Mau Nikah Beda Agama? Begini Aturan Hukum Nikah Beda Agama di NKRI

Jum'at, 01/09/2023 16:46 WIB
Nikah Beda Agama di Semarang, Wanita Berhijab Pemberkatan di Gereja. (Tiktok).

Nikah Beda Agama di Semarang, Wanita Berhijab Pemberkatan di Gereja. (Tiktok).

Jakarta, law-justice.co - Baru-baru ini media sosial dihebohkan oleh potret sepasang pengantin yang melakukan pernikahan beda agama di sebuah gereja. Kehebohan tersebut lantaran sang pengantin wanita mengenakan hijab dengan gaun putih panjang.

Secara yuridis formal, persoalan nikah beda agama diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan turut masuk dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Pada rumusan tersebut, diketahui tidak ada penjelasan perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Kemudian, dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 40, disebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan tertentu, salah satunya seorang wanita yang tidak beragama Islam.

UU tentang Perkawinan menitikberatkan pada hukum agama dalam melaksanakan perkawinan, sehingga penentuan boleh atau tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.

Bila hukum agama tidak memperbolehkan perkawinan beda agama, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Boleh atau tidaknya perkawinan beda agama tergantung pada ketentuan agamanya.

Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai nikah beda agama sehingga ada kekosongan hukum terkait hal ini. Sahnya sebuah perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini mengartikan bahwa UU Perkawinan menyerahkan hukum pernikahan beda agama pada ajaran agama masing-masing.

Menurut Islam, sebagaimana diterangkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), pernikahan beda agama yang dilakukan dalam Islam adalah haram hukumnya dan membuat akad nikah dari pernikahan tidak sah secara agama. Lalu, dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama pun dilarang (II Korintus 6:14-18).

Pasangan nikah beda agama perlu mendapatkan ketetapan hukum dari pernikahannya. Putusan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1400 K/Pdt/1986 menyatakan pasangan beda agama dapat meminta penetapan pengadilan. Putusan tersebut menyatakan Kantor Catatan Sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama karena tugas kantor catatan sipil mencatat bukan mengesahkan.

Putusan tersebut dikeluarkan MA lantaran terdapat kasus perkawinan yang hendak dicatatkan oleh pemohon perempuan beragama Islam dengan pasangannya beragama Kristen. MA memperbolehkan keduanya menikah beda agama lantaran kedua pasangan dianggap tidak menghiraukan peraturan agama, sehingga tidak ada halangan untuk menikah secara sah.

Oleh karenanya, pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (Islam), maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut sebagai dampak pernikahan beda agama yang dilangsungkan.

Agar dapat mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, maka seseorang dapat memilih untuk menundukkan diri dan melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Kemudian jika permohonan pencatatan perkawinan dikabulkan oleh Kantor Catatan Sipil maka perkawinan tersebut sah menurut hukum.

Sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974, pernikahan beda agama termasuk ke dalam jenis pernikahan campuran. Pernikahan campuran diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 No.158 atay GHR. Pasal 1 GHR tersebut, disebutkan perkawinan campuran merupakan perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.

Saat ini, pernikahan beda agama masih ditemui pada sejumlah pasangan. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Prof Wahyono Darmabrata menyebutkan empat cara populer yang ditempuh pasangan beda agama agar pernikahan tetap dilangsungkan, yaitu:

1. Meminta penetapan pengadilan

2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama

3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan

4. Menikah di luar negeri.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar