Belanda Akhirnya Akui RI Merdeka 17 Agustus 1945 usai 78 Tahun Berlalu

Kamis, 15/06/2023 15:20 WIB
 Bung Karno saat mengucapkan doa syukur atas Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1745 (Repro)

Bung Karno saat mengucapkan doa syukur atas Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1745 (Repro)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah Belanda mengakui "sepenuhnya dan tanpa syarat" bahwa Indonesia merdeka dari Belanda pada tanggal 17 Agustus 1945--pernyataan resmi pertama Pemerintah Belanda setelah 78 tahun.

Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengatakan hal tersebut di parlemen, pada Rabu (14/6/2023), saat menjawab pertanyaan anggota parlemen dari Partai GroenLinks terkait pengakuan terhadap kemerdekaan RI.

Rutte berjanji akan berkonsultasi dengan Presiden Indonesia, Joko Widodo, untuk mencapai interpretasi bersama tentang hari kemerdekaan itu.

"Kami sepenuhnya sudah mengakui 17 Agustus zonder voorbehaud (tanpa keraguan). Saya masih akan mencari jalan keluar bersama presiden (Indonesia, Joko Widodo) untuk mencari cara terbaik agar bisa diterima kedua pihak," ujar PM Rutte sebagaimana dikutip media Historia.

Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 setelah Jepang menyerah dalam Perang Dunia II. Akan tetapi, Pemerintah Kerajaan Belanda tidak pernah mau mengakui momen itu secara resmi.

Antara 1945 dan 1949, Belanda justru mengobarkan perang untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia.

Pada 2005, Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Ben Bot, mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia secara "de facto" sudah dimulai pada tahun 1945, tetapi Belanda secara resmi masih menggunakan tanggal 27 Desember 1949, ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

Permintaan maaf
Pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengemuka ketika dia hadir dalam perdebatan mengenai hasil penelitian dekolonisasi di parlemen Belanda.

Sebanyak 15 anggota parlemen yang masing-masing mewakili partainya mempersoalkan setidaknya tiga hal terkait penelitian berjudul "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950".

Hasil penelitian yang dipublikasikan tiga lembaga Belanda medio Februari 2022 lalu, menyebutkan adanya kekerasan ekstrem militer Belanda yang terstruktur.

Pertama, soal aspek hukum. Penelitian itu cenderung menggunakan istilah "kekerasan ekstrem", bukan "kejahatan perang".

Kedua, soal tanggung jawab dan permintaan maaf pemerintah terhadap para korban dan veteran Belanda itu sendiri.

Ketiga, soal kompensasi dan rehabilitasi para veteran perang yang dianggap penjahat perang.

PM Rutte yang hadir didampingi Menteri Luar Negeri Wopke Hoekstra, dan Menteri Pertahanan Kajsa Ollorongren, memberikan pernyataan permintaan maaf atas terjadinya kekerasan ekstrem.

PM Rutte masih bersikeras menyebutnya kekerasan ekstrem alih-alih kejahatan perang, dengan mendasarkan pada Konvensi Jenewa 1949.

"Masa kekerasan itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Kesimpulannya kami tidak setuju itu kejahatan perang secara yuridis. Secara moral, ya, tapi tidak secara yuridis," tegas Rutte.

Permintaan maaf Rutte juga pernah disampaikannya pada 17 Februari 2022 lalu.

(Kiki Agung\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar