Zamzam Muhammad Fuad, Peneliti

Mobil Listrik: Solusi Polusi atau Konsolidasi Oligarki?

Rabu, 02/08/2023 20:13 WIB
Mobil listrik Mersedez Benz (CNBC)

Mobil listrik Mersedez Benz (CNBC)

Jakarta, law-justice.co - Pertemuan G20 di Bali merekam beberapa peristiwa menarik. Salah satunya adalah kehadiran ribuan mobil listrik sebagai kendaraan resmi perhelatan tersebut. Pemerintah melakukan langkah ini untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tingkat polusi udara serta serius melakukan transisi energi (Amindoni, 2022).

Musim semi mobil listrik di Indonesia sepertinya akan segera tiba. Pada bulan September 2022, Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi agar kepala daerah menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan dinas. 

Pemerintah juga telah menetapkan tarif pajak tahunan yang membuat para pemilik mobil listrik tertarik. Permendagri 1 tahun 2021, menyebutkan bahwa pajak mobil listrik hanya 10% dari tarif normal. Selain itu, Pemda DKI Jakarta juga memberikan kekebalan bagi mobil listrik dari kebijakan ganjil genap.

Sejauh ini tidak ada penolakan dari publik atas kehadiran mobil listrik. Sepertinya ada keyakinan bahwa mobil listrik dapat menjadi solusi atas masalah polusi udara khususnya di perkotaan. Maklum saja, polusi udara di perkotaan, khususnya di Jakarta, sudah sangat mengkhawatirkan.

Lembaga survei IQAir mencatat bahwa tingkat polusi udara di Jakarta adalah yang paling buruk sedunia (Antaranews.com, 2022). Dalam konteks inilah mobil listrik diprediksi ampuh menurunkan angka polusi sehingga udara kota menjadi layak untuk dihirup.

Uraian singkat di atas mengungkap sebuah narasi bahwa masalah lingkungan (polusi udara) yang disebabkan oleh faktor teknis (mobil bahan bakar fosil), bisa diobati dengan solusi teknis (mobil listrik). Sekilas tidak ada yang salah dengan narasi tersebut. Namun demikian, narasi itu menyimpan kelemahan.

Sejak abad 19, masyarakat Inggris sudah menyadari adanya polusi udara akibat mesin industri yang boros batubara. Kegelisahan ini terobati ketika James Watt berhasil menciptakan mesin uap yang bisa mengirit konsumsi batu bara. Namun demikian, seorang ahli ekonomi politik bernama William Stanley Jevons justru mengkritik penemuan mesin uap ini karena malah memperburuk kualitas udara. 

Pasalnya, pada saat mesin uap diyakini aman digunakan, mesin tersebut kemudian diproduksi dan digunakan secara massal. Pembakaran batu bara justru semakin masif. Fenomena tentang teknologi berwawasan lingkungan yang justru merusak lingkungan ini dinamakan “Jevons Paradox” (Ozzie Zehner, 2012).

Mobil listrik juga bisa bernasib serupa dengan mesin uap. Menurut Wulandari (2020), mobil listrik mungkin bisa mengatasi polusi udara di perkotaan. Namun demikian, ia membuat masalah polusi baru di tempat lain. Produksi baterai mobil listrik membutuhkan eksploitasi nikel. Terkait hal ini, channel Youtube Narasi Newsroom (2022) pernah membuat liputan investigasi tentang rusaknya ekosistem di Pulau Obi Halmahera Selatan akibat pencemaran limbah eksploitasi nikel. 

Penggunaan mobil listrik secara masif juga akan meningkatkan eksploitasi batubara karena selama ini sumber energi listrik Indonesia sebagian besar masih mengandalkan energi dari batubara. Di titik ini, pencemaran lingkungan akan menjadi konsekuensi tak terelakkan. Inilah Jevons Paradox yang kemungkinan akan terjadi pada saat mobil listrik semakin marak digunakan.

Ekonomi Politik Masalah Lingkungan Perkotaan

Jevons Paradox membuktikan bahwa solusi teknis bukan satu-satunya jalan keluar. Dibutuhkan pisau analisis lain untuk memahami dan mengatasi polusi udara di perkotaan. Ilmuwan ekonomi politik kontemporer menawarkan pendekatan Urban Political Ecology (UPE) sebagai jawaban. 

Dalam perspektif UPE, lingkungan alam terbentuk karena intervensi masyarakat (relasi manusia). Masalah lingkungan di perkotaan juga ditentukan oleh relasi antar masyarakat. Kritik terhadap masyarakat adalah langkah pertama untuk memahami masalah lingkungan.

UPE adalah bagian dari tradisi Marxis yang meyakini bahwa pada mulanya alam digunakan oleh masyarakat sebagai nilai guna. Dalam perkembangannya, alam digunakan oleh masyarakat sebagai nilai tukar dan dapat menghasilkan kapital yang bisa dilipatgandakan. Sistem ini mendorong kapitalis mengeksploitasi buruh dan alam secara besar-besaran.

Di titik inilah alam menghasilkan kapital. Sebaliknya, kapital juga memengaruhi alam. Maka, kritik terhadap kapital dan hubungan produksi yang menyertainya sangat diperlukan untuk menganalisis masalah alam perkotaan (Heynen, 2006).

Di Indonesia, belum banyak akademisi menggunakan pendekatan analisis kelas ala UPE untuk menganalisis masalah lingkungan di perkotaan. Salah satunya adalah Bosman Batubara (2022) dengan kajian berjudul Banjir Jakarta dan Urbanisasi (pasca) Orde Baru. 

Bencana banjir Jakarta bukan sekedar persoalan teknis infrastruktur aliran air Jakarta yang tidak memadai. Bukan juga persoalan tingginya curah hujan Bogor yang membanjiri wilayah hilir. 

Lebih dari itu, banjir Jakarta harus dipahami dengan melihat pergerakan kapital (capital in motion) yang menyejarah di Jakarta. Pembangunan pada masa Orde Baru yang terpusat di Jakarta menarik kapital serta pergerakan perpindahan penduduk ke Jakarta. 

Dari sini kemudian muncul gedung pencakar langit, hotel, pusat perkantoran, dan pemukiman, yang membutuhkan sumber air murah melalui pembuatan sumur air tanah yang menyebabkan amblesan tanah di Jakarta.

Faktor lain penyebab banjir adalah hilangnya resapan air di dataran tinggi Bogor. Keterbatasan lahan terbuka di Jakarta sebagai sarana hiburan membuat penduduknya memilih bertamasya ke kawasan Puncak Bogor. Hal ini mengundang para elite pejabat dan konglomerat untuk membangun berbagai fasilitas wisata di Puncak Bogor. 

Kapital di sektor pariwisata yang bergerak menuju Bogor mengubah daerah resapan menjadi lokasi hotel dan vila-vila megah. Curah hujan yang tinggi di Bogor tidak diimbangi oleh daya resap tanah, sehingga air meluncur bebas ke wilayah hilir seperti Jakarta. Melalui perspektif capital in motion seperti inilah banjir di Jakarta bisa dipahami.

Lonjakan penggunaan kendaraan bermotor adalah axis pertemuan antara desakan kapital di sektor otomotif dan kepentingan negara menggenjot pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi problem polusi udara, kedua hal ini harus diperiksa. 

Kajian Ian Chalmers (1996) mengungkapkan adanya relasi antara kapital dan kekuasaan dalam industri otomotif di Indonesia. Chalmers menunjukkan bahwa masifnya perusahaan mobil di Indonesia tahun 1960an adalah campuran dari motif pemerintah untuk membuka keran investasi, menggenjot konsumsi, sumber rente ekonomi, serta imajinasi modernisasi.

Jika kita ingin mengendalikan polusi udara, kita juga harus memeriksa sejauh mana pemerintah mengandalkan sektor otomotif sebagai sumber pendapatan negara? Sejauh mana industri otomotif membiayai kekuasaan politik? Masih adakah praktik berbagi rente di kalangan elite politik dalam industri otomotif? Adakah kaitan semua itu dengan tingginya ongkos politik pemilu? 

Dalam pendekatan UPE, pertanyaan itu harus diajukan untuk membedah relasi kuasa yang melatari masalah lingkungan di perkotaan. Sebagaimana dikatakan Swyngedouw (2006), “urban environment must be understood within the context of the economic, political and social relations that have led to urban environmental change”.

Masalah polusi udara sulit diatasi hanya dengan mengandalkan solusi teknis belaka (misalnya mobil listrik).

Relasi ekonomi politik antar-aktor dominan harus diperiksa terlebih dahulu. Solusi teknis bisa jadi sekadar merupakan modus untuk menciptakan sumber kapital yang menguntungkan pemilik modal. Bisa jadi mobil listrik memang tidak dimaksudkan untuk menurunkan tingkat polusi udara. 

Produksi, distribusi, sirkulasi, promosi dan konsumsi mobil listrik bisa menjadi instrumen kelompok tertentu untuk menciptakan sumber kekayaan baru dengan cara menunggangi isu polusi udara. Kalau benar ini yang terjadi, maka kita kebobolan dua kali: polusi tetap mengudara, sekaligus tercipta relasi oligarki yang baru.***

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar