Analisis Hukum Saat Penegakan Hukum Dipolitisasi Demi Interes Politik

Rabu, 15/11/2023 08:27 WIB
Syahrul Yasin Limpo dan Ketua KPK, Firli Bahuri (Ist)

Syahrul Yasin Limpo dan Ketua KPK, Firli Bahuri (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Minggu (8/10/2023), Syahrul Yasin Limpo (SYL) menegaskan bahwa proses hukum yang sedang berjalan saat ini akan dihadapinya secara koperatif dan dengan penghormatan terhadap ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Dia juga berharap supaya ke depan penegakan hukum bisa dilakukan secara bersih dan tidak dicampuradukan dengan politik.

“Saya berharap semoga ke depan upaya penegakan hukum dan pemberatasan korupsi lebih kuat dan dilakukan secara bersih, serta tidak terkontaminasi dengan kepentingan politik praktis,” ucap Syahrul, dikutip Senin (9/10/2023).

Harapan senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh yang menginginkan tidak adanya penegakan hukum yang dilakukan atas dasar kepentingan politik.Dia bicara demikian menyikapi kadernya yakni mantan Menteri Pertanian SYL  yang dikabarkan telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi oleh KPK."Nah, soal politik hukum, kita berupaya semoga itu tidak terjadi," ucap Paloh di kantor DPP NasDem, Jakarta, Kamis (5/10/2023).

Apakah dalam  kenyataannya politisasi penegakan hukum itu memang benar adanya untuk menjatuhkan lawan lawan politik penguasa ?.Benarkah memang ada upaya untuk melumpuhkan hukum supaya tetap berada dibawah kepentingan politik penguasa ?. Bagaimana menempatkan posisi hukum ketika harus berhadapan dengan kepentingan politik atau kepentingan penguasa ?.

Fenomena Politisisasi Penegakan Hukum

Politisasi hukum memiliki makna menggunakan hukum sebagai alat demi kepentingan politik untuk menghabisi lawan lawan politiknya. Menjelang tahun politik, trend untuk menggunakan penegakan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan lawan politik sudah sering terjadi sehingga dianggap hal yang biasa biasa saja.

Politisasi hukum memang sulit untuk dibuktikan namun bisa dirasakan kebeadaannya. Isu soal adanya politisasi penegakan hukum untuk kepentingan politik ini ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga ada di mancanegara. Seperti di Amerika Serikat, penegakan hukum terhadap mantan Presiden AS ke-45, Donald Trump juga dianggap sebagai serangan politik dari Partai Demokrat ke politikus Partai Republik sehingga dinilai tidak semata mata aspek penegakan hukum yang terjadi disana.

Dalam kasus yang menjeratnya, Donald Trump harus menyiapkan berbagai tangkisan hukum atas 30 dakwaan yang disangkakan kepadanya. Amerika Serikat yang selama ini dirujuk sebagai kampiun hukum dinilai menggunakan alat kekuasaan rezim untuk mengganjal Trump pada Pilpres 2025.

Di Indonesia, penegakan hukum yang diduga untuk kepentingan politik pernah terjadi pada saat Presiden Abdurrahman Wachid atau Gus Dur berkuasa. Pada tahun 2001, Gus Dur diterpa rumor penyalahgunaan bantuan dana dari Sultan Brunei dan Bulog. Sangkaan itu tidak pernah terbukti kebenarannya sampai hari ini karena kasus hukum ini tidak diadili sebagaimana mestinya. Tapi kasus ini telah menyebabkan Gus Dur harus kehilangan kekuasaannya.

Menyikapi kasus yang menimpa Gus Dur, pada tahun 2013 yang lalu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD secara tegas menyatakan, bahwa baik secara hukum pidana maupun hukum tata negara, tidak ada kesalahan Gus Dur yang membuat ia harus dilengserkan dari kursinya.

Prahara politik 2001 itu akhirnya mendasari lahirnya kewenangan MK untuk menguji impeachment presiden untuk bisa dijatuhkan dari kursi kekuasaannya. Akhirnya UUD 1945 memberi aturan tegas bahwa presiden bisa dimakzulkan apabila terbukti secara hukum melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela serta apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. UUD 1945 melarang tegas presiden dilengserkan berdasarkan asumsi dan bualan politik semata.

Dalam catatan lainnya, dimana hukum harus kalah dengan kepentingan politik menimpa pula kepada para aktifis yang kritis kepada penguasa. Aktivis aktifis yang  kritis terhadap kebijakan pemerintah dan dianggap berseberangan secara politik dengan kekuasaan, langkah penegakan hukumnya sangat cepat bahkan terkesan sengaja dicari cari kesalahannya. Seperti apa yang dialami Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan yang lain lainnya.

Mereka semua dibidik akibat cuitan di Medsos yang dianggap berisi konten yang dapat menghasut publik melakukan aksi penolakan atas pengesahan Undang-Undang Omnibus Law (UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja).

Kali ini kasusnya sampai ke pengadilan dengan tuntutan penjara selama 6 tahun lamanya. Walau akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok menjatuhkan vonis 10 bulan pada 29 April 2021 lalu, tapi kasus ini dinilai sarat dengan kepentingan politis untuk membungkam suara suara yang tidak sejalan dengan keinginan penguasa.

Demikian juga kasus yang menimpa beberapa ustadz atau ulama kritis yang terkesan proses hukumnya sangat cepat tidak seperti biasanya. Sebagai contoh penanganan kasus Ustadz Dr Alfian Tanjung yang kerap bersuara kritis saat ceramah kepada jamaahnya tentang indikasi kebangkitan Komunis dan ancaman bagi bangsa dan negara ini bila PKI dibiarkan bangkit dan berkembang di Indonesia. Ustadz Dr Alfian Tanjung dihukum 2 tahun penjara, denda Rp100 juta melalui putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).

Adanya politisasi penegakan hukum untuk kepentingan politik diduga juga menimpa Habib Riziek Shihab (HRS) yang harus menghadapi tiga tuntutan sekaligus dalam perkara dugaan pelanggaran protokol kesehatan saat merebaknya virus corona. Kasus HRS sangat banyak mendapat sorotan publik nasional maupun internasional karena sifat janggalnya.

Banyak kalangan mempertanyakan sebenarnya kejahatan apa yang dilakukan HRS, sehingga aparat memperlakukan HRS jauh dari etika dan sopan santun termasuk penghormatan terhadap haknya sebagai warga negara.

Perlakuan berlebihan dan cenderung tidak manusiawi terhadap HRS selama proses hukum telah meneguhkan munculnya anggapan masyarakat bahwa perlakuan itu tidak terlepas dari figur HRS sebagai seorang ulama  yang selama ini begitu kritis pada kebijakan menyimpang yang dipamerkan oleh penguasa. HRS adalah tokoh yang selama ini berani menyuarakan dan membela kebenaran dan keadilan dengan prinsip amal ma’ruf nahi mungkar sesuai ajaran agama yang dianutnya.

Memang sudah lama rezim penguasa maupun kelompok oligarkhi terusik dan terancam kepentingannya oleh sikap tegas HRS yang menolak segala yang dianggap bertentangan dengan idiologi Pancasila, konstitusi, hukum, syariat dan tujuan bangsa dan negara.

Atas tiga kasus janggal yang dituduhkan kepadanya, HRS harus menerima konsekuensinya. Untuk kasus kerumunan di Petamburan HRS divonis selama 8 bulan penjara oleh Majelis Hakim PN Jakarta Timur yang diketuai Suparman Nyompa pada 27 Mei 2021. Pada hari yang sama HRS diadili atas kasus kerumunan Mega Mendung dengan hukuman denda Rp20 Juta.

Sementara dalam perkara dugaan pelanggaran Prokes penanganan Covid-19 lainnya, yaitu dengan tuduhan berita bohong atas hasil tes swab di RS UMMI Bogor, HRS dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dari tuntutan JPU selama 6 tahun oleh Majelis Hakim PN Jakarta Timur yang diketuai Khadwanto, SH.MH pada 24 Juni 2021.

Bila dicermati, beruntunnya kasus tuntutan hukum kepada HRS terlihat berlebihan dan sulit menepis opini publik bahwa diduga by design, hanya sebagai alat dan justifikasi menjerat dan memenjarakan HRS agar tidak dapat bebas beraktivitas terutama menjalankan misi dakwahnya. Sehingga justifikasi vonis 4 tahun penjara tersebut akan menjadi cara efektif membungkam dan mengamputasi seluruh aktivitas HRS yang dikhawatirkan menggalang kekuatan umat, termasuk dalam Pemilu dan Pilpres 2024 nantinya.

Publik bisa menyaksikan dengan begitu gamblang bagaimana penegakan hukum yang bernuansa politik dijalankan untuk menjatuhkan lawan lawan politik penguasa. Bagaimana kejanggalan dan ketidakadilan proses hukum yang dialami HRS menunjukkan itu semua.

 Pada masa yang sama, banyak para pihak termasuk para pejabat tinggi negara yang diduga juga melakukan perbuatan pelanggaran Prokes, kerumunan massa tidak pernah disentuh hukum atau diproses sebagaimana mestinya termasuk yang dilakukan oleh Jokowi sebagai orang pertama di Indonesia . Tentunya perlakuan diskriminasi hukum tersebut akan menjadi preseden buruk dan menambah potret buram penegakan hukum di Indonesia.

Munculnya bau bau penegakan hukum yang sarat kepentingan politik juga terjadi akhir akhir ini ketika KPK dengan tiba tiba memanggil Muhaimin Iskandar alias Cak Imin atas kasus korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi tahun 2012. Kasus itu sudah lama terjadinya tapi entah kenapa tiba tiba berusaha untuk di ungkit kembali saat Cak Imin berpasangan dengan Anies Baswedan sebagai pasangan Capres dan Cawapres dalam Pilpres 2024.

Nuansa kepentingan politik bermain dalam penegakan hukum juga menimpa kader kader Nasdem yang duduk di kabinet seperti Jhony G Plate, dan Syahrul Yasin Limpo (SYL). Lucunya kasus ini seolah olah hanya mereka berdua saja yang diproses hukum untuk bisa dikirim ke penjara. Pada hal dalam kasus yang melibatkah Jhony G Plate misalnya diduga banyak elite politik di lingkaran istana yang terlibat tetapi tidak diusut sebagaimana mestinya.

Adanya politisasi hukum untuk kepentingan politik penguasa memang dapat dirasakan tapi memang sulit untuk dibuktikan. Dalam hal ini kalau ditanya kepada Pemerintah atau rejim yang sekarang berkuasa tentu saja akan dengan tegas menolaknya. Bahwa politisasi penegakan hukum untuk kepentingan politik itu tidak ada. Tapi publik tentu bisa menilainya berdasarkan nalar dan logikanya.

Hukum Sengaja Dilumpuhkan ?

Dalam hukum dikenal jargon klasik dari Lucius Calpurnius Piso Caesoninus yang hidup pada 43 SM yaitu fiat justitia ruat caelum (keadilan harus ditegakkan meski langit runtuh). Konsep itu menegaskan bahwa penegakan hukum tidak kenal waktu, tidak kenal konteks, termasuk tidak kenal pemilu sekali pun. Bahkan dalam perang, kejahatan tetaplah kejahatan yang harus diadili pelakunya.

Hukum humaniter harus ditegakkan saat itu juga. Perang tidak bisa menjadi alasan pemaaf bagi Adolf Eichmann lolos dari tiang gantungan tepat pada pergantian hari 31 Mei - 1 Juni 1962.

Oleh sebab itu, Dewi Themis yang menjadi simbol penegakan hukum digambarkan memakai tutup mata dengan pedang bermata dua. Sebuah simbol peradaban hukum dalam mencari keadilan tanpa kenal waktu dan siapa yang akan ditindak dengan segala dampaknya.

Penegakan hukum yang harus dilakukan dalam segala medan dan “cuaca” memang sangat ideal untuk dilaksanakan dengan catatan penegakan hukumnya memang benar benar dijalankan secara adil, transparan sesuai dengan ketentuan yang ada. Tetapi di tengah tengah kondisi penegakan hukum di Indonesia yang sarat dengan kepentingan politik penguasa, adagium penegakan hukum yang harus dijalankan dalam segenap “medan” dan” cuaca” kiranya kurang tepat juga.

Mungkin itulah sebabnya lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung menunda seluruh proses pemeriksaan para Capres-Cawapres, Caleg, serta calon kepala daerah terkait kasus dugaan korupsi hingga Pemilu 2024 selesai pelaksanaannya. "Hal itu dilakukan guna mengantisipasi dipergunakannya proses penegakan hukum sebagai alat politik praktis oleh pihak-pihak tertentu," ujar Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam memorandumnya, pada Minggu (20/8/23).

Pasca terbitnya memorandum Jaksa Agung itu telah membuat para penggiat anti korupsi murka. Sebaliknya, para koruptor yang sekarang ini mendaftar sebagai peserta pemilu bisa bernafas lega. Pertanyaannya  kemudian, jika para koruptor tersebut terpilih sebagai Presiden/ Wakil Presiden atau anggota DPR, apakah Kejaksaan Agung masih berani mengusutnya ?!

Memorandum Jaksa Agung  tersebut sebenarnya bertentangan dengan dasar hukum pemberantasan korupsi yang mengacu pada Undang-Undang (UU) 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam Pasal 25 UU Tipikor itu, tegas disebutkan penanganan kasus tindak pidana korupsi mengharuskan percepatan proses untuk mendapatkan kepastian hukumnya. Bahkan, disebutkan dalam pasal tersebut, penanganan tindak pidana korupsi harus lebih didahulukan ketimbang proses hukum yang terkait dengan tindak pidana lainnya.

Jadi suatu yang sangat keliru kalau penanganan kasus korupsi yang melibatkan peserta pemilu harus ditunda. Justru seharusnya dipercepat (penanganan kasusnya) agar dapat mencegah calon presiden ataupun calon anggota DPR  yang bermental korup menang dalam Pemilu nantinya.

Tetapi dengan kondisi penegakan hukum kita yang saat ini sarat dengan nuansa tebang pilih, terkesan dipolitisir dan hanya menguntungkan penguasa saja, apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sepertinya cukup masuk akal juga. Tetapi apakah itu menjadi solusinya ? Rasanya kebijakan itu hanya mengalihkan permasalahan saja tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.

Sampai disini, upaya untuk terus mengusut kasus kasus korupi yang dilakukan oleh calon pejabat negara menjelang pemilu maupun kebijakan untuk menundanya kedua duanya mengandung potensi pelemahan penegakan hukum untuk kepentingan pihak pihak tertentu yang mengendalikannya.

Karena kalau penegakan hukum tetap dilakukan tetapi sarat kepentingan politis pada akhirnya akan membuat penegakan hukum menjadi cacat karena tiadanya unsur keadilan didalamnya. Tetapi kalau dihentikan hanya karena alasan pemilu, berarti menyalahi ketentuan yang ada.

Yang jelas pola pola penegakan hukum seperti digambarkan diatas akan sangat menguntungkan mereka yang saat ini menjadi aparat penegak hukum sebagai The structure of the law-nya. Karena seperti diketahui, aparat pengakan hukum saat ini  masih dihuni oleh pejabat-pejabat yang bermasalah dan berperan aktif dalam rangkaian keputusan atau praktek hukum yang menyimpang dari rel yang seharusnya.

Apalagi the culture of the lawnya, budaya sogok dan suap jauh lebih menonjol ketimbang profesionalisme sebagai aparatur penegak hukum. Kondisi hukum yang lumpuh ini semakin diperparah dengan ketiadaan keseriusan pemerintah untuk mengedepankan agenda law erforcement dan hambatan-hambatan politis lainnya.

 Desakan untuk melakukan pembersihan secara radikal terhadap institusi hukum (Kejaksaan Agung, Kepolisian, Mahkamah Agung) serta pencabutan keputusan-keputusan yang melanggar prinsip-prinsip keadilan (TAP MPRS No XXV dan UU Subversif) yang pernah dirintis Abdurahman Wahid, tidak pernah bisa berlanjut sampai pemerintah yang sekarang berkuasa.

Artinya, dalam kondisi dimana proses pemulihan hukum dari kelumpuhan tengah berlangsung, upaya-upaya untuk mempertahankan kelumpuhannya juga gencar dilakukan berbagai pihak yang berkepentingan dengan lumpuhnya hukum karena akan menguntungkannya.

Semua upaya tersebut dilakukan tidak lain untuk mempertahankan ketidakpastian hukum supaya hukum tetap bisa dipermainkan untuk kepentingan pemegang kendali kekuasaan demi menjegal lawan lawan politiknya.  

Dasar dari seluruh permasalahan ini adalah tidak adanya visi, konsep dan strategi dalam masalah penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Tidak ada pendekatan baru dalam membangun image hukum kita kecuali sekadar meneruskan apa yang ditinggalkan rezim masa lalu bahkan cederung untuk terus melestarikannya.

Memandirikan Hukum

Negara Indonesia adalah negara hukum sehingga sudah seharusnya hukum menjadi panglimanya. Oleh karena itu salah satu amanah reformasi 1998 adalah menjadikan hukum sebagai panglima dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sejalan dengan komitmen para pendiri bangsa dan negara ini (the Founding Fathers) yang meletakkan fondasi dasar negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat) semata.

Politik sejatinya adalah sarana untuk mencapai kekuasaan dan kesejahteraan itu ingin dicapai sesuai dengan tujuan negara. Problematika sering muncul karena aktor politik adalah juga aktor pembuat aturan hukum itu sendiri yang tidak pernah sunyi dari kepentingan politiknya.

Namun beberapa fenomena bernegara masih saja menampakan fakta yang sebaliknya. Politik masih sangat dominan sebagai penyetirnya. Benturan politik dan hukum masih saja terjadi karena adanya kepentingan politik mereka yang tengah berkuasa

Kekuasaan atau politik selalu mengalami abuse of Power karena yang menjadi orientasinya adalah kepentingan kelompok sesaat tanpa melihat orientasi penegakan hukum sebagai acuannya. Degradasi hukum oleh politik atau kekuasaan ini telah menimbulkan gejala- gejala yang buruk terhadap perkembangan struktur penegakan hukum di Indonesia.

Kekuasaan yang dominan tanpa pengawasan hukum yang efektif tentu akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter. Lord Acton menyatakan “ Power tends to corrupt but absolutely power tends to corrupt absolutely. Pernyataan tersebut mengindikasikan setiap kekuaasaan yang ada tanpa pengaturan hukum tentu akan mengalami penyimpangan.

Fakta yang terjadi sekarang bahwa konfigurasi politik atau kekuasaan terhadap perkembangan hukum telah membelenggu penegakan hukum tersebut. Hukum yang menjadi simbol keadilan hanyalah tajam ke bawah(red. rakyat) namun tumpul ke atas (red. penguasa).

Kemandekan hukum terhadap para elite politik dan penguasa ini telah menimbulkan disorientasi hukum sendiri sedangkan hukum seyogianya dijadikan variable bebas (berpengaruh)terhadap politik atau hukum semestinya perekayasa politik, namun hal tersebut berbanding terbalik dalam implementasinya.

Oleh karena itu penegakan hukum sejatinya harus dilaksanakan objektif, professional, proporsional dengan tetap mengacu nilai dasar hukum yaitu aitu rasa keadilan, kebenaran, kejujuran, kepastian dan kemanfaatannya.Ia harus pegangan pemerintah dan seluruh aparatur penegakan hukum yang diberikan mandat untuk menjalankannya.

Bila penegakan hukum komit dan berpedoman pada nilai dasar maka hukum akan membawa keberkahan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat yang dinaunginya. Dan kehidupan berbangsa bernegara aman tenteram, damai, harmonis, beradab, jauh dari rasa dendam dan perpecahan guna terwujudnya masyarakat adil makmur sejahtera yang diridhai Allah SWT. Tanpa mengedepankan nilai-nilai dasar hukum dimaksud, negara hanya “apologis semata”.

Berkaca pada kondisi yang dikemukakan diatas lalu langkah apa yang dibutuhkan untuk membenahinya ? 

Pertama, aktor politik atau pelaku kekuasaan politik yang diberi kewenangan membentuk Undang-undang seyogyanya mengabdi pada kepentingan kesejahteraan rakyat sesuai tujuan negara. Bukan lagi berdiri di atas kepentingan partai politik pengusungnya atau oligarki yang telah mengongkosinya. Karena ketika kekuasaan diperoleh,  aktor politik telah menjadi alat negara bukan lagi alat kepentingan politik yang telah mengusungnya.  

Kedua, wilayah penegakan hukum harus dibuat terbebas dari kepentingan politik atau intervensi penguasa maupun pengusaha.  Lembaga penegak hukum adalah termasuk dalam sistem hukum yang berfungsi sebagai institusi penegaknya. Kemandirian atau independensi dari lembaga penegak hukum tentu akan mengefektifkan fungsi dan tujuan ideal dari hukum yaitu pemberian keadilan substansial bagi seluruh warga negara.

Dalam hal ini Prof. Sri Soemantri M, SH Guru Besar Hukum Tata Negara UNPAD menganologikan hukum dan politik seperti rel dan kereta. Jika rel diibaratkan hukum dan kereta api sebagai politik, maka kereta api ini kerap kali berjalan diluar relnya. Artinya hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya karena intervensi politik pemegang kuasa. Oleh karena itu kereta harus dijalankan sesuai dengan relnya.Arinya hukum harus tetap menjadi panglima sesuai amanat konsitusi kita.

Ketiga, Kita tidak hanya membutuhkan peran politik dan hukum semata. Baik politisi maupun aktor hukum membutuhkan etika. Not only rule of law, rule of politics, but rule of ethics. Rekonstruksi, reposisi, restrukturisasi dan Etika moralitas politik-hukum, niscaya akan mendamaikan politik dan hukum demi kesejahteraan rakyat Indonesia. 

Ke empat, mendorong supaya hukum bisa bersifat otonom. Hukum yang otonom adalah hukum yang mampu berdiri sendiri di dalam nilai dasarnya yaitu keadilan, kepastian dan kemamfaatan. Ketika hukum bersifat otonom di atas nilai dasarnya maka hukum adalah menjadi variable yang berpengaruh kepada kekuasaan dan politik. Hukum tentu yang menjadi rambu- rambu dalam menjalankan kekuasaan dan politik bukan yang lainnya.

Kelima, memurnikan hukum. Kemurnian hukum tentu akan menjaga eksistensinya sebagai alat perekayasa sosial (tools as engenairing social). Hukum sebagai peraturan harus mampu merekayasa kehidupan sosial untuk memberikan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan, sehingga hukum sendiri terlepas dari pengaruh kekuasaan yang bisa merusak misinya.

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar