BPK Audit PGN, Tapi Penegak Hukum Cuek

BPK Temukan Penyimpangan di PGN, Potensi Kerugian Negara Triliunan

Sabtu, 19/08/2023 14:12 WIB
Ilustrasi: Fasilitas Floating Storage and Regasification Unit (FSRU). (GCaptain)

Ilustrasi: Fasilitas Floating Storage and Regasification Unit (FSRU). (GCaptain)

law-justice.co - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI) menemukan sejumlah penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan negara triliunan rupiah saat memeriksa Perusahaan Gas Negara (PGN). Hasil pemeriksaan BPK ihwal kepatuhan atas pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi 2017-2022 PGN yang terbit pada April 2023 menunjukkan ada 16 temuan. Sayang temuan ini dianggap angin lalu oleh penegak hukum.

Dalam laporan April 2023 terkait hasil pemeriksaan kepatuhan atas pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi 2017-2022 oleh PGN ditemukan 16 temuan, yang di antaranya adalah kerugian operasi dalam proyek-proyek lama di PGN, termasuk fasilitas penyimpanan dan regasifikasi terapung atau FSRU Lampung

Selain itu juga terdapat dugaan terlalu mahalnya nilai akuisisi USD56,6 juta, oleh Saka Energi untuk tiga lapangan minyak dan gas Ketapang dan Pangkah di lepas pantai Jawa Timur dan Fasken di Texas, Amerika Serikat, serta mangkraknya terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) Teluk Lamong, Surabaya. Saka Energi dan PGN merugi hingga USD347 juta atau Rp5,2 triliun karena membeli lapangan minyak dan gas tersebut.

Kemudian dalam laporan BPK disebutkan PGN membuat kesepakatan bersama dengan PT Inti Alasindo, PT Isar Aryaguna, dan PT Inti Alasindo Energi tertanggal 2 November 2017. Bahwa ada pemberian Uang Muka kepada PT Inti Alasindo Energi tidak didukung Mitigasi resiko memadai yang menimbulkan potensi tidak tertagih sebesar USD14.194.333,43

Anggota VII BPK, Hendra Susanto mengatakan tidak ada permintaan dari penegak hukum untuk mengaudit PGN secara khusus. “Setelah kami dalami, ternyata benar ada masalah. Rekomendasinya, sudah diserahkan ke aparat penegak hukum,” ujar Hendra pada Kamis (20/7/2023) lalu.

Hendra mengatakan sudah menyerahkan laporan hasil audit tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada April lalu, Dia menambahkan tak lama setelah laporannya terbit, Kejagung juga meminta laporan tersebut.

Namun, meskipun laporan BPK diberitakan telah masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, pihak KPK hingga saat ini belum mau berkomentar soal laporan itu. Begitu pun dengan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) yang justru tidak mengetahui adanya laporan BPK teranyar. “Saya belum dapat infonya,” begitu kata Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana saat dikonfirmasi, Rabu (16/8/2023).  

Direktur Eksekutif Center of Energy and Recources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengaku geram dengan lambannya respon penegak hukum dalam menangani laporan BPK ini. Yusri berharap penyidik KPK serius menindaklanjuti hasil audit BPK ini. “Sejak April 2023 BPK RI telah menyerahkan LHP ke KPK hingga berita ini diturunkan kita gak pernah dengar KPK telah mulai proses penyidikan ini, sebab LHP BPK ini sesungguhnya  bagi KPK seperti berburu di kebon binatang, biar mata tertutup asal tembak pasti ada yang kena,” ungkap Yusri.

Dia juga menilai sejumlah penyelewengan yang terjadi di PGN dipicu oleh penerbitan SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penyidikan) oleh Jampidsus yang kala itu dijabat Adi Togarisman. Yusri menambahkan FSRU Lampung disidik Kejagung sejak 2016, kemudian terbit SP3 terhitung 26 April 2017, bisa jadi ini adalah sumber malapetaka bagi proses bisnis di PGN kemudian terkesan menjadi sembrono.

“Bagaimana tidak, gara-gara Kejagung lah negara harus semakin besar menanggung kerugiannya PGN. Coba kalau waktu itu kasusnya diselesaikan hingga tuntas, pelaku-pelakunya ditangkap, proyek-proyeknya dievaluasi, tentu Direksi PGN yang baru akan lebih hati hati dan tidak sampai separah ini melakukan proses bisnis yang berujung merugikan PGN secara jangka panjang,” ujar Yusri.

“Akibatnya terjadi akusisi di anak usaha Saka Energi, investasi terminal LNG Lamongan dan kasus Isar Gas, terakhir deal LNG dengan Gunvor Singapore Pte Ltd, yang juga dikatakan oleh BPK adanya terjadi Fraud (manipulasi laporan keuangan),” tegas Yusri.

Menurut Yusri, dari hasil laporan BPK menunjukkan semuanya diakibatkan kajian yang lemah dan tidak adanya kehati-hatian serta minimnya mitigasi resikonya. Selain itu Yusri juga mempertanyakan apa fungsinya Dewan Komisaris dalam mengawasi setiap proses bisnis dan kebijakan investasi PGN.

“Seharusnya tidak hanya Dewan Direksi saja yang harus bertangggung jawab. Dewan Komisaris yang ikut menyetujui setiap investasi harus ikut tanggung renteng, jangan hanya mau menikmati tantiem (penghasilan tambahan) saja,” sindir Yusri.

Menurut Yusri, formasi Dewan Direksi PGN saat ini cukup bagus dan kompak, meskipun menerima warisan buruk dari Direksi sebelumnya. Dia meyakini Direksi baru bisa membawa PGN sehat kembali. “Hanya Dewan Komisaris yang perlu dievaluasi Kementrian BUMN. Menteri Erick jangan tunggu KPK harus menetapkan tersangka dulu, segera evaluasi nama-nama yang disebutkan dalam temuan BPK untuk segera dicopot dari jabatannya,” tegas Yusri lagi.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menindak lanjuti hasil temuan dan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dugaan adanya kasus fraud di PT Perusahaan Gas Negara (Persero). “Kasus ini jangan dibiarkan berlarut-larut. Karena nilainya triliunan rupiah dan diduga juga melibatkan para petinggi BUMN,” kata Mulyanto saat dihubungi, Selasa (15/08/2023).

Mulyanto menyatakan hal tersebut harus segera ditindak secara tuntas karena untuk mengetahui pihak yang terlibat dalam kasus tersebut sehingga tidak berlarut-larut.

“Perlu diusut secara tuntas sehingga jelas siapa yang bersalah dan siapa yang bersih. Yang bersalah dihukum setimpal, sementara yang tidak bersalah dapat dibersihkan nama baiknya,” ujarnya.

Meski begitu, di sisi lain Politisi PKS itu juga mengapresiasi langkah BPK yang melaporkan kasus kerugian negara pada BUMN gas tersebut kepada KPK pada April 2023 lalu. Karena menurutnya, hal itu menjadi langkah hukum yang konstruktif. “BUMN gas ini perlu didorong melaju dalam pengelolaan gas negara sehingga betul-betul optimal dalam mendistribusikan gas alam kepada masyarakat dan menggerakkan roda industri,” ungkapnya.

Oleh karena itu, ia mendesak KPK untuk dapat gerak cepat dalam menuntaskan kasus tersebut. Sehingga PGN dapat kembali berperan maksimal dalam menyalurkan jaringan gas rumah tangga, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Dengan begitu, impor LPG, dapat ditekan sebesar-besarnya untuk menghemat anggaran. Terlebih Pemerintah juga akan melarang ekspor gas alam untuk dioptimalkan manfaatnya di dalam negeri.

“Jangan PGN ini diganduli beban sejarah seperti itu yang bisa membuat langkahnya sempoyongan. Apalagi PGN ini sudah menjadi perusahaan publik yang terbuka,” urainya.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Gandung Pardiman meminta kepada PGN menjelaskan secara rinci mengenai permasalahan yang terjadi di PT Energy Saka.

Gandung menyebut ia sempat memberikan pertanyaan itu saat Komisi VII DPR RI melakukan RDP dengan MIND ID. Seperti diketahui bila Direktur MIND ID saat ini adalah Hendi Prio Santoso yang merupakan mantan Direktur dari PGN.

"Saya minta dijelaskan tentang PT Energy SAKA yang sekarang terbelit utang denda bayar pajak, bayar utang, hampir 300-an juta. Ini penting bagi kami karena kami was-was. Jadi Pak Hendi ini kan sekarang direktur MIND ID itu kami was-was maka kami mempertanyakan hal itu," kata Gandung ketika dikonfirmasi.

"Untuk itu, biar ini tidak was-was saya minta penjelasan bagaimana duduk masalahnya Energy SAKA ini. Ini menurut kabarnya ini atas perintah yang bersangkutan (Hendi yang kala itu menjadi Dirut PGN) Agar supaya kita clear semua. MIND ID itu suatu lembaga yang besar mengapa kalah dengan lembaga yang kecil. Ini kelihatan manajemen nya tidak mantap. Sebelum dilanjut daripada kita belum clear tapi sudah ada was-was dalam hati Jangan-jangan nanti MIND ID semakin rusak," cecarnya.

Namun, dalam RDP tersebut Gandung pun menyebut bila ia tidak puas atas jawaban Hendi. Menurutnya, Hendi terkesan lepas tangan atas persoalan tersebut. "Ini jawabannya meragukan. Sangat meragukan. Ini lepas tanggung jawab ini," ujarnya.

Untuk itu, Gandung mengusulkan agar Komisi VII DPR membuat Panitia Kerja (Panja) membahas persoalan PT Saka Energi Indonesia tersebut.

"Saya usul kita buat Panja untuk itu. Ini denda dan pajaknya aja 255 juta US, belum utang pokoknya. Ini kelihatannya dianggap angin lalu kebijakan yang merugikan negara ini. Saya usul dibuat panja untuk itu. Sebelum KPK terjun langsung kita harus tahu dulu duduk permasalahannya. Sehingga kita juga tidak asal bicara, tapi punya data dan kondisi lapangan," usul Gandung.

Gandung pun kembali menegaskan bahwa dirinya tidak sekedar mempertanyakan pendanaan an sich, tapi apakah kebijakan waktu itu atas perintah Dirut PGN.

"Mengapa saya agak serius karena dijawab tidak tahu, tidak ada kaitannya. Ini waktu beliau menjabat Direktur PGN dan tidak main-main itu. Jadi biarpun pertambangan kemudian tidak ada hubungan langsung dengan keuangan ya tidak begitu. Itung-itungannya itu ya tetap bagaimana kebijakan itu (PGN) merugikan rakyat. Saya agak kaget. Kalau tadi dijawab `mohon diluar ini` saya memahami. Tapi jawaban seperti ini (Hendi jawab tidak tahu) menunjukkan ini tidak profesional. Saya takut MIND ID ini dipimpin waktu menjabat Dirut PGN. Berbahaya ini," tuturnya.

Dalam RDP tersebut, Hendi menjelaskan bahwa dirinya menjabat sebagai Dirut PGN dari 2007 hingga Maret 2017. Sengketa utang pajak itu terjadi bukan saat ia menjabat. Bahkan, ia mengetahui masalah tersebut dari rekan-rekannya di PGN. Masalah itu berawal dari akuisisi Blok Pangkah yang dimiliki oleh Amerada Hess oleh Saka Energi. Kemudian, kata dia, Dirjen Pajak yang seharusnya menagih pajak ke penjual malah menagih ke pembeli.

"Dirjen Pajak menagih pajak kepada mestinya kan penjual ya kan Amerada Hess tapi karena Amerada Hess sudah pergi dari Indonesia yang dikejar-kejar jadinya malah Saka," katanya. Persoalan itu sudah dibawa ke pengadilan pajak. Menurut informasi, PGN menang dan utang pajak ini hilang. "Akhirnya, terjadilah perselisihan pajak sampai di pengadilan pajak tapi yang saya terinfokan terakhir dari teman-teman PGN alhamdulillah PGN sudah menang, sudah inkrah. Jadi utang pajak ini hilang karena sudah di-reverse oleh putusan inkrah di pengadilan," kata Hendi.

Jadi Temuan BPK, Kejagung Harus Buka Lagi Kasus FSRU

Laporan BPK mengungkapkan kerugian keuangan PT PGN minimal sebesar US$131,27 juta atau sekira Rp1,97 triliun atas operasional Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) Lampung pada periode 2020-2022. Pangkal kerugian karena tidak optimalnya regasifikasi secara kuantitas dalam menggenjot kinerja keuangan perusahaan. 

Soal meruginya proyek tersebut sempat diusut oleh Kejaksaan Agung pada 2016. Kasus ini bahkan sampai masuk ke tahap penyidikan, meski tidak ada penetapan tersangka. Sejumlah petinggi PGN saat itu termasuk Hendi Prio sempat diperiksa penyidik. Akan tetapi, Kejagung memutuskan penyidikan disetop pada 2017. Alasan penyidik saat itu tidak menemukan bukti yang dapat mengemukakan adanya unsur pidana korupsi dalam proyek FSRU Lampung.

Menurut Yusri dari CERI, dengan adanya temuan BPK, semestinya Kejaksaan Agung bergerak cepat untuk membuka lagi kasus ini. Kalu perlu, Kejaksaan Agung bisa bekerjasama dengan KPK dalam koordinasi dan supervisi, mengingat ada kasus lain PGN yang telah dilaporkan ke KPK.

FSRU Lampung sendiri adalah kapal yang dilengkapi fasilitas pengelolah gas alam cair atau LNG untuk dikonversi dalam bentuk gas bumi. FRSU itu mempunyai tangki berkapasitas LNG hingga 170 ribu meter kubik dengan kemampuan regasifikasi maksimal 240 juta kubik per hari. 

Proyek pembikinan FSRU ini digagas oleh PGN pada medio 2010. Mulanya terminal terapung ini diproyeksikan beroperasi di Belawan, Medan untuk memasok energi sekitar kawasan Aceh dan Sumatera Utara. Keputusan pembuatan FRSU juga berdasar Inpres yang diteken Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono

PGN dalam proyek ini mengucurkan dana hingga US$250 juta atau setara Rp3,8 triliun merujuk kurs terkini. Dana dipakai untuk membayar sewa kapal milik korporasi asal Norwegia Hoegh dengan tenor pemakaian selama 20 tahun. 

Namun, pada Maret 2012, pemerintah melalui Dahlan Iskan yang saat itu menjabat Menteri BUMN memutuskan pasokan energi gas industri untuk Aceh dan Sumut dikirim dari kilang LNG Arun. 

Kemudian, FRSU yang semula ada di Belawan berpindah ke Lampung untuk mengisi pasokan gas industri di kawasan itu dan Jawa bagian barat. Berubahnya lokasi operasional mengubah juga kontrak atau perjanjian antara PGN dan Hoegh pada Oktober 2012. Hoegh menovasikan perjanjian ini kepada PT Hoegh LNG Lampung pada 2013, sedangkan PGN menovasikan kepada PT PGN LNG (PLI) pada 2014. 

Seusai kontrak baru terbentuk, PLI lantas mengoperasikan FSRU Lampung dengan mengolah LNG dari Kilang Tangguh, Papua. Namun perkembangan bisnis tidak bernasib mujur. Kontrak jual-beli gas senilai US$18 juta metrik yang semula berasal dari jasa mengaliri gas ke PLTGU Muara Tawar di Bekasi, Jawa Barat terhenti lantaran PLN meminta renegosiasi. 

Selain mendapati pengoperasian proyek yang berjalan tidak maksimal, laporan BPK juga mengungkapkan ada klausul kontrak yang lemah antara PGN dan Hoegh dalam proyek FSRU Lampung. Soalnya, kontrak itu mengharuskan PGN membayar harga sewa untuk kapasitas maksimal 27 kargo per tahun. Padahal, intensitas regasifikasi hanya berkisar 10-15 persen dari kapasitas maksimal sehingga realitanya kapasitas tidak pernah tercapai. Alhasil, proyek FSRU ini justru jadi buntung lantaran pendapatan yang diterima sangat kecil dibanding bengkaknya biaya operasional. 

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi. (Antara)

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan celah korupsi dalam sektor energi gas memang terdapat pada proses regasifikasi. Kata dia, celah terbuka lebar lantaran tidak ada standar biaya yang bisa dihitung saat proses perubahan LNG menjadi gas bumi. 

Fahmy bilang proses regasifikasi tidak berbeda jauh dengan proses blending atau pencampuran minyak bumi yang kerap kali jadi modus dalam produksi BBM di Pertamina. Dari kajiannya semasa bergabung Satgas Antimafia Migas, proses blending menjadi celah korupsi.  “Barangkali regasifikasi yang dilakukan PGN itu membuka peluang moral hazard,” ujar dia saat dihubungi Law-justice.co, Rabu (16/8/2023).

Celah lain korupsi, kata Fahmy, bisa terjadi saat alur distribusi. Potensi korupsi di PGN terbuka lebar di saat internal perusahaan bermain mata dengan pihak yang mendistribusikan gas bumi ke industri. Pihak yang dimaksud adalah penjual yang kerap kali sebenarnya tidak memiliki pipa untuk pendistribusian. Namun, tetap dipaksakan mendapat jatah dari PGN. “Para trader ini biasanya memiliki hubungan dengan kekuasaan, apakah itu di level legislatif maupun eksekutif,” ujar dia. 

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Aryanto memiliki perspektif lain dalam melihat celah korupsi di PGN. Ia menitikberatkan adanya permainan dalam klausul kontrak. Dugaan adanya kongkalikong dalam menyusun kontrak patut dikemukakan lantaran minimnya transparansi soal kontrak PGN dengan pihak lain dalam sejumlah proyek. Di saat yang sama, proses uji tuntas juga bisa menjadi ‘arena’ para aktor yang bermain dalam proyek. 

“Kalau bicara kontrak antara PGN dan vendor ini justru pada prosesnya jadi celah. Saat due diligence, apakah data-data yang digunakan dimanipulasi (atau) ada deal-deal tertentu dengan vendor, itu kan bisa saja terjadi karena perjanjian itu kan dibuat tanpa pengawasan publik,” tutur Aryanto.

Akuisisi Janggal 3 Blok Minyak, Siapa Dapat Cuan?

Laporan BPK mengungkapkan bahwa nilai akusisi tiga wilayah kerja atau blok migas oleh PT Saka Energi Indonesia (SEI) terlalu mahal, yakni US$ 56,6 juta atau sekira kurang lebih Rp865 miliar. Dua blok migas berada di Ketapang dan Pangkah di lepas pantai Jawa Timur. Satunya lagi ada di Fasken Texas, Amerika Serikat. Auditor negara mencatat kerugian dari akuisisi tiga blok migas itu mencapai US$ 347 juta atau setara Rp5,3 triliun.

Saka Energi sendiri merupakan anak usaha dari PGN yang dibentuk pada Juni 2011. Hingga 2021, tercatat Saka Energi memiliki 10 ladang migas, enam diantaranya sudah berproduksi, sisanya masih dalam tahap eksplorasi. 

Baru setahun berdiri, Saka Energi melakukan akuisisi pertama atas blok migas di Ketapang sebesar 20 persen atau US$ 71 juta dari Sierra Oil Services Limited melalui perjanjian jual-beli pada November 2012. Perjanjian ini juga diketahui dan disetujui oleh pihak Kementerian ESDM. Akuisisi hak partisipasi blok itu dilakukan oleh entitas bisnis Saka Energi bernama PT Saka Ketapang Perdana. 

Indikasi fraud mulai mengemuka ketika PGN dalam laporan tahunannya tidak pernah menyebut secara gamblang bahwa ada relasi bisnis dengan Sunny Ridges yang terafiliasi dengan Sierra Oil Services. Laporan BPK pun menyebutkan bahwa transaksi terkait akusisi blok itu berlangsung dengan Sunny Ridges. 

Menukil data terbuka terkait perusahaan cangkang lintas negara, muncul nama Sunny Ridge dengan dua entitas. Pertama adalah Sunny Ridge Offshore Limited yang terdaftar di negara suaka pajak British Virgin Islands. Tak ada informasi detail soal pemilik, alamat maupun pengurus perusahaan itu. Hanya saja, muncul nama Portcullis TrustNet yang berdomain di Singapura sebagai agen sekaligus perantara operasional. 

Entitas kedua bernama Sunny Ridge Group Limited yang tercatat di negara suaka pajak lain, Seychelles. Sejurus dengan entitas pertama, Portcullis TrustNet disebut sebagai agen. 

Di Indonesia, nama Sunny Ridge Group terlacak sebagai bagian dari Northstar Group yang merupakan perusahaan investasi garapan pengusaha nasional bernama Patrick Walujo dan Glen Sugita. Patrick kini menjabat CEO GOTO, sedangkan Glen diketahui sebagai pimpinan klub sepak bola Persib Bandung. 

Menurut Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho, penekanan soal beneficial ownership atau status kepemilikan soal pihak mana saja yang berbisnis diperlukan karena menyangkut kemana saja dana akuisisi mengalir. Terlebih, jika akuisisi ini benar ada indikasi fraud dan layak diproses hukum.  

“Siapa pemilik manfaat atau bosnya. Artinya ketika ada akuisisi ini, harus dikejar siapa beneficial ownership-nya. Ini penting untuk aparat penegak hukum ketika melakukan penelusuran untuk melihat kaitannya,” kata Aryanto kepada Law-justice, Kamis (17/8/2023). 

 Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho.

Kembali ke laporan BPK, akuisisi Blok Ketapang disebutkan sudah janggal sejak awal. Soalnya, persetujuan tender akuisisi Blok Ketapang yang diberikan Dewan Komisaris PGN dan Saka Energi, menurut BPK, mendahului proses uji tuntas atau due diligence sehingga belum mencukupi untuk lanjut proses akuisisi. Adapun uji tuntas akuisisi ini bermula saat Saka Energi menyurati perantara akuisisi yakni Goldman Sachs pada Juni 2012. Termaktub dalam surat bahwa Saka Energi menyatakan kesiapannya untuk menebus hak partisipasi Sunny Ridges di Blok Ketapang minimal 10 persen dengan nilai transaksi US$ 3 juta per 1 persen. 

Kemudian pada 25 Juli 2012, Saka Energi berkirim surat kepada Sunny Ridge yang isi pesannya soal kesediaan pembayaran 20 persen atas hak partisipasi di Blok Ketapang sebesar US$71 juta. Anehnya, ketika konfirmasi untuk menebus mahar akuisisi itu, Saka Energi justru baru menunjuk PT Pricewaterhousecooopers Indonesia Advisory (PWC) sebagai konsultannya untuk melakukan proses kajian due diligence pada September 2012. 

Hasil laporan dari PWC sendiri baru keluar pada 18 Oktober 2012. Saka Energi lantas menyewa jasa lembaga akuntan publik bernama Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP) untuk menguji hasil due diligence dari PWC.  

Dalam laporan BPK, pihak Saka Energi mengklaim bisa mengajukan penawaran terkait akuisisi sejak beberapa bulan sebelum keluar hasil uji tuntas. Patokan penawaran nilai akuisisi berdasar pada data eksternal di luar PWC dan HPP. Manajemen Saka Energi saat itu justru menggunakan parameter dari konsultan minyak dan gas Wood Mackenzie yang kemudian datanya dianalisis kembali oleh internal Saka. Dengan kata lain, due diligence seolah dilakukan dan berdasar keputusan penilaian Saka yang mengabaikan uji tuntas dari dua instansi tersebut. "Saka mengusulkan penawaran ke PGN untuk pengambilan keputusan investasi. PGN memiliki tim kajian sendiri untuk harga," tulis BPK    

Dalam menelusuri kerugian negara dalam akusisi Blok Ketapang, BPK mengutip kajian dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (LAPI ITB). Lembaga tersebut menyatakan penilaian atas aset Blok Ketapang menghasilkan net present value atau NPV US$10 juta, jauh di bawah harga yang dikucurkan Saka Energi sebesar US$71 juta. Berarti potensi kerugian kentara dalam transaksi berdasar indikator NPV di bawah 0. "LAPI ITB menjelaskan bisnis migas berisiko sehingga nilai NPV harus naik," tulis BPK. 

Menurut BPK, jika rasio keuntungan NPV terhadap harga beli sebesar 1, maka ada keyakinan kuat investor mendapat keuntungan. Berdasar perhitungan, nilai akuisisi yang dapat memberi keuntungan adalah sebesar US$40,5 juta saja, tidak sampai harga akuisisi oleh Saka Energi yang mencapai US$ 71 juta. Artinya ada pemborosan anggaran akuisisi karena kemahalan US$30,5 juta atau setara Rp543 miliar.

Ujung dari kemahalan akuisisi ini membikin Saka Energi terus rugi. Sampai 2022, kerugian akibat investasi di Blok Ketapang tembus US$54,6 juta. Menurut BPK, pangkal kerugian karena Saka Energi menggunakan perkiraan pendapatan yang tidak realistis. Manajemen Saka Energi memperikrakan harga minyak mentah dunia US$100 per barel sepanjang 2014-2041. Tetapi, dalam kenyataannya harga minyak pada periode itu bersifat fluktuatif dan justru meleset dari perkiraan hingga setengahnya. 

Merujuk penilaian BPK lagi, kerugian diakibatkan pemegang saham Saka Energi atau direksi PGN saat itu berpijak pada skenario yang salah. Celakanya, Direktur Utama PGN kala itu Hendi Prio Santoso yang kini Dirut Mind Id mengamini usulan akusisi Blok Ketapang yang merujuk skenario keliru itu.

Temuan BPK terkait akuisisi Blok Ketapang tak berbeda jauh dengan indikasi penyimpangan pada proyek akusisi Blok Pangkah dan Fasken. Akusisi Blok Fasken pada 2014 disebut BPK dilakukan sebelum uji tuntas rampung. Bahkan saat itu, Hendi Prio pun menyetujui akuisisi tanpa berdasar hasil uji tuntas. 

Akuisisi Saka Energi atas Blok Pangkah pada 2013, pun disebut BPK tidak mengacu pada uji tuntas. Namun, lagi-lagi tidak dipersoalkan oleh Hendi Prio. BPK juga menyebut Hendi tidak optimal dalam melakukan pengawasan operasional sesuai rencana kerja dan anggaran perusahaan atau RKAP. 

Tidak sesuainya mekanisme akusisi ini mengakibatkan pemborosan yang berdampak pada kerugian keuangan. Kemahalan akusisi Blok Pangkah mencapai US$51,1 juta, sedangkan Blok Fasken lebih besar, yakni US$14,8 juta.

Kami sudah berupaya menghubungi Hendi Prio untuk menanyakan ihwal temuan anyar BPK ini, namun yang bersangkutan tak kunjung merespons hingga berita dirilis. 

LHP atas Pengelolaan PBI Tahun 2017 sd Semester I 2022 pada PT PGN. (BPK RI)

 

Laba Besar, Bebas Korupsi?

Subholding Gas PT Pertamina (Persero), PT PGN Tbk meraup laba bersih sebesar Rp4,84 triliun pada 2022. Perolehan laba ini naik 7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Haryo Yunianto yang saat itu masih menjabat Direktur Utama PGN mengklaim bila PGN menjaga kinerja operasional di 2022 saat masa normalisasi pasca pandemi COVID-19 dan situasi ketidakpastian dampak dari kondisi geopolitik global.

Bahkan ia menyampaikan bahwa dalam menghadapi kondisi eksternal yang ada, pada tahun 2022, PGN mengembangkan kebijakan penerapan strategi keberlanjutan yang terintegrasi dengan seluruh proses bisnis, optimasi dan efisiensi. Untuk menjaga margin perusahaan, PGN meningkatkan kegiatan Niaga Gas Bumi kepada sektor-sektor baru dan moda beyond pipelines melalui inisiasi proyek LNG Retail dan pengembangan penyaluran gas via moda Compressed Natural Gas.

Dengan menjalankan strategi ini, PGN berhasil mencatatkan Laba Bersih Tahun Berjalan Yang Diatribusikan ke Entitas Induk 326,2 juta dolar AS (atau Rp 4,84 Triliun, dengan kurs IDR/USD: Rp 14.850) atau tujuh persen lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Laba bersih berasal dari pendapatan sebesar 3,6 miliar dolar AS. Dari pendapatan tersebut, PGN mencatatkan, Laba Bruto sebesar 780,5 juta dolar AS, Laba Operasi sebesar 592,2 juta dolar AS dan EBITDA sebesar 1.216,8 juta dolar AS.

“PGN berhasil melanjutkan kinerja positif 2022, dengan kinerja volume niaga gas periode Januari s/d Desember 2022 mencapai 896 BBTUD. Sedangkan untuk volume transmisi tahun 2022 adalah sebesar 1.190 MMSCFD,” jelas Haryo, katanya dikutip dari Antara di Jakarta, Jumat (14/4/2023)

Dari sisi operasional, volume lifting minyak & gas di tahun 2022 meningkat menjadi 28.870 BOEPD dari 24.086 BOEPD serta adanya kenaikan ICP yang tinggi, termasuk hal yang signifikan berkontribusi pada kinerja keuangan tahun 2022. Adapun transportasi minyak, juga menunjukkan kenaikan kinerja yang sangat signifikan yang mencapai 38.471 BOEPD dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya mencapai 9.706 BOEPD.

Untuk kinerja LPG processing mencapai sebesar 134 Ton per hari, meningkat signifikan dibandingkan periode tahun sebelumnya sebesar 92,7 Ton per hari. PGN terus meningkatkan akuisisi pelanggan baru dan menangkap peluang sinergi yang terlihat dari peningkatan infrastruktur pipa jaringan gas bumi naik 6,94 persen atau 748 km menjadi 11.524 km pada 2022 dan total pelanggan PGN yang mencapai 838.953 pelanggan.

“Pada tahun 2023 kami memegang komitmen sebagai Subholding Gas Pertamina untuk mewujudkan kemandirian energi di dalam negeri melalui penguatan pemanfaatan gas dan perluasan infrastruktur gas bumi, khususnya peningkatan peran pada masa transisi energi menuju Net Zero Emission  (NZE),” ucapnya.

Sayangnya, karier Haryo tak semoncer laporan keuangan PGN. Di tengah jalan dia dicopot oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Direktur Utama (Dirut) Sub Holding PT. Pertamina Gas Negara Tbk (PGN), M Haryo Yunianto dan Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN, Heru Setiawan oleh Menteri BUMN harus kehilangan posisinya per 30 Mei 2023 lalu. 

Menteri BUMN, Erick Thohir usai RUPST (Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan) PT PGN mengangkat Arief Setiawan Handoko, mantan Deputy Keuangan dan Monetisasi SKK Migas sebagai Dirut PGN. Sedangkan Harry Budi Sidharta sebagai Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis perseroan.

Beredar rumor kalau pergatian mendadak ini berkaitan dengan kontrak jual LNG selama 4 tahun dengan perusahan Gunvor Singapore Pte Ltd (Gunvor), terindikasi menimbulkan kerugian hingga Rp15 triliun.

Boleh saja PGN pamer cuan sebagai salah satu (anak) BUMN yang masih mampu menghasilkan laba di masa krisis pandemi. Namun, laba yang meningkat itu tentunya tidak serta merta membuktikan korporasi bebas dari fraud dan penyimpangan. Temuan BPK dalam laporan hasil pemeriksaan menunjukkan, dugaan penyimpangan yang terjadi di anak perusahaan Pertamina ini tergolong masif dengan nilai yang luar biasa besar.

Lucunya, penegak hukum yang diberi laporan oleh BPK justru terkesan cuek. Padahal, sajian laporan BPK itu sejatinya serupa hidangan matang yang tinggal dimakan saja. KPK atau penegak hukum lain tinggal merumuskan aturan atau hukum yang dilanggar.

Dugaan kerugian negara dengan nilai sungguh besar ini, tentuya akan menadi preseden dalam GCG pengelolaan BUMN lainnya. Apalagi, direksi-direksi PGN yang menjabat saat dugaan penyimpangan terjadi ini telah berdiaspora ke BUMN lain, sperti Mind ID.

Tentunya Menteri BUMN Erick Thohir harus menjadikan temuan BPK ini sebagai catatan kritis untuk mengevaluasi individu yang menjabat saat dugaan penyimpangan ini terjadi. Jangan justru memberikan lapangan yang lebih luas kepada bibit-bibit fraud yang ujung-ujungnya malah makin dalam menggerogoti uang rakyat.

Tak kalah penting adalah menegaskan kepada Komisi Pemberantasan korupsi untuk segra menindaklanjuti laporan dari BPK, agar dugaan penyimpangan yang merugikan hingga triliunan rupiah ini bisa segera terungkap. Demikian pula Jaksa Agung harus segera membuka lagi SP3 atau kasus SRFU dengan dasar temuan BPK ini.

 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar