Bantuan Barat ke Ukraina Pakai Skema Pencucian Uang?

Senin, 09/01/2023 08:37 WIB
Volodymyr Zelensky dan Joe Biden (AFP)

Volodymyr Zelensky dan Joe Biden (AFP)

Jakarta, law-justice.co - Pimpinan Cechnya Ramzan Kadyrov mencurigai kiriman bantuan Barat ke Ukraina adalah skema pencucian uang.

Dilansir TribunWow.com, Kadyrov mengatakan bahwa para pejabat Barat dan Ukraina akan menyelewengkan sebagian besar dana tersebut.

Sehingga, uang yang dikirim untuk membantu angkatan bersenjata hanya akan sampai ke lapangan sekitar 15 persen saja.

Pernyataan ini disampaikan oleh Kadyrov melalui saluran di akun Telegram pribadinya, dilihat Senin (9/1/2023)

"Saya melihat beberapa orang khawatir tentang bantuan asing ke Ukraina. Jangan khawatir! Ini adalah skema pencucian uang yang berhasil. Pejabat Barat dan Ukraina akan menggelapkan dana ini, dan tidak lebih dari 15 persen dari seluruh bantuan akan sampai ke lapangan, " kata Kadyrov dikutip media pemerintah Rusia TASS.

Kadyrov juga mencatat bahwa pihaknya tidak perlu khawatir tentang permusuhan yang saat ini terjadi di wilayah Rusia.

"Ini adalah wilayah kami, yang memilih untuk bergabung dengan negara kami demi melindungi rakyat mereka dari tindakan pemuja setan nasionalis Ukraina dan NATO," tegasnya.

Sebagaimana diketahui, Jumat (6/1/2023), Amerika Serikat (AS) mengumumkan paket bantuan baru ke Ukraina senilai lebih dari $3 miliar USD (sekitar Rp 47 triliun).

Menurut Gedung Putih, bantuan akan diberikan langsung dari cadangan Pentagon, dan akan mencakup kendaraan lapis baja Bradley, howitzer self-propelled, kendaraan MRAP (Mine-Resistant Ambush-Protected), rudal pertahanan udara, serta senjata dan amunisi lainnya.

Terkait hal ini, saat bicara di Washington DC, AS, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sempat mengingatkan bahwa bantuan militer AS ke Ukraina bukanlah amal tetapi investasi untuk dunia yang demokratis.

Dilaporkan Al Jazeera, Kamis (22/12/2022), Zelensky mengatakan dalam sidang bersama Senat AS dan Dewan Perwakilan Rakyat bahwa dia berharap mereka akan terus mendukung upaya perang negaranya secara bipartisan.

"Uang Anda bukan sumbangan," kata Zelensky dalam bahasa Inggris dan mengenakan seragam khaki seperti biasanya.

"Ini adalah investasi untuk keamanan global dan demokrasi," katanya.

AS sejauh ini telah mengirim sekitar $50 miliar USD (Rp 780 triliun) bantuan ke Kyiv, dengan Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengumumkan tambahan $1,85 miliar USD (Rp 29 triliun) bantuan militer pada hari Rabu, termasuk sistem pertahanan udara Patriot.

Sistem rudal Patriot dianggap sebagai sistem pertahanan udara AS yang paling canggih, yang memberikan perlindungan terhadap serangan pesawat serta rudal jelajah dan balistik.

Kedatangan Zelensky disambut dengan tepuk tangan meriah di ruang DPR yang hampir penuh di mana anggota Kongres mengibarkan bendera Ukraina yang besar saat dia masuk.

Sebagian besar berdiri, bersorak, bertepuk tangan dan banyak yang menjabat tangan Zelensky saat dia masuk, dengan beberapa mengenakan warna bendera Ukraina, biru dan kuning.

"Merupakan kehormatan besar bagi saya untuk berada di Kongres AS dan berbicara kepada Anda dan semua orang Amerika. Terhadap semua skenario malapetaka dan kesuraman, Ukraina tidak jatuh. Ukraina hidup dan berkembang," ungkap Zelensky.

"Kami mengalahkan Rusia dalam pertempuran memperebutkan pikiran dunia," tambahnya.

Merujuk pada mantan Presiden AS Franklin D Roosevelt, yang menjabat antara tahun 1933 dan 1945, Zelensky mengingatkan pendengarnya tentang kesulitan yang dihadapi oleh pasukan AS yang berjuang untuk membebaskan Eropa dari pendudukan Nazi selama Perang Dunia II.

"Sama seperti tentara Amerika yang pemberani, yang mempertahankan barisan mereka dan melawan pasukan Hitler selama Natal tahun 1944, tentara Ukraina yang pemberani melakukan hal yang sama kepada pasukan Putin pada Natal ini," ucap Zelensky.

Dalam perjalanan pertamanya ke luar Ukraina sejak perang dimulai pada Februari, Zelensky mengatakan kunjungan ke AS menunjukkan bahwa situasi bisa terkendali, karena dukungan negara tersebut.

Ditekan tentang bagaimana Ukraina akan mencoba untuk mengakhiri konflik, Zelensky menolak kerangka Biden tentang perdamaian yang adil.

"Bagi saya sebagai presiden, `perdamaian yang adil` bukanlah kompromi," tegas Zelensky.

Dia mengatakan perang akan berakhir setelah kedaulatan, kebebasan, dan integritas teritorial Ukraina dipulihkan dan menerima pembayaran kembali untuk semua kerusakan yang ditimbulkan oleh agresi Rusia.

"Tidak mungkin ada `kedamaian yang adil` dalam perang yang dipaksakan pada kami," tambahnya.

Rusia Susun Strategi Putus Bantuan Negara Barat

Pemerintah Rusia mengakui saat ini Ukraina mendapat bantuan senjata yang semakin canggih dari negara-negara barat.

Menanggapi bantuan-bantuan tersebut, kini pasukan militer Rusia menyusun strategi untuk memutus jalur pasokan bantuan negara barat ke Ukraina.

Dikutip dari aljazeera, hal ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dalam sebuah acara televisi, Rabu (28/12/2022).

"Kami amati, Ukraina kini menerima senjata barat yang semakin baik dan bagus," ujar Lavrov.

Lavrov mengatakan, para ahli di militer telah mengusulkan untuk menyerang jalur atau rute bantuan senjata negara barat ke Ukraina.

Lavrov berharap bantuan senjata dari negara barat ke Ukraina dapat dihentikan.

Satu dari beberapa taktik yang telah dilakukan oleh Rusia di antaranya adalahmerusak infrastruktur Ukraina seperti fasilitas sumber energi.

Lavrov menekankan, Rusia akan berhasil mencapai tujuannya karena rasa sabar dan gigih yang dimiliki.

Lavrov juga menyampaikan, Rusia tidak terburu-buru untuk mencapai tujuannya di medan perang.

"Kami orang yang sabar. Kami akan melindungi rekan-rekan kami, masyarakat dan lahan yang telah dimiliki oleh Rusia sejak berabad-abad yang lalu," kata dia.

Dalam acara televisi tersebut, Lavrov juga menekankan bahwa Rusia ingin membebaskan Donetsk, Luhansk, Kherson dan Zaporizhia dari pengaruh Nazi Ukraina.

Sudah 10 bulan berlalu konflik antara Ukraina dan Rusia berlangsung sejak 24 Februari 2022.

Pada konflik yang berlangsung hampir satu tahun ini, total ada 6.884 warga sipil yang tewas dalam konflik.

Dikutip dari aljazeera, data ini disampaikan oleh Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia dari Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).


Sejak 24 Februari 2022 hingga 26 Desember 2022, total ada 17.831 warga sipil menjadi korban perang.

Berikut detail dari 6.884 warga sipil yang tewas dalam konflik:

- 2.719 pria

- 1.832 wanita

- 391 remaja

- 38 anak-anak

- 1.904 mayat orang dewasa tak teridentifikasi

Korban jiwa dan luka-luka paling banyak berasal dari daerah Donetsk dan Luhansk.

Meskipun angka tersebut sudah tergolong tinggi, PBB menyatakan besar kemungkinan jumlah korban jiwa di lapangan jauh lebih banyak karena adanya jeda dalam laporan dari lapangan.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar