Miko Kamal, Advokat dan Wakil Rektor 3 Universitas Islam Sumatera Barat

Pulanglah Saldi Isra

Jum'at, 20/10/2023 06:11 WIB
Hakim konstitusi Saldi Isra (Dok.Setkab)

Hakim konstitusi Saldi Isra (Dok.Setkab)

Jakarta, law-justice.co - Hakim Saldi Isra jadi buah bibir. Terkait pendapatnya yang berbeda (dissenting opinion) dalam perkara No. 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres - cawapres yang menghebohkan itu.

Banyak yang mendukungnya. Ada pula yang tidak. Tapi, yang mendukung nampaknya lebih banyak dari pada yang tidak.

Yang tidak mendukung lebih menekankan sisi "etika" seorang hakim. Kata mereka, sebagai hakim, Saldi tidak pantas mengomentari pendapat sejawatnya. Saldi memang tidak sebatas mengomentari. Lebih dari itu, Saldi malah membuka isi dan suasana dapur MK sebelum putusan dihidangkan di meja publik.

Kata Saldi: "..., saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa "aneh" yang "luar biasa" dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat".

Saya pendukung Saldi. Hakim progresif serupa Saldi harus disokong penuh. Alasannya sederhana: MK yang selama ini jadi prototipe lembaga peradilan di Indonesia harus dijaga bersama agar tiang-tiangnya tetap berdiri kokoh. Jika MK runtuh, lembaga peradilan kita lainnya akan sangat mudah ikut-ikutan runtuh.

Saya agak tahu kualitas Saldi. Dia orang baik, anti-korupsi dan berpikiran maju. Kami sama-sama keluaran fakultas hukum di Padang. Beda kampus. Saldi di Universitas Andalas (Unand), saya di Universitas Bung Hatta (UBH). Tahun masuk kami juga sama, tahun 1990.

Dulu kami sama-sama aktif di lembaga kemahasiswaan. Saya sempat memimpin Senat Mahasiswa (sekarang BEM) fakultas hukum dan universitas di UBH. Saldi tidak. Nampaknya karena beliau keburu tamat.

Secara akademik, Saldi memang lebih pintar dari saya. Beliau tamat lebih dulu, tahun 1994, dengan predikat summa cum laude. Saya tamat 2 tahun setelahnya, 1996, dengan predikat ala kadarnya.

Setamat dari Unand, beliau sempat terdaftar sebagai pengajar di UBH. Sebentar saja. Beliau keluar dan kemudian mengabdi sebagai pengajar di almamaternya. Saya memilih profesi yang agak berisiko: pengacara publik di LBH Padang di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sampai sekarang masih setia di lajur yang sama.

Saldi mendapatkan gelar Magister Public Administration (MPA) dari Universitas Malaya Malaysia. Pendidikan doktoralnya diselesaikannya di Universitas Gajah Mada. Sementara itu, saya meraih gelar magister dan doktor hukum dari 2 universitas yang berbeda di Australia.

Kami pernah bekerjasama dalam beberapa kesempatan. Ketika saya membuka kantor hukum (Anggrek Law Firm), saya ajak Saldi mengisi posisi ahli bidang hukum kepemerintahan. Cocok dengan keahliannya yang saat itu sudah menyandang gelar MPA.

Saya dan Saldi juga aktif di Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB), organisasi masyarakat sipil yang sukses mengangkat isu korupsi berjamaah di DPRD Sumbar menjadi isu nasional. Atas kiprahnya di FPSB, Saldi diganjar Bung Hatta Award (2004). FPSB sendiri juga dapat penghargaan dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.

Kami juga pernah sama-sama jadi ahli di MK mewakili Pemerintah. Itu jauh sebelum beliau jadi hakim. Saldi juga yang mendorong saya untuk ikut seleksi pimpinan KPK periode 2011 - 2015.

Selain itu, Saldi pula yang menghubungkan saya dengan Denny Indrayana ketika saya akan berangkat ke Melbourne untuk kuliah S 2 di Deakin University Melbourne. Denny waktu itu sedang menjalani kuliah doktoralnya di University of Melbourne.

Dalam bergaul, Saldi selalu berusaha menjaga etika. Tahu dia mana ranting yang akan menusuk dan dahan yang akan menimpanya. Suatu waktu saya minta beliau memberikan kata pengantar untuk buku saya.

Saat itu beliau sudah jadi hakim. Pada awalnya, permintaan saya diiyakannya. Tapi tak berapa lama setelahnya dibatalkannya.

"Maaf, saya tidak jadi ikut memberikan sambutan dalam buku Pak Miko karena saya tahu Pak Miko akan mewakili salah satu pihak yang akan berperkara di MK", kata Saldi.

Waktu itu memang sedang musim Pilkada. Beberapa pihak telah meminta saya dan kantor saya untuk didampingi di MK. Saldi ternyata tahu informasi itu. Makanya ditolaknya permintaan saya. Begitu benar Saldi menjaga etika.

Saya tidak meragukan komitmen dan segenap upaya Saldi melakukan hal-hal baik bagi bangsa dan negara, termasuk memperbaiki MK dari dalam. Yang saya ragukan hanya keefektifan upayanya itu. Perkara batas usia capres - cawapres (90/PUU-XXI/2023) ini salah satu buktinya.

Saldi dipertelekan. Tidak berdaya dia, selain sekadar "mete-mete" di ruang sidang. Teman koalisi yang berhasil dirangkulnya hanya 3, berempat dengannya. Tidak cukup mengalahkan 5 hakim lainnya.

Dalam soal ini, Saldi serupa termakan strategi politik orang kampungnya sendiri: "iyokan nan di-urang, lalukan nan di-awak" (benarkan pendapat orang, loloskan kepentingan kita). Kejadian seperti ini sangat mungkin berulang dan berulang lagi. Akan dikacangin terus menerus dia.

Sebagai teman, saya imbau Saldi untuk segera pulang. Untuk saat ini, Saldi keluar saja dari MK. Saldi lebih baik balik dulu ke kampus. Menyampaikan pengalaman dan risalah-risalah berharga yang ditulisnya selama di MK kepada para mahasiswa di kampus Limau Manih.

Mahasiswa akan sangat beruntung mendapatkan lagi Saldi. Akan jadi tumpuan inspirasi mahasiswa dia. Tidak hanya di Unand. Juga di kampus-kampus lainnya di Nusantara. Insyaallah, kehadiran beliau akan merangsang lahirnya Saldi-Saldi baru.

Keluar dari MK bukan berarti Saldi menyerah. Tidak. Hanya medan perjuangannya yang digeser. Di luar, gerak Saldi akan lebih bebas dan dinamis.

Jerat "kode etik tradisional seorang hakim" tidak bisa menungkainya. Dari luar, Saldi punya kesempatan memimpin gerakan pengawalan dan penyelematan MK. Tentu bersama-sama dengan masyarakat sipil yang sudah menantinya.

Bagi saya, putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 memang sangat penting. Seperti yang dikatakan Saldi, putusan ini jauh dari batas penalaran yang wajar.

Sangat sulit kita merangkai argumen bahwa putusan itu tidak dianyam oleh tangan-tangan terampil pemegang kepentingan politik praktis. Jika kita tidak tuntas menyelesaikannya, tiang-tiang MK akan segera melapuk dimakan rayap yang mungkin sengaja disusupkan. Pulanglah Saldi.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar