Soal Polemik Penanganan Korupsi Basarnas, KPK Jangan Takut TNI

Minggu, 30/07/2023 19:06 WIB
KPK menyatakan khilaf dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI karena ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi di kasus suap Basarnas. KPK sebelumnya menetapkan Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi setelah menangkap tangan bawahannya, Letkol (Adm) TNI Afri Budi Cahyanto. Robinsar Nainggolan

KPK menyatakan khilaf dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI karena ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi di kasus suap Basarnas. KPK sebelumnya menetapkan Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi setelah menangkap tangan bawahannya, Letkol (Adm) TNI Afri Budi Cahyanto. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Dalih prosedur hukum yang dianggap tidak sesuai oleh TNI dalam penanganan kasus korupsi di Basarnas amat patut diragukan. Sebab, KPK bisa saja menentang dalih peradilan militer yang digunakan TNI untuk ambil alih penanganan kasus ini. Artinya proses penyidikan atas Kepala Basarnas, Marsdya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi ini tetap bisa disidik KPK sesuai UU KPK.

Penekanan demikian diungak oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang menganggap KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis atau dengan kata lain KPK bisa bertindak di atas UU khusus yang melekat di TNI. Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf.

Beleid hukum yang melekat di TNI terlihat dalam sistem peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam UU itu, sarat nuansa sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan dan seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana. Meski kalau dibedah lebih lanjut, salah satu dalam UU itu sebenarnya menyatakan bahwa prajurit yang tersangkut masalah hukum harus tunduk dengan mekanisme peradilan umum sesuai yang diatur dalam hukum pidana.

“Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap. Mereka yang sudah menjadi tersangka  tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer,” kata Julius Ibrani, Ketua PBHI, yang termasuk dalam koalisi tersebut, dikutip Minggu (30/7/2023).

Julius lantas mendesak KPK untuk dalam posisi terus mengusut kasus korupsi ini. Menurut dia, aktor korupsi tidak berhenti di 5 tersangka yang ada. Kemungkinan tambahan tersangka bisa saja berasal dari kalangan internal TNI maupun di luar.

“KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi. Jangan sampai UU peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas,” kata Julius.  

Secara konstruktif, kasus ini bisa dilihat sebagai pemantik bahwa perlu dilakukan segera revisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Keberadaan UU tersebut dalam praktiknya menjadi keistimewaan bagi prajurit yang tersangkut kasus hukum karena tidak bisa dibawa kasusnya ke peradilan umum. Sehingga sang prajurit bermasalah itu bisa kebal hukum.

Dari kasus korupsi di Basarnas ini, sekaligus menjadi momentum bagi pemerintah untuk ‘bersih-bersih’ keterlibatan TNI dalam instansi sipil. TNI mempunyai kuasa untuk menempati jabatan sipil, namun tidak bisa diproses secara hukum sipil jika tersangkut masalah hukum.

“Karena (keberadaan TNI di instansi sipil) hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut. Seperti dugaan korupsi misalnya yang tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas karena eksklusifisme hukum yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana,” ujar Julius.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar