Kompolnas Buka Suara,

Ketika Anak Buah Sambo Beberkan Budaya Sulit Tolak Perintah Atasan

Minggu, 05/02/2023 06:24 WIB
Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua, Arif Rachman (Net)

Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua, Arif Rachman (Net)

Jakarta, law-justice.co - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) buka suara mengkritik pernyataan salah satu tersangka kasus obstruction of justice pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabara (Brigadir J), AKBP Arif Rachman Arifin dalam sidang pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (3/2/2023).

Dalam sidang itu, Arif mengatakan ada budaya di institusi Polri yang membuat bawahan sulit untuk menolak perintah atasan.

Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti menilai, anggota Polri bukanlah robot yang selalu melaksanakan perintah tanpa melalui proses berpikir.

"Pun saat ini juga bukan zaman Orde Baru yang pada masa itu memang mewajibkan anggota patuh meski perintah pimpinan keliru," ujar Poengky saat dihubungi, Sabtu (4/2/2023).

Menurut Poengky, pasca-reformasi, institusi Polri adalah institusi sipil, bukan institusi militer, sehingga aturan dan budaya Polri juga sudah berubah menjadi budaya Polri yang reformis dan humanis.

Dia berpandangan, masih wajar bila polisi berpangkat Bharada yang mengatakan soal adanya budaya yang membuat bawahan di Polri sulit menolak atasan. Sebab, Bharada ada adalah pangkat terendah di Polri.

Namun, menurutnya, bila perwira menengah berpangkat AKBP masih berpikiran seperti robot atau setidaknya seperti pada masa Orde Baru yang tidak berani mengoreksi pimpinan yang keliru, maka orang-orang seperti itu justru merusak institusi Polri.

"Apalagi pangkat AKBP sebagai perwira menengah seharusnya punya keberanian dan bisa mengoreksi kebijakan atasan yang keliru," imbuhnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan setiap anggota Polri harus tunduk pada peradilan umum, kode etik profesi, dan disiplin.

Poengky mengimbau agar para anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya wajib berhati-hati agar tidak terkena sanksi pidana, sanksi etik, maupun sanksi disiplin.

"Aturan kode etik profesi Polri jelas menegaskan kewajiban bawahan salah satunya adalah menolak perintah atasan yang melanggar norma hukum, agama, dan kesusilaan," ucap dia.

Diberitakan sebelumnya, Arif menyebut ada batasan yang tegas antara bawahan dan atasan di Korps Bhayangkara.

Awalnya, Arif mengungkit bahwa menolak perintah atasannya, Ferdy Sambo, tidak semudah seperti yang diatur dalam peraturan.

Sebab, antara logika, nurani, dan ketakutan Arif sudah bercampur buntut sikap Ferdy Sambo yang kerap bersikap kasar sejak kematian Brigadir J.

"Sungguh, tidak semudah membaca kalimat dalam peraturan tentang `menolak perintah atasan`," ujar Arif di ruang sidang, Jumat.

"Tidak semudah melontarkan pendapat, `kalau saja begini, jika saja begitu, mengapa tidak melakukan ini, mengapa tidak bersikap begitu`," sambungnya.

Arif menjelaskan, ada sebuah budaya di organisasi Polri yang mengakar pada rantai komando.

Maka dari itu, batasan tegas antara atasan dan bawahan di kepolisian terasa begitu nyata.

"Hubungan berjenjang yang disebut relasi kuasa, bukan sekadar ungkapan, melainkan suatu pola hubungan yang begitu nyata, memberikan batasan tegas antara atasan dan bawahan," tutur Arif.

Arif mengatakan budaya itulah yang kerap menciptakan penyalahgunaan keadaan oleh atasan terhadap bawahan.

Dia pun lantas mengingatkan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang merupakan seorang bawahan di Biro Paminal Divisi Propam Polri.

Sebagai informasi, Arif dituntut 1 tahun penjara dan denda Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan dalam kasus obstruction of justice penyidikan pembunuhan berencana Brigadir J.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar