berpengalaman menduduki jabatan hasil pemilihan langsung, dimaksudkan guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada generasi muda.

Menurut MK, sudah semestinya syarat  calon pemimpin tidak hanya secara tunggal tapi juga mengakomodasi syarat lainnya. Yang terpenting dapat menunjukkan kelayakan dan kapasitas seseorang untuk turut dalam kontestasi sebagai calon pemimpin bangsa.

Keluarnya Keputusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut telah menimbulkan kontroversi karena banyak terdapat inkonsistensi di dalamnya dan terdapat upaya untuk penyelundupan hukumnya. Lalu seperti apa wujud inkonsisten Keputusan MK dan cara acara penyelundupan hukum yang dilakukan oleh hakim hakim MK ?

Analisis Hukum

Seperti diketahui, dalam hal batasan usia Capres dan Cawapres ada beberapa permohonan yang diajukan ke MK. Diantaranya permohonan uji materiil No. 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh PSI (Partai Solidaritas Indonesia).

Dalam permohonan ini, para pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q tersebut diskriminatif, tidak ilmiah, dan bertentangan dengan maksud asli (original intent) pembentukan UUD 1945 dan Risalah Pembahasan Perubahan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa batasan usia capres dan cawapres adalah 35 tahun, bukan 40 tahun.

Selain PSI, permohonan senada datang dari  Partai Garuda sebagaimana tertuang dalam perkara No. 51/PUU-XXI/2023 yang mendalilkan alasan yang sama. Dalam permohonan ini, pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni “pernah menjadi penyelenggara negara” untuk dapat mengimbangi batas usia minimal 40 tahun.

Namun, semua permohonan tersebut ditolak oleh MK dengan dalih bahwa pembatasan usia capres dan cawapres merupakan ranah dari pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga MK tidak bisa menerimanya.Selain itu menurut MK apa yang diajukan "memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara" akan menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi. 

Disamping definisi penyelenggara negara sebagaimana diajukan oleh Pemohon dinilai terlalu luas dan beragam. Sementara pemohon tidak mampu memberi batasan jabatan yang dipilih dan diangkat. Oleh karena itu, MK tegas menyatakan jika hal itu tetap merupakan kewenangan pembentuk undang-undang alias open legal policy. 

Namun, hal yang berbeda dan aneh justru terdapat pada putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbiru. Pada intinya, pemohon meminta agar ada syarat alternatif untuk menjadi capres/cawapres.Syarat alternatif yang dimaksud adalah berpengalaman sebagai kepala daerah baik itu di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.

Untuk permohonan perkara ini, MK justru mengabulkan permohonan Almas. Tanpa adanya argumentasi hukum yang jelas, MK justru menerima sebagian permohonan mengenai batas minimal usia capres dan cawapres dengan syarat berpengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials), termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada), dengan alasan bahwa Presiden dan DPR telah menyerahkan sepenuhnya penentuan batas usia dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu kepada MK.

Dengan demikian, meski belum berusia 40 tahun, namun ia sedang atau pernah menjadi anggota DPR, DPD, DPRD kabupaten/kota dan provinsi, gubernur, bupati, wali kota bisa menjadi capres atau cawapres. 

Dari putusan itu, jelas MK tidak konsisten. Padahal, dalam dua perkara sebelumnya MK dengan tegas menolak dan tegak lurus jika permohonan itu merupakan open legal policy. Namun dalam perkara yang diajukan Almas, permohonan pun tidak jauh berbeda tapi hasilnya tidak sama dengan tiga putusan di atas. Disini jelas bahwa MK sangat tidak konsisten dengan keputusannya.

Dalam perkara yang diajukan oleh PSI dan partai Garuda, MK secara tegas menolak dan bersikap bahwa hal itu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Tapi, dalam perkara Almas, tidak demikian halnya.  MK justru menerimanya permohonannya kemudian memutuskan untuk  menambahkan suatu norma baru diluar kewenangannya. Karena kewenangan menambah norma baru ada di DPR dan Pemerintah selaku positive legislator.

Tapi, dalam perkara Almas, MK telah memgambil alih tugas DPR tersebut.Inilah wujud inkonsistensi yang begitu nyata dipamerkan dalam amar keputusannya seolah olah tanpa beban dalam waktu yang hanya hitungan jam pula.

Selain bersifat inkonsistensi, keputusan MK terkait dengan usia capres dan cawapres diwarnai oleh adanya upaya untuk penyelundupan hukum meskipun caranya begitu halus nyaris tidak terendus oleh para pakar pada umumnya.

Adanya penyelundupan hukum bisa dilihat pada perkara MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yaitu berkaitan dengan pendapat hakim MK yang menyampaikan alasan berbeda atau concurring opinion yang disampaikan oleh Hakim Konstiusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh.

Jika dicermati pendapat kedua hakim MK tersebut maka keduanya  menginginkan agar syarat capres dan cawapres ialah berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat sebagai gubernur melalui pilkada. Artinya, mereka menginginkan agar walikota, wakil walikota, bupati, dan wakil bupati tidak termasuk di dalamnya.

Sebenarnya keinginan Enny dan Daniel yang memberikan alasan berbeda itu bukan masuk dalam kategori concurring opinion, tetapi dissenting opinion atau perbedaan pendapat sehingga posisinya seharusya sama dengan pendapat empat hakim MK lainnya itu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Jika pendapat dua hakim MK tersebut yaitu Enny dan Daniel masuk kubu dissenting opinion maka sesungguhnya ada enam hakim yang tidak setuju dengan putusan itu dan hanya tiga hakim yang setuju sehingga seperti halnya gugatan yang disampaikan oleh PSI dan partai Garuda terhadap perkara yang sama, seharusnya gugatan mahasiswa bernama Almas Tsaqibbiru ditolak oleh MK juga.

Namun dalam petitumnya, nyataya MK tetap menyatakan bahwa capres dan cawapres harus berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pilkada.Disinilah terjadinya skandal penyelundupan hukum sehingga formasi keputusan MK hakim yang memutuskan formasinya menjadi 5:4 atau lima disbanding empat, pada hal seharusnya 6:3 atau enam dibanding tiga.

Meski sarat dengan inkonsistensi dan penyelundupan hukum , namun karena keputusan MK itu bersifat final dan mengikat, bagaimanapun harus dilaksanakan atau ditindaklanjuti, termasuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Selain bersifat inkonsisten dan ada nuansa penyelundupan hukum, keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 juga diwarnai oleh serangkaian kejanggalan yang membuat orang menjadi bertanya tanya.

Kejanggalan kejanggalan tersebut sebenarnya sudah bisa dibaca sejak awal pengajuan gugatan sampai proses penyidangannya. Adapun rangkaian kejanggalan itu diantaranya adalah:

Pertama, Lemahnya status hukum pemohon. Permohonan uji materiil No. 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta, pada 3 Agustus 2023.Pemohon tidak menjelaskan kerugian konstitusional secara jelas. Pemohon juga bukan orang yang sudah berusia cukup untuk menjadi calon kepala daerah, juga bukan seorang kepala daerah, maupun anggota legislatif.

Basis kerugian konstitusionalnya hanya didasarkan pada pengalaman dan keberhasilan Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Solo. Dalil tersebut tentu tidak memiliki hubungan langsung dengan pemohon. Bila permohonan ini diajukan oleh Gibran, kerugian konstitusionalnya jelas karena dialami secara langsung sebagai pemohon.

MK biasanya sangat ketat perihal status dan kedudukan hukum (legal standing) pemohon. Namun dalam putusan ini MK terlihat “sangat ramah” dan bersedia memberi jalan lapang baginya untuk memenuhi syarat pemohon. Hal ini tentu bertentangan dengan syarat legal standing pemohon uji materiil MK yang menegaskan bahwa kerugian konstitusional harus dialami langsung, spesifik, dan aktual.

Selain itu, pihak pemohon ternyata pun masih ada keterlibatan dengan Presiden Jokowi. Almas, pemohon gugatan, merupakan putra Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI).Boyamin sendiri pernah mengaku kepada media Tempo bahwa ia punya hubungan dan kedekatan yang panjang dengan Jokowi.

Kedua, Konflik kepentingan yang terlihat jelas. Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Putusan No. 29-51-55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh seluruh Hakim MK kecuali Anwar Usman selaku Ketua MK. Hasilnya, para hakim bersepakat untuk menolak permohonan ini, dengan dua hakim yang memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Namun, pada permohonan uji materiil No. 90-91/PUU-XXI/2023, Ketua MK hadir dalam RPH sehingga beberapa hakim mendukung model alternatif yang dimohonkan pemohon.

Apa yang terjadi ini mencerminkan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam tubuh MK. Ini karena permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023 jelas menyebutkan nama keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai inspirasi pemohon dalam mengajukan permohonan uji materil terhadap ketentuan batas usia capres dan cawapres.

Anwar Usman sendiri adalah adik ipar Jokowi, yang artinya ia adalah paman dari Gibran. Sementara itu, Pasal 17 ayat 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menegaskan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.

Artinya, Anwar sebenarnya punya tanggung jawab moral untuk tidak terlibat dalam persidangan permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023. Kenyataannya, ia justru terlibat dalam memutuskan langsung.

Ketiga, MK Terbukti Tunduk pada Keinginan DPR dan Pemerintah. Dalam kaitan dengan soal usia capres cawapres ini terlihat sekali MK menuruti keinginan DPR dan Pemerintah untuk memutuskan perkaranya. Pada hal terkait dengan usia Capres dan Cawapres seyogyanya menjadi ranahnya DPR dan Pemerintah sebagai pembuat Undang Undang. Tetapi dalam hal ini MK telah menjalankan fungsi sebagai aktif legislator bukan negative legistor yang sesungguhnya bukan kewenangannya

Dengan peran yang dimainkannya ini maka MK dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, telah melepaskan predikat kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi checks and balances. Alhasil, MK terkesan menjadi alat politik DPR dan Presiden untuk melakukan perubahan UU secara instan dan tidak melibatkan partisipasi public sebagaiman mestinya

Ke empat, ada anomali dari aspek prosedur pengambilan keputusan MK.  Dimana sejatinya, perkara-perkara   No. 29/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor No. 51/PUU-XXI/2023 sudah selesai di Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pasca tiga perkara pertama selesai diperiksa. Namun, MK menunggu dua perkara lainnya masuk yaitu perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023 dengan alasan agar diputus berbarengan.

Dalam kaitan tersebut ada upaya untuk memperlambat keadilan, meskipun tidak ada standarnya. Dalam dissenting opinion Hakim Konstitisi Prof Arief Hidayat menyebut perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023 pernah dinyatakan dicabut oleh kuasa hukumnya dengan surat bertanggal 26 September 2023 pada Jumat, 29 September 2023. Tetapi pada Sabtu, 30 September 2023 Pukul 20.36 WIB, pemohon membatalkan pencabutan perkara.

Kejanggalan pencabutan perkara ini terdapat perbedaan waktu penerimaan dan nama petugas penerima surat pembatalan pencabutan perkara antara keterangan kuasa hukum pada persidangan Senin 3 Oktober 2023 dengan waktu yang tertera pada Tanda Terima Berkas Perkara Sementara (TTBPS).

Adanya keputusan hakim MK yang inkosisten diwarnai dengan skandal penyelundupan hukum dan serangkaian kejangggalan kejanggalan lainnya memunculkan adanya kecurigaan adanya agenda terselubung didalamnya.

Dugaan publik, semua itu dipersiapkan untuk memberikan jalan bagi pencalonan anak Presiden Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil Presiden Prabowo Subianto yang sebelumnya tidak memenuhi syarat karena kendala umurnya.

Dengan adanya keputusan MK  nomor 90/PUU-XXI/2023, jelas membuka jalan bagi  Gibran untuk menjadi calon orang kedua di Indonesia, sebagai cawapresnya Prabowo Subianto.Dugaan publik itu ternyata terbukti adanya dengan telah dipilihnya Gibran sebagai pendamping Prabowo Subianto.

Dengan adanya drama keputusan MK tentang usia capres -cawapres ini semakin meneguhkan anggapan publik bahwa hukum memang bisa direkayasa untuk memenuhi kepentingan politik penguasa. Sehingga memunculkan ungkapan yang memelesetkan bahwa MK bukan lagi Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Keluarga. Sampai disini masihkah ada yang menaruh harapan pada kredibilitas hakim MK ?

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar