Nawaitu Redaksi

Saat Tafsir Hak Menguasai Negara Jadi Monopoli Penguasa dan Pengusaha

Minggu, 17/09/2023 18:02 WIB
Koalisi Masyarakat Sipil Desak Jokowi Hentikan PSN di Rempang Batam. (Istimewa).

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Jokowi Hentikan PSN di Rempang Batam. (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Ada hal yang menarik ketika media ramai memberitakan kasus Rempang yang membuat penduduk lokal terancam tercerabut dari kampung halamannya. Hal menarik itu berkaitan dengan pandangan Mahfud MD yang diungkap dalam sebuah pernyataannya.

Mahfud MD, dalam pernyataannya terkait hak atas lahan dan pengosongan lahan mengatakan bahwa tidak ada penggusuran terhadap rakyat, yang ada adalah kesalahpahaman saja. Asumsi Mahfud adalah tanah di Rempang itu milik negara yang pada tahun 2001 sudah diserahkan kepada satu entitas usaha anak perusahaan milik Tommy Winata.

Kesalahan menurutnya terjadi karena kementerian kehutanan dan lingkungan hidup (KKLH) memberikan hak kepada entitas lainnya ketika pemilik hak pertama tidak mengolah lahan tersebut dalam jangka waktu yang lama.

Sehingga ketika ada rencana program strategis negara (PSN) di Rempang, pemilik hak awal, Tommy Winata, kembali mengklaim tanah tersebut dan karenanya perlu dikosongkan segera. Pada hal menurut masyarakat Melayu yang tinggal di sana,  kepemilikan tanah oleh komunitasnya  sudah terjadi sejak jaman Belanda jauh sebelum lahirnya negara yang bernama Indonesia. Dan masyarakat ini menjadi penjaga pulau terluar negara Indonesia, berhadapan dengan Singapura dan Malaysia.

Dalam kaitan tersebut sepertinya Mahfud MD  telah meremehkan keberadaan manusia-manusia di Rempang yang hak-haknya atas kehidupan yang layak sesungguhnya dijamin oleh konstitusi negara. Dengan pernyataan Mahfud MD itu, seolah olah Negara melalui pejabatnya bisa mengklaim begitu saja hak atas tanah, kemudian memberikan pada siapapun yang dikehendakinya.

Persoalan ini sebenarnya sangat berkaitan dengan penafsiran pada paradigma tentang Hak Menguasai Negara (HMN) sebagaimana di atur dalam pasal 33 UUD 1945 khususnya ayat (3). Perbedaan tafsir ini telah memunculkan konflik agraria dan sumberdaya alam (SDA) dimana mana serta menghambat upaya pencapaian tujuan bernegara.

Seperti apa tafsir HMN ini pada masa penjajahan Belanda, masa Orla, Orba dan pada masa rejim pemerintah yang sekarang berkuasa ?. Mengapa penting untuk mengacu pada tafsir HMN yang telah di putuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ?

Tafsir HMN dari Masa ke Masa

HMN merupakan wacana multi-wajah yang tafsirnya bisa berbeda beda. Meskipun sebagian besar keadaan yang melatarbelakangi HMN dimuat dalam peraturan hukum, pada kenyataannya HMN tersebut dimaknai dalam konteks yang berbeda-beda pada setiap rezim yang pernah berkuasa di Indonesia.

Namun demikian, dalam hubungannya dengan penguasaan tanah dan sumber daya alam (SDA), Rezim Kolonial, Rezim Orde Lama, dan Rezim Orde Baru menempatkan negara pada posisi yang hampir sama yaitu sebagai sebagai penguasa tertinggi atas tanah dan SDA.

Hak negara untuk menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diamanatkan oleh UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3). Menjadi persoalan ketika muncul penafsiran yang berbeda diantara pemerintah dan masyarakat mengenai konsep menguasai oleh negara.

Konstitusi sendiri tidak memberikan pengertian yang tegas bagaimana HMN tersebut harus diterjemahkan oleh mereka yang menjadi pelaksanaannya. Konstitusi hanya memberikan batasan bahwa penguasaan oleh negara ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Namun apakah melalui hak tersebut negara menjadi pemilik tunggal atas bumi, air dan kekayaan Indonesia?

Apakah dengan adanya hak penguasaan tersebut, hak-hak lain yang telah ada sebelum negara terbentuk menjadi subordinasi dari hak menguasai negara ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut seringkali menjadi perdebatan panjang antara korporasi, masyarakat dan negara.

Untuk memahami sekilas tentang HMN ini, ada baiknya kita telusuri secara ringkas bagaimana persoalan HMN di pahami oleh para penguasa mulai zaman kolonial Belanda, zaman orde lama (Orla), zaman orde baru (Orba) dan kondisi penafsiran oleh pemerintah yang sekarang berkuasa.

Di zaman kolonial Belanda, alih-alih menempatkan hak penguasaan tanah masyarakat lokal sejajar dengan hak kolonial, Pemerintah Belanda justru menegaskan dominasi hak-hak kolonial melalui pembedaan tanah negara ke dalam 2 (dua) jenis yaitu “tanah negara bebas” (vrij lands/staatsdomein) dan “tanah negara tidak bebas” (onvrij lands/staatsdomein).

“Tanah negara bebas” (woeste gronden) adalah tanah-tanah yang belum dimiliki atau dikuasai oleh individu, kelompok, maupun badan hukum. Termasuk dalam pengertian tanah negara bebas ini adalah hutan rimba, tanah terlantar dan tanah-tanah ini yang berdasarkan Pasal 3 Agrarisch Wet dinyatakan sebagai tanah yang berada di luar kawasan desa.

Sedangkan “Tanah negara tidak bebas” adalah tanah-tanah yang sudah dan sedang dikuasai, diduduki, digunakan, dan dimanfaatkan secara nyata oleh individu maupun kelompok, yang lazimnya penguasaan atas tanah tersebut didasarkan pada hukum-hukum adat .

Tanah-tanah yang secara nyata dikuasai dan dikelola oleh masyarakat pribumi, namun tidak dapat dibuktikan kepemilikannya secara formal, pada akhirnya dianggap sebagai bagian dari tanah negara tidak bebas tersebut. Pendekatan yang digunakan Pemerintah Kolonial dalam memaknai tanah negara di atas menempatkan HMN pada masa kolonial sebagai hak yang tertinggi atau hak induk atas hak-hak atas tanah lainnya.

Pemerintah Kolonial menjadi pusat kekuasaan sekaligus penguasa tertinggi atas tanah tanah di wilayah jajahannya.Pernyataan domein tersebut juga membawa konsekuensi bagi dibukanya akses korporasi swasta dalam penguasaan tanah di Hindia Belanda, yang mana seringkali juga dikatakan sebagai karpet merah untuk masuknya korporasi swasta mengelola tanah di Pulau Jawa dan Hindia Belanda pada umumnya secara lebih leluasa.

Pada masa Orla, ada semangat untuk melepaskan diri dari cengkeraman ketentuan hukum warisan pemerintahan kolonial HIndia Belanda, maka lahirlah Undang Undang  No. 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria (UUPA).Selain menjadi produk pemikiran yang mencerminkan semangat jaman kemerdekaan, UUPA menjadi basis utama bagi kebijakan agraria Indonesia di masa-masa berikutnya.

UUPA juga memberikan alas hak bagi negara sebagai penguasa inti dari seluruh tanah yang berada di wilayah negara Indonesia. Melalui Pasal 4 Ayat (1), UUPA memberikan kedudukan HMN menjadi hak inti yang membawahi berbagai hak turunan seperti yang dapat dimiliki orang, baik individu,badan hukum,  maupun bersama-sama. Melalui UUPA, konsepsi barat telah dikubur, kemudian diteguhkan bahwa bangsa Indonesialah pemilik tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Namun sebelum realisasi reforma agraria terlaksana, pemerintah Orla telah lengser dan digantikan oleh rezim Orba yang mengedepankan aspek pembangunan ekonomi sebagai kiblat utamanya. Dimasa Orba, hak hak atas tanah yang telah terserap menjadi HMN tidak didistribusikan kembali kepada masyarakat, melainkan digunakan untuk kepentingan pembangunan semata. HMN pada akhirnya diterjemahkan sama sekali berbeda dengan maksud awalnya sebagai hak yang akan didistribusikan kembali kepada rakyat Indonesia.

Pada masa Orba, dimana Pemerintahan Presiden Soeharto, dengan latar belakang politik dan ideologi yang secara signifikan berbeda dengan rezim Orla, telah membawa perubahan yang cukup besar dalam menerjemahkan UUPA ke dalam kebijakan agraria. Semangat yang muncul tidak lagi untuk menegaskan kedaulatan negara terhadap pihak asing, melainkan justru membuka pintu terhadap investasi asing yang mana komitmen tersebut membutuhkan kepastian hukum hak atas tanah dan posisi penguasaan atas wilayah yang kuat oleh negara.

HMN pada masa tersebut menjadi alat negara dalam menekan hak-hak individual dan komunal yang berada di bawahnya.Pada akhirnya keran investasi dibuka selebar lebarnya untuk perusahaan  swasta, sebagai ciri khas pemaknaan HMN ala Orba. Usep Setiawan menggambarkan sebagai berikut: “Faktanya, dalam banyak kasus sengketa tanah struktural sejak Orba, konsep HMN atas tanah dan sumber agraria lainnya telah secara salah dimaknai dan dipraktikkan tak ubahnya asas domein verklaring yang menempatkan pemerintah sebagai penyelenggara negara seolah-olah sebagai pemiliknya. “

Pada masa reformasi,peran negara dalam penguasaan tanah dan SDA semakin luas dan berkembang sedemikian rupa. Jika sebelumnya produk legislasi memberi peran bagi negara dalam pengaturan pemanfaatan SDA dan hubungan hukum yang terjadi dalam pemanfaatan tersebut, maka setelah reformasi peran negara tidak hanya mengatur melainkan juga mengurus, mengelola dan mengawasi pemanfaatan SDA.

Namun demikian, meskipun HMN yang semangatnya turut bergeser pasca reformasi, ternyata tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari orientasi yang kapitalistik dan sentralistik sebagai ciri utamanya . Persoalan penguasaan tanah dan SDA  pasca reformasi tidak kunjung memberikan keadilan bagi rakyat kecil dikarenakan polisentrisme yang dianggap konsekuensi dari lahirnya desentralisasi yang dibajak oleh golongan elit lokal yang kemudian menjadi raja baru pengganti “Pemerintah Jakarta”.

Pemaknaan HMN pasca-reformasi masih dipahami dalam konteksnya sebagai hak yang melekat pada negara untuk memiliki tanah dan SDA layaknya hak-hak perseorangan saja. Orientasi HMN masih dalam rangka upaya pembangunan infrastruktur dan ekonomi oleh negara.

Meskipun berada dalam kerangka desentralisasi, orientasi yang berkembang atas HMN pasca reformasi masih berupaya menunjukkan posisi negara sebagai pemegang kekuasaan yang berada di atas rakyatnya.

Penguasaan SDA ditempatkan pada tujuan kapitalistik dari perusahaan-perusahaan tambang, perkebunan dan usaha-usaha eksploitatif lainnya. Masyarakat lokal hanya menjadi obyek yang kerap kali tidak dilibatkan partisipasinya dalam menyusun kebijakan dan rencana strategis pemanfaatan tanah dan SDA.

Tafsir Mahkamah Konstitusi (MK)

HMN yang telah dimaknai secara berbeda-beda pada setiap rezim yang pernah berkuasa di Indonesia tentu sangat berbahaya. Karena bisa menimbulkan potensi konflik lahan dan SDA dimana mana.Penafsiran yang berbeda juga bisa menghambat upaya pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana tertuang dalam apembukaan aline ke IV UUD 1945

Oleh karena itu kita harus kembali kepada pandangan MK sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk menguji dan menafsirkan konstitusi yang berlaku di Indonesia. Peran MK menjadi signifikan untuk dipelajari, terutama dalam kaitannya dengan dasar-dasar pertimbangan MK dalam menafsirkan HMN; dan pandangan serta preferensi MK terhadap relasi negara, rakyat dan korporasi dalam peta penguasaan tanah dan SDA di Indonesia.Lalu seperti apa pandangan MK terhadap HMN yang seyogyanya menjadi acuan dalam praktek berbangsa dan bernegara yang diselenggarakan melalui para pejabatnya ?

Berdasarkan hasil kajian terhadap Putusan MK No. 35/PUU-X/2012; Putusan MK No. 50/ PUUX/ 2012; dan Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 yang dilakukan oleh Tody Sasmitha dkk, tergambar dengan jelas bagaimana pandangan MK terhadap HMN yang ditafsirkan berbeda oleh rejim yang berkuasa di Indonesia.

Berdasarkan hasil kajian atas ketiga putusan MK yang menjadi obyek penelitiannya, dapat dirumuskan beberapa pendapat yang sekaligus juga mencerminkan pandangan MK dalam pemaknaan HMN yang sejauh ini ditafsirkan berbeda beda.

Menurut MK, kepentingan umum tidak hanya mengacu pada kepentingan pembangunan semata, melainkan juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, harus dipastikan dalam kepentingan umum adalah semua masyarakat dapat merasakan manfaatnya.

Namun karena tidak semua fasilitas untuk kepentingan umum dapat dipenuhi oleh negara, maka negara memberi kesempatan pada swasta untuk dapat ikut serta memenuhi kepentingan umum tersebut, namun negara tetap dapat menentukan kebijakan yang bersangkut paut dengan kepentingan umum, misalnya dalam menetapkan tarif jalan tol yang dikelola oleh swasta, sehingga swasta tidak bisa seenaknya menentukan sendiri tarif jalan tol yang dikelolanya.

Negara tidak dapat dengan semena-mena mengambil alih atau mengizinkan penggunaan tanah yang dimiliki oleh masyarakat maupun pihak yang terdampak untuk digunakan bagi kepentingan umum, tetapi harus melalui tahapan dan proses yang diatur oleh ketentuan yang ada.

Penguasaan negara terhadap SDA, dimaksudkan supaya negara dapat mengatur dalam rangka pengelolaan terhadap sumber daya kehidupan tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik rakyat secara individual maupun rakyat sebagai anggota masyarakat hukum adat sepanjang masih ada.

Adapun yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaaan SDA yang terkandung di dalamnya adalah frasa “sebesarbesar kemakmuran rakyat” sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

Dalam kaitan tersebut, empat tolok ukur dalam menilai makna sebesar-besar kemakmuran rakyat yaitu: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan SDA;

Penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi negara.

Adapun wewenang hak ulayat dibatasi seberapa jauh isi dari wewenang hak perseorangan, sedangkan wewenang negara dibatasi sejauh isi dan wewenang hak ulayat. Dengan cara demikian, tidak ada tumpang tindih (kejumbuhan) antara wewenang negara dan wewenang hak masyarakat hukum adat yang berkenaan dengan tanah dan SDA.

Perkataan dikuasai oleh negara haruslah diartikan mencakup makna penguasaaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan SDA.

Berdasarkan beberapa pertimbangan MK tersebut di atas, nampak upaya MK dalam menempatkan HMN dalam posisinya yang setara dengan hak-hak perorangan atau kelompok. Hal ini ditegaskan seperti pada kalimat “harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi” negara.

HMN tidak diposisikan berada di atas sebagai induk dari hak-hak lainnya, melainkan berbagi wilayah dengan dengan hak-hak perseorangan dan kolektif tersebut, sebagaimana ditegaskan bahwa “wewenang negara dibatasi sejauh isi dan wewenang hak ulayat” dan “Negara hanya mempunyai wewenang secara tidak langsung terhadap hutan adat”.

Dalam konteks hak privat, HMN ditempatkan sejajar dengan hakhak lain atas tanah dan sumber SDA. Sedangkan dalam konteks publik, HMN tidak ditujukan untuk memberikan negara hak milik atas tanah, melainkan memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur, mengelola dan mengawasi penggunaan tanah, air dan SDA lainnya.

Oleh karena itu dalam Putusan MK No. 35 menyatakan: “Sebagai perbandingan, dalam hukum pertanahan, hak “menguasai dari negara” tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas tanah, karena sifatnya semata-mata hukum publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yakni wewenang hak menguasai dari negara digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur”.

Penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945 menurut MK dalam pertimbangan pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 terhadap Pasal 33 UUD 1945 misalnya mengandung pengertian yang lebih tinggi daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan kedaulatan publik bukan yang lainnya.

Oleh karena itu makna HMN bukan dalam makna negara memiliki bumi, air dan sumber daya alam Indonesia, melainkan dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).

Dalam prinsip “negara menguasai”, maka dalam hubungan antara negara dan masyarakat, kedudukan masyarakat tidak dapat disubordinasikan berada di bawah negara, karena negara justru menerima kuasa dari masyarakat untuk mengatur tentang peruntukan, persediaan dan penggunaan tanah, serta hubungan hukum dan perbuatan hukum yang bersangkutan dengan tanah dan SDA. Pemberian hak kepada negara ini sejatinya merupakan bentuk penegasan bahwa tanah air Indonesia ini merupakan milik negara Indonesia, bukan swasta apalagi milik swasta dari mancanegara.

Kini tengah kondisi adanya kasus Rempang dan konflik konflik lahan serta SDA yang ada diwilayah Indonesia lainnya, para pejabat negara dalam menjalankan kebijakannya perlu kembali kepada tafsir yang di arahkan oleh MK.

Karena sejauh ini negara dinilai telah gagal menjalankan Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.

Bukan hanya sekadar gagal, negara melalui aparatnya yang telah melakukan penggusuran paksa itu, telah mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis yang ada di balik proyek Eco-city seluas 17.000 HA.

Atas nama investasi dan proyek strategis, pemerintah semakin menunjukkan karakter State Based Governance-nya dalam menjalankan kebijakan di satu sisi dan menonjolkan orientasi Market Based Governance di sisi lainnya. Sementara kepentingan masyarakat entah ditempatkan di urutan keberapa.

Padahal, karakter Society Based Governance semestinya menjadi tampak depan dari setiap tindakan pemerintah, di mana kepentingan rakyat dijadikan pertimbangan utama. Sehingga dengan begitu, setiap protes dan konflik mau tak mau harus diredam dengan pendekatan yang humanis dan partisipatoris, bukan dengan pendekatan represif menggunakan "aparat" negara.

Pola pola penanganan kasus Rempang dan area konflik lainnya di seluruh Nusantara telah menunjukkan pemerintah yang arogan dalam mengelola lahan dan SDA. Semua terjadi karena mereka mengabaikan tafsir HMN ala MK. Mereka menafsirkan sendiri ketentuan hukum yang menjadi landasan kebijakannya sesuai dengan seleranya. Sudah barang tentu selera itu tidak jauh jauh dari urusan uang yang saat ini menjadi komponen paling digdaya. Apakah kekuatan uang dan kekuasaan memang telah membuat mereka lupa pada kepentingan rakyatnya ?

 

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar