Nawaitu Redaksi,

Ketika KPK Menjadi Ciut Nyali Menghadapi Kasus Korupsi Prajurit TNI

Minggu, 30/07/2023 12:14 WIB
Ketua KPK Firli Bahuri (Foto: Humas KPK)

Ketua KPK Firli Bahuri (Foto: Humas KPK)

Jakarta, law-justice.co - Korupsi di negara ini rupanya memang telah merambah kemana-mana tak ubahnya bagaikan gurita. Tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh kalangan sipil saja, tetapi juga oleh Prajurit TNI yang dididik dengan disiplin tinggi untuk pengabdian pada bangsa  dan negara.

Baru baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan total lima tersangka dari Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) RI terkait kasus dugaan korupsi suap menyuap pada pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan Tahun Anggaran 2023.

Mereka ialah Kabasarnas RI periode 2021-2023 Henri Alfiandi; Anggota TNI AU sekaligus Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya; dan Roni Aidil Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama.

Sebenarnya soal adanya prajurit TNI yang terkena kasus korupsi itu bukan suatu hal yang aneh karena sudah sering terjadi sehingga dianggap biasa biasa saja. Namun kali ini ada hal yang tidak biasa karena penanganan kasus korupsi di Basarnas ini diwarnai oleh adanya permintaan maaf dari pimpinan KPK dan sekaligus pengunduran diri Brigjen Asep Guntur Direktur Penyidikan (Dirdik) sekaligus Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.

Adanya aksi permohonan maaf pimpinan KPK kemudian pengunduran diri Dirdik KPK ini tentu saja menimbulkan tanda tanya. Bagaimana sebenarnya duduk perkara korupsi di Basarnas yang melibatkan unsur tentara ?

Sudah tepatkah permintaan maaf pimpinan KPK ke Mabes TNI ini karena anak buahnya dijadikan tersangka ?. Mengapa pimpinan KPK menjadi ciut nyalinya menghadapi tersangka korupsi dari jajaran tentara ?. Bagaimana seharusnya kasus yang melibatkan prajurit TNI ini di proses oleh KPK ?

Duduk Perkara

Seperti diberitakan media, penanganan kasus ini berawal dari laporan masyarakat yang selanjutnya oleh KPK dinaikkan ke tahap penyelidikan untuk mencari peristiwa pidana sehingga ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menjerat pelakunya.KPK kemudian menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan siapa yang menjadi tersangkanya.

Kasus ini terbongkar dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar di Jalan Mabes Hankam, Cilangkap dan di salah satu Restoran Soto di Jatisampurna, Bekasi, Selasa (25/7/23). Tim KPK menangkap 11 orang dan mengamankan barang bukti uang sejumlah Rp999,7 juta.

Untuk diketahui, di tahun 2023, Basarnas telah membuka tender proyek pekerjaan dingkungan kerjanya.Di antaranya pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp9,9 miliar; pengadaan public safety diving equipment dengan nilai kontrak Rp17,4 miliar; dan pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (multiyears 2023-2024) dengan nilai kontrak Rp89,9 miliar.

Supaya dapat dimenangkan dalam tiga proyek tersebut, Mulsunadi Gunawan, Marilya dan Roni Aidil melakukan pendekatan secara personal dengan menemui langsung Henri Alfiandi dan orang kepercayaannya yaitu Afri Budi namanya.Dalam pertemuan ini, diduga terjadi `deal` pemberian sejumlah uang berupa fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak yang ada.

Melalui beberapa kali pertemuan dihasilkan kesepakatan yaitu Henri siap mengondisikan dan menunjuk perusahaan Mulsunadi dan Marilya sebagai pemenang tender untuk proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan TA 2023.

Sementara perusahaan Roni Aidil menjadi pemenang tender untuk proyek pengadaan public safety diving equipment dan pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (multiyears 2023-2024).

Dari informasi dan data yang diperoleh tim KPK, diduga HA [Henri Alfiandi] bersama dan melalui ABC [Afri Budi] diduga mendapatkan nilai suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp88,3 miliar dari berbagai vendor pemenang proyek.

Terkait dengan kasus tersebut, KPK langsung melakukan penahanan terhadap Marilya dan Roni Aidil selama 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 26 Juli 2023 sampai dengan 14 Agustus 2023.

Marilya ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK pada Gedung Merah Putih, sedangkan Roni Aidil ditahan di Rutan KPK pada Kavling C1 Gedung ACLC. Sementara untuk tersangka MG [Mulsunadi Gunawan], dikabarkan masih buron dan diharapkan KPK agar segera hadir ke Gedung Merah Putih KPK mengikuti proses hukum perkara yang menjeratnya.

Marilya, Roni Aidil dan Mulsunadi sebagai pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.Sementara itu, KPK menyerahkan proses hukum Henri Alfiandi dan Afri Budi selaku prajurit TNI kepada Puspom Mabes TNI. Hal itu sebagaimana ketentuan Pasal 42 UU KPK jo Pasal 89 KUHAP.

Minta maaf dan Undur Diri

Kesuksesan KPK mengungkap praktik dugaan korupsi di lingkungan Basarnas mendapat apresiasi dengan menetapkan dua anggota TNI Eks Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letkol Adm ABC selaku Koordinator Staf Administrasi sebagai tersangka.

Namun apa mau dikata, nyali pimpinan KPK itu tiba tiba saja menjadi ciut setelah release  atas penetapan tersangka yang berasal dari jajaran tentara.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak meminta maaf kepada pihak TNI lantaran menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfandi sebagai tersangka. Johanis meminta maaf karena pihaknya tidak koordinasi terlebih dahulu dengan pihak TNI sebelum mengumumkan keterlibatan dua tersangka. Permintaan maaf disampaikan usai Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko mendatangi markas KPK.

"Pada hari ini KPK bersama TNI yang dipimpin oleh Danpuspom TNI di atas tadi sudah melakukan audiens terkait dengan penanganan perkara di Basarnas dan yang dilakukan tangkap tangan oleh tim dari KPK," ujar Johanis di gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023) seperti dikutip media.

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI, dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya manakala ada keterlibatan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani," demikian Johanis menambahkan keterangannya.

Karuan saja sikap pimpinan KPK yang tiba tiba minta maaf tersebut mendapatkan reaksi keras dari anak buahnya.  Adalah Brigjen Asep Guntur dikabarkan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Direktur Penyidikan (Dirdik) sekaligus Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK. Informasi dari sumber media menyebut Asep sudah menyampaikan dirinya akan mundur lewat grup komunikasi internal penyelidik/penyidik KPK. Asep disebut akan menyampaikan surat resmi pada Senin (31/7/2023).

Terkait dengan adanya permohonan maaf dan pernyataan khilaf dari pimpinan KPK terhadap Mabes TNI tersebut Mantan penyidik KPK Novel Baswedan menilai bahwa pimpinan KPK tidak bertanggungjawab atas apa yang telah diputuskannya.

"Pimpinan KPK tidak tanggung jawab. Setiap kasus melalui proses yang detail bersama Pimpinan KPK dan pejabat struktural KPK. Kok bisa-bisanya menyalahkan penyelidik atau penyidik yang bekerja atas perintah Pimpinan KPK," kata Novel di akun Twitter @nazaqistha, dikutip Republika di Jakarta pada Jumat (28/7/2023).

Selain dinilai tidak bertanggungjawab, langkah meminta maaf yang dilakukan oleh pimpinan KPK itu dinilai juga sebagai tindakan yang keliru dan tidak seharusnya dilakukan oleh pimpinan KPK. Penilaian ini dilontarkan oleh Koalisi Masyarakat sipil dalam rilisnya.

"Kami menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/7/2023) seperti dikutip media.

Sementara itu Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil mengatakan, KPK sebenarnya tidak perlu meminta maaf usai menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka.

Nasir menyebut KPK hanya merendahkan dirinya sendiri jika meminta maaf dan mengaku khilaf atas apa yang telah dilakukannya.  Menurutnya dengan permintaan maaf itu telah membuat posisi KPK itu, istilahnya itu seperti merendahkan diri sendiri," ujar Nasir seperti dikutip oleh mediai, Jumat (28/7/2023).

KPK dan Peradilan Tindak Pidana Korupsi Bagi Anggota Militer

Kiranya orang awam juga sudah paham kalau tugas utama KPK Itu memproses hukum penyelenggara negara yang menggarong uang negara. Dalam hal ini TNI adalah penyelenggara , DPR penyelenggara negara, Menteri penyelenggara Negara termasuk Presiden juga penyelenggara negara.

Cuma TNI punya undang-undang tersendiri seperti halnya juga KPK juga punya undang-undang sendiri sebagai landasan bekerjanya. Lalu bagaimana jadinya kalau ada prajurit TNI yang melakukan korupsi, apakah KPK memang tidak berwenang untuk memprosesnya ? Sehingga harus meminta maaf segala ?

Secara yuridis formal, KPK mempunyai wewenang untuk melakukan proses penegakan hukum terhadap prajurit militer. KPK dapat menangani kasus suap yang melibatkan anggota TNI aktif yang dilakukan bersama dengan orang sipil. KPK masih memiliki kewenangan untuk meproses hukum mereka.

Sekurang kurangnya ada dua dasar hukum yang menguatkan langkah lembaga antirasuah itu  untuk menjerat tersangka dari lingkungan tentara. Pertama adalah Pasal 42 UU No 30 Tahun 2002 (UU KPK).Dalam pasal itu disebutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

Artinya KPK tetap berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, peyidikan dan penuntutannya yang dilakukan oleh pihak Polisi Militer/Oditur Militer.

Terkait kasus Basarnas yang diduga melibatkan anggota TNI aktif, KPK dan POM TNI dapat menganani perkara secara bersama-sama melalui peradilan koneksitas atau membentuk Tim Koneksitas.

Peradilan koneksitas adalah peradilan yang menangani perkara koneksitas. Perkara koneksitas adalah tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada kekuasaan peradilan yang berbeda, yaitu lingkungan peradilan umum dan peradilan militer.

Dasar hukum yang kedua adalah Nota Kesepahaman (MOU) antara TNI dan KPK pada 2012. Dalam MOU menegaskan kerja sama KPK dan TNI meliputi koordinasi dan pengendalian dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

Selain itu dalam salah satu kesepakatan juga disebutkan bahwa dalam rangka pemberantasan korupsi TNI dapat memberikan bantuan personel TNI. Ini dapat diterjemahkan termasuk juga penyidik dari TNI.

Soal peradilan atau tim koneksitas untuk kasus korupsi, sejauh ini sudah pernah dilakukan oleh kedua Lembaga. Salah satu contohnya pada 2002 dalam penanganan kasus korupsi korupsi Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dengan Ustraindo Petro Gas (UPG) dengan tersangka Ginandjar Kartasasmita, mantan Menteri yang juga anggota TNI.

Saat itu dibentuk tim Koneksitas dari unsur TNI dan Kejaksaan.Contoh lainnya, pada 2006 dalam kasus pengadaan Helikopter MI-17 yang diduga merugikan negara 3 juta dolar Amerika.

Selain alasan yang dikemukakan diatas, KPK sesungguhnya dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (undang-undang yang khusus mengenyampingkan undang-undang yang umum). Karena sebagaimana kita ketahui, sistem peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan pidana militer bukan tindak pidana umum. Sementara korupsi adalah tindak pidana umum yang tunduk pada peradilan umum.

Oleh karena itu, seharusnya KPK menyadari pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri yang berbunyi "Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.

Sehingga dengan menggunakan azas lex specialist derogat lex generalis, sudah tepat kalau KPK menetapkan tersangka kepada dua orang jajaran militer dari Kabasarnas dan Koorsmin Kabarnas bersama tiga masyarakat sipil lainnya.

Karena dalam kasus suap yang harus mentersangkakan pemberi suap dan penerimanya.Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak menersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suapnya..

Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI, karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer,karena bukankah semua orang bersamaan dihadapan hukum ?.

Oleh karena sudah seharusnya dalam pengusutan kasus Basarnas ini KPK tegak lurus menggunakan  UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut.

KPK, bisa saja mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengesampingkan UU yang umum.

Dengan demikian, KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf. Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya.

Tidak ada yang salah dengan kebijakan KPK yang sudah menetapkan 2 tersangka dari kalangan militer itu karena dilakukan sebagai tindak lanjut dalam suatu operasi tangkap tangan bersama dengan masyarakat sipil lainnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerimanya.

Selain itu, kasus ini harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi proses pengadaan barang atau jasa lainnya dalam institusi militer, baik secara internal, yaitu di TNI maupun lembaga eksternal lainnya, agar transparan dan akuntabel sehingga tidak menimbulkan kerugian keuangan negara

Pengungkapan kasus ini harus pula menjadi pintu masuk untukmengungkap kasus-kasus dugaan korupsi yg melibatkan prajurit TNI lainnya, baik di lingkungan internal maupun external TNI. KPK harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi di Basarnas ini.

 KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi. Jangan sampai UU peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas.

Pemerintah dan DPR juga harus segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer karena selama ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum.

Apalagi agenda revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh presiden Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya.

Selain itu Pemerintah wajib mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil, terutama pada instansi yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI, karena hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut.

Seperti dugaan korupsi misalnya yang tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas karena eksklusifisme yang ada dilembaganya.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita telah sepakat bahwa semua warga negara bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Jangan sampai pernyataan ini hanya bersifat pemanis di bibir saja.

Giliran ada orang yang tertangkap basah sedang maling dan dijadikan tersangka, institusinya keberatan dengan berdalih punya aturan sendiri dan punya aturan sendiri untuk memproses hukumnya.Apa tidak sekalian punya negara sendiri saja ?.

Jangan sampai terjadi seperti pemeo, dimana ada maling tertangkap basah oleh Satpam di komplek perumahan eh malah Satpamnya yang harus meminta maaf karena maling itu berasal dari komplotan yang mempunyai hukum sendiri untuk ditegakkan sendiri sehingga bukan hukum yang berlaku di komplek perumahan itu yang harus menjadi dasar hukum untuk ditegakkan. Bikin ketawa saja.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar