Adaro Dianggap Tak Serius Transisi Energi, RUPS Berakhir Ricuh

Sabtu, 13/05/2023 11:20 WIB
Gedung PT Adaro Energy Tbk (Dok.Adaro)

Gedung PT Adaro Energy Tbk (Dok.Adaro)

Jakarta, law-justice.co - Rapat umum pemegang saham (RUPS) PT Adaro Energy Indonesia Tbk sempat ricuh saat seorang pemegang saham menolak rencana pembangunan PLTU batu bara baru di Kalimantan Utara untuk smelter aluminium perusahaan sebesar 1,1 gigawatt.


Pemegang saham itu menyampaikan pesannya dengan cara membuka banner yang bertuliskan menolak pembangunan PLTU batu bara baru. PLTU tersebut merupakan PLTU captive, istilah untuk pembangkit listrik yang didedikasikan untuk menyediakan listrik untuk suatu fasilitas industri.

Salah satu pemegang saham Adaro bernama Ganjar mengatakan bahwa krisis iklim mengancam masa depan dan anak cucu.

"Adaro harus menunjukkan niat transisi yang serius dengan beralih dari bisnis batu-bara dan investasi yang lebih agresif ke sektor energi terbarukan," ujarnya, dikutip Sabtu (13/5/2023)

Abdi, salah satu pemegang saham Adaro lainnya pun mengatakan hal serupa. Ia mengingatkan sebaiknya institusi keuangan tidak perlu mendukung bisnis Adaro jika perusahaan itu tak melakukan transisi energi.

"Jika Adaro masih tidak menunjukkan upaya transisi keluar dari bisnis batu-bara yang serius, institusi keuangan yang bertanggung jawab sebaiknya tidak mendukung bisnis Adaro," tegasnya.

Adaro sendiri mengklaim akan melakukan transisi energi. Hal ini terlihat dari tema laporan keuangan mereka, `Transforming into a bigger and greener Adaro`.

Kendati, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan sampai dengan saat ini Adaro masih mengandalkan bisnis batu bara.

Ia menyebut produksi batu bara Adaro meningkat hampir 20 persen dari 52,7 juta ton menjadi 62,8 juta ton pada 2021, dan menargetkan kenaikan produksi pada tahun ini.

"Pembangunan PLTU batu bara baru hanya akan memperburuk dampak krisis iklim, mencemari lingkungan, merugikan masyarakat dan mencederai komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dari sektor energi", ucap Bondan melalui keterangan resmi, Jumat (12/5).

Smelter Adaro ini rencananya akan memproduksi 500 ribu ton aluminium setiap tahun. Dengan asumsi PLTU tersebut menggunakan teknologi yang terbaik saat ini yaitu ultra super critical, maka PLTU ini diprediksikan akan menghasilkan emisi 5,2 juta ton CO2 ekuivalen per tahunnya. Hal itu bertentangan dengan semangat transisi energi.

Menurut badan International Energy Agency (IEA), dalam skenario Net Zero Emission (NZE) 2050, untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius seharusnya sudah tidak ada lagi pembangunan PLTU batu bara baru setelah 2021.

Di sisi lain, Adaro telah menandatangani PPA dengan PLN untuk pembangkit listrik tenaga angin di Kalimantan sebesar 70 MW.

Berdasarkan laporan keuangan Adaro 2022, perusahaan memiliki kas sebesar US$2,7 miliar.

Menurut Greenpeace, transisi Adaro seharusnya dilakukan dengan menghentikan rencana pembangunan PLTU batu bara baru dan mengedepankan belanja modal untuk berinvestasi pada energi terbarukan. Apalagi, saat ini dunia mulai beralih dari penggunaan batu bara.

Skenario IEA NZE 2050 menyatakan bahwa supply batu bara akan turun sampai dengan 48 persen selama 2021-2030 dan 91 persen selama 2021-2050.

Hal ini menunjukkan investasi batu bara memiliki risiko transisi yang tinggi. Ketergantungan Adaro atas bisnis batu bara memiliki risiko yang sangat tinggi bagi para investor perusahaan ini.

Laporan IEEFA menyatakan saat ini lebih dari 200 lembaga keuangan telah memiliki kebijakan pembatasan investasi batu bara. Dari sektor perbankan seperti DBS, Standard Chartered, dan OCBC telah menyatakan tidak akan terlibat dalam pembiayaan ke Adaro.

Selain itu, HSBC juga telah memiliki kebijakan khusus untuk tidak membiayai pembangunan PLTU batu bara captive untuk industri.

 

(Kiki Agung\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar