Aturan Hukum Pembagian Harta Warisan yang Berlaku di Indonesia

Sabtu, 19/08/2023 11:36 WIB
Ilustrasi Warisan (Net)

Ilustrasi Warisan (Net)

Jakarta, law-justice.co - Pembagian harta warisan di Indonesia ternyata merujuk pada tiga jenis hukum dan ketiganya memiliki kekuatan hukum berasarkan aturan yang berlaku. Tiga versi aturan pembagian harta warisan adalah berdasarkan hukum waris adat, hukum perdata, dan hukum Islam.

Harta waris mengacu pada harta atau aset yang ditinggalkan oleh seseorang setelah meninggal, yang kemudian dibagikan kepada ahli waris atau penerima waris sesuai dengan hukum waris dan ketentuan yang berlaku. Dalam hukum Indonesia, sistem waris diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan berbagai peraturan perundang-undangan terkait.

3 Aturan Pembagian Harta Warisan di Indonesia

Di Indonesia, sistem waris diatur oleh hukum waris yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan beberapa undang-undang terkait. Sistem waris ini didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam (bagi penganut Islam) dan hukum adat (bagi kelompok-kelompok etnis tertentu), serta dapat juga mencakup prinsip-prinsip hukum sipil.

1. Pembagian Harta Warisan dengan Hukum Adat

Soepomo dalam Bab-bab tentang Hukum Adat menerangkan bahwa hukum waris adat adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan barang-barang atau harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud, dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.

Lalu apakah ada pembeda hukum waris adat dengan hukum lainnya? Diterangkan Bangun dalam Lex et Societatis Vol V, terdapat tiga hal yang membedakan hukum waris adat dengan hukum waris lainnya.

Merupakan Kesatuan dan Tidak Dapat Terbagi.

Harta warisan dalam hukum adat bukan merupakan kesatuan yang dinilai harganya, melainkan kesatuan yang tidak dapat terbagi dari jenis macam dan kepentingan para ahli waris.

Dalam hukum adat tidak dikenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana yang diatur dalam hukum waris barat dan Islam. Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk menuntut agar harta waris dibagikan sesegera mungkin.

Memiliki Asas Umum dalam Hukum Waris Adat.

Ditambahkan Bangun pula, hukum adat memiliki asas umum. Prinsip asas umum yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  • Jika pewarisan tidak dapat dilakukan secara menurun (dari orang tua ke anak), warisan dapat dilakukan secara ke atas atau menyamping (ke nenek atau saudara).
  • Dalam hukum waris adat, harta peninggalan seseorang tidak selalu langsung dibagikan. Namun, dapat ditangguhkan atau ada kalanya tidak dibagi karena harta tersebut tidak tetap.
  • Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat atau plaatsvervulling yang artinya seorang anak adalah ahli waris dari ayahnya, dan oleh sebab itu, empat anak tersebut dapat digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (susu dari si peninggal harta).

Dikenal dengan adanya pengangkatan anak (adopsi), di mana hak dan kedudukannya sama seperti anak sendiri dan merupakan salah satu solusi untuk meneruskan keturunan dalam suatu keluarga.

Memiliki Sistem Kekerabatan dalam Hukum Waris Adat.

Penting untuk diketahui bahwa sistem kekerabatan di Indonesia diklasifikasikan atas tiga golongan, yakni patrilineal, matrilineal, dan parental atau bilateral. Klasifikasi kekerabatan ini mempengaruhi pembagian harta warisan dalam hukum waris adat.

Patrilineal merupakan sistem kekerabatan yang menarik garis dari pihak Bapak. Hal ini membuat kedudukan pria lebih menonjol dibandingkan wanita dalam hal pembagian warisan. Contoh daerah yang menganut sistem kekerabatan ini dalam hal hukum waris adat adalah Lampung, Nias, NTT, dan lainnya.

Matrilineal merupakan sistem kekerabatan yang ditarik dari garis pihak Ibu. Hal ini membuat kedudukan wanita lebih menonjol daripada kedudukan dari garis Bapak. Contoh daerah yang menganut sistem kekerabatan ini dalam hal hukum waris adat adalah Minangkabau, Enggano, dan Timor.

Parental atau bilateral merupakan sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari kedua belah pihak, Bapak dan Ibu. Dalam sistem kekerabatan ini kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris adalah sama. Contoh daerah yang menganut sistem ini adalah Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan.

2. Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Perdata

Pembagian harta warisan menurut KUH Perdata hanya dapat terjadi karena kematian. Terkait pembagian harta warisan ini, ada dua cara yang dapat dilakukan, yakni berdasarkan surat wasiat atau undang-undang.

Ahli waris dalam KUH Perdata membagi ahli waris ke dalam empat golongan, yaitu;

Golongan I : Terdiri dari suami atau istri yang ditinggalkan, anak-anak sah, serta keturunannya.
Golongan II : Terdiri dari ayah, ibu, saudara, dan keturunan saudara.
Golongan III : Terdiri dari kakek, nenek, dan saudara dalam garis lurus ke atas.
Golongan IV : terdiri dari saudara dalam garis ke samping, misalnya paman, bibi, saudara sepupu, hingga derajat keenam.

Meskipun memiliki empat golongan, namun ada aturan yang perlu diketahui bahwa ada larangan untuk ahli waris dalam KUH Perdata yaitu, Pasal 838 KUH Perdata menerangkan bahwa ada empat kategori orang-orang uang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris.

Berikut ini adalah orang-orang yang masuk dalam kategori tidak akan mendapat warisan;

Orang yang telah dijatuhi hukuman membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal (pewaris);
Orang yang pernah dijatuhkan atau dipersalahkan karena memfitnah pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
Orang yang menghalangi orang yang meninggal (pewaris) dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya; dan
Orang yang telah menggelapkan, memusnahkan, atau memalsukan wasiat orang yang meninggal (pewaris).

3. Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam, warisan dibagi berdasarkan besaran masing-masih ahli waris yang besarannya sudah ditetapkan. Namun, meskipun demikian, dalam hukum Islam, warisan juga dapat dibagi berdasarkan wasiat dengan ketentuan hanya diperbolehkan maksimal sepertiga dari harta warisan, kecuali jika semua ahli waris menyetujuinya.

Ahli Waris Perihal ahli waris dalam pembagian waris menurut Islam, berdasarkan Pasal 171 KHI ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Kemudian, sebagaimana diterangkan Pasal 172 KHI, ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan (bagi) bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.

KHI membagi membagi ahli waris ke dalam dua kelompok menurut hubungan darah, yaitu; 1,) Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek, 2.) Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek. sementara menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.

Besaran pembagian warisan jika ayah dan ibu meninggal, jika suami atau istrinya meninggal, dan jika saudaranya meninggal berdasarkan aturan dalam KHI adalah sebagai berikut;

Jika pewaris memiliki anak perempuan, anak perempuan tunggal akan mendapat setengah bagian. Lalu, apabila ada dua orang anak perempuan, keduanya mendapatkan dua pertiga bagian.

Kemudian, apabila ada anak laki-laki, bagian anak laki-laki tersebut dua kali lipat dari anak perempuan; dua banding satu.

Jika pewaris tidak mempunyai anak, ayah mendapat sepertiga bagian. Kemudian, jika pewaris memiliki anak, ayah mendapat seperenam bagian.

Jika pewaris tidak mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih, ibu mendapat sepertiga bagian. Namun, jika memiliki anak atau dua saudara atau lebih, ibu mendapat seperenam bagian.

Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa warisan yang diambil oleh janda (istri) atau duda (suami) bila bersama-sama dengan ayah.

Jika pewaris tidak memiliki anak, duda mendapat setengah bagian. Namun, jika pewaris memiliki anak, duda mendapatkan seperempat bagian.

Jika pewaris tidak memiliki anak, janda mendapatkan seperempat bagian. Namun, jika pewaris memiliki anak, janda mendapatkan seperdelapan bagian.

Jika pewaris tidak memiliki anak atau ayah sebagai ahli warisnya, saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam bagian. Kemudian,

Jika saudaranya berjumlah dua orang atau lebih, masing-masing dari mereka mendapatkan sepertiga bagian.

Jika pewaris tidak memiliki anak atau ayah sebagai ahli warisnya, namun ia memiliki satu saudara perempuan kandung (seayah), saudaranya mendapatkan separuh bagian. Kemudian, bila jumlah saudara perempuan seayahnya ada dua orang atau lebih, masing-masing dari mereka mendapat dua pertiga bagian.

Kemudian, apabila pewaris memiliki saudara perempuan dan saudara laki-laki seayah, bagian saudara laki-lakinya adalah dua dan saudara perempuannya adalah satu; dua banding satu.

Demikian panduan hukum tentang pembagian harta warisan di Indonesia agar bisa menjadi acuan edukasi karena mengacu pada tiga versi hukum pembagian harta warisan. semoga bermanfaat.***

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar