Menelisik Rencana Merger PP dan WIKA di Tengah Krisis Keuangan

Sabtu, 04/05/2024 18:49 WIB
Logo PT PP (Persero). (ANTARA/Ahmad Wijaya).

Logo PT PP (Persero). (ANTARA/Ahmad Wijaya).

Jakarta, law-justice.co - Neraca keuangan BUMN PT Pembangunan Perumahan (PP) dan PT Wijaya Karya (WIKA) sedang tidak baik-baik saja. Sehingga Kementerian BUMN mengakalinya dengan rencana merger dua perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang konstruksi tersebut. Namun, rencana merger ini bukan tanpa celah, jika merujuk catatan kinerja pembangunan proyek dua perusahaan itu. Ditambah, masalah utang yang tak sebanding dengan aset dinilai berpotensi mengakibatkan merger tidak sesuai ekspektasi, alih-alih menstabilkan keuangan perusahaan.

Merujuk catatan keuangan Wijaya Karya pada kuartal pertama 2023 saja, total utang mencapai Rp55,8 triliun. Jumlah utang ini cuma selisih tipis dari total liabilitas korporasi pada tahun 2022, yakni Rp57,57 triliun. Bukan hanya itu, jumlah utang WIKA pada tiga bulan pertama 2023 juga telah mencapai 76,7% dari total asetnya yang sebesar Rp72,7 triliun. Tak jauh berbeda, total utang PT PP per 31 Maret 2023 adalah sebesar Rp43,81 triliun, setara 74,7% dari total asetnya yang berjumlah Rp58,7 triliun.

Sekretaris Perusahaan PP, Bakhtiyar Efendi, menuturkan bahwa perkembangan proses merger masih berkutat pada perhitungan kinerja keuangan dan utang masing-masing perusahaan. Sebab, katanya, merger diupayakan untuk mengonsolidasikan kinerja keuangan dan utang kedua perusahaan yang kini dalam fase sulit. “Kami masih menunggu proses audit sebelum akhirnya diserahkan ke Kementerian BUMN untuk dipertimbangkan kembali terkait rencana merger ini,” kata dia kepada Law-justice, Kamis (2/5/2024).

Meski begitu, Bakhtiyar tak sepenuhnya meyakini merger dapat direalisasikan dalam waktu dekat jika melihat realitas keuangan perusahaan dan dinamika bisnis konstruksi saat ini. Yang jelas, katanya, merger WIKA dan PP diproyeksikan untuk menggarap proyek pembangunan bandara dan pelabuhan. “Masih butuh waktu yang tidak sebentar ya meski rencana ini (merger) sudah digodok sejak tahun lalu (2023). Butuh perencanaan dan perhitungan yang matang dalam soal kesanggupan keuangan perusahaan,” katanya.

Berdasarkan laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), ditemukan sejumlah proyek yang digarap Wijaya Karya yang tidak efisien pembangunanya. Sehingga dampanya membebani keuangan perusahaan. Dimulai dari proyek WIKA yang terlibat pembangnan pabrik feronikel di Halmahera Timur yang dimiliki BUMN PT Aneka Tambang (Antam) pada 2016 lalu. Ada sejumlah penyesuaian yang dilakukan Antam sehingga memengaruhi durasi pengerjaan proyek. Penyesuaian ini dilandasi dari belum matangnya perencanaan yang digarap WIKA.

Dampaknya, WIKA berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp1.493.490.829.247 dari total klaim pembangunan proyek yang mereka ajukan ke Antam. Seperti pada pengerjaan pembangkit listrik di lingkungan pabrik Antam pada 2019 lalu yang ditaksir potensi kerugiannya sebesar Rp364.371.022.034.

“Kondisi tersebut disebabkan (karena) Kepala Divisi Industrial Plant (dari WIKA) belum optimal dalam melakukan pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan proyek. Dan Manajer Proyek (dari WIKA) belum melakukan koordinasi secara optimal dengan pihak Antam,” petik laporan BPK.

Proyek lain yang dianggap BPK membenani keuangan perusahaan adalah saat WIKA melaksanakan proyek pengembangan Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan yang dimiliki oleh PT Angkasa Pura I. Dengan lingkup pekerjaan di tiga sisi bandara, nilai kontrak proyek yang digarap pada 2019 lalu ini senilai Rp2.666.418.700.000. Terdapat sejumlah perubahan adendum proyek yang diinisiasi oleh Angkasa Pura berdasarkan kinerja WIKA dan efek akibat situasi pandemi Covid-19 saat itu. Sehingga terjadi penyesuaian dalam nilai pengerjaan dan durasi pengerjaan proyek.

Akibatnya, auditor negara mengemukakan bahwa WIKA berpotensi kehilangan pendapatan atas biaya yang telah dikeluarkan sebesar Rp433.278.367.840 dan menanggung beban bunga senilai Rp17.883.356.563. Menurut BPK, penyesuaian adendum bisa diantisipasi oleh pihak WIKA dengan melakukan koordinasi dengan Angkasa Pura dan pengawasan proyek secara menyeluruh. Tetapi, hal itu tak dilakukan.

“Kondisi tersebut (potensi kehilangan pendapatan) karena Kepala Divisi Bangunan Gedung (WIKA) kurang optimal dalam mengawasi pelaksanaan administrasi dan proyek pada unitnya.Dan Manajer Manajemen Kontrak Divisi Bangunan Gedung tidak segera meminta perubahan dokumen kontrak sebelum penandatanganan. Manajer Proyek tidak segera menyelesaikan kelengkapan administrasi untuk pengajuan amandemen nilai pekerjaan yang mencakup pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di lapangan namun belum tercantum dalam kontrak awal,” petik laporan BPK.

Auditor negara juga mengungkap adanya pengerjaan proyek oleh WIKA yang berujung sia-sia dan membebani keuangan perusahaan saat pembangunan Bendungan Sukamahi pada 2016. Proyek ini didapat WIKA dari Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dengan total tender sebesar Rp436.973.215.000. Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat pembengkakan biaya proyek yang mesti ditanggung WIKA. Pembengkakan dikarenakan ada perencanaan proyek dari WIKA yang tidak memperhitungkan beban biaya saat penggalian tanah dan batu. Akibatnya, perusahaan harus mengeluarkan pengeluaran lebih besar mencapai Rp43.631.319.151.

Proyek yang tidak efisien dan membebani keuangan perusahaan tidak hanya terjadi dalam pembangunan infrastruktur, tetapi juga saat menggarap proyek kendaraan listrik. WIKA melalui anak usahanya yakni PT Wijaya Karya Industri dan Konstruksi (WIKON) pada 2015 melakukan kerja sama untuk membangun kendaraan motor listrik lokal pertama di Indonesia yang saat itu bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh November. Bahkan, saat itu, WIKON membentuk perusahaan lagi untuk mengkhususkan proyek kendaraan listrik ini, yakni melalui PT WIKA Industri Manufaktur (WIMA).

Akan tetapi, proyek miliaran rupiah ini tidak jelas hasil bisnisnya bagi WIKA. Sebab, BPK menemukan adanya realisasi pembayaran atas penggantian biaya pra operasi sebesar Rp3.454.848.269 yang tidak dapat diyakini validitasnya. Sehingga menimbulkan tanda tanya kemana biaya operasional yang selama proyek dikeluarkan WIKA. Menurut BPK, ada sejumlah kejanggalan dalam catatan keuangan proyek kendaraan listrik ini, baik internal WIKA maupun pihak ITS. “Direksi PT WIMA kurang cermat dalam melakukan pengawasan dan evaluasi atas kinerja unit kerja di bawahnya dan Manajer Biro Keuangan PT WIMA tidak cermat dalam melakukan verifikasi terhadap laporan dari KAP terkait biaya pra operasi,” petik laporan BPK.

Dugaan penyimpangan dengan pihak swasta, juga ditemukan BPK saat WIKA menggarap pengerjaan pemadatan tanah di pabrik beton yang berada di Majalengka, Jawa Barat pada periode 2019-2021. Melalui anak perusahaannya (WIKA Beton), BPK menemukan ada biaya pengerjaan senilai Rp16.775.272.985 yang tidak dapat diukur keakuratannya. Sehingga, lagi-lagi akuntabilitas biaya proyek yang dikeluarkan oleh WIKA dipertanyakan.

Beralih ke temuan penyimpangan WIKA dalam hal investasi. BPK menemukan adanya kesalahan investasi WIKA yang akibatnya perusahaan menanggung biaya beban bunga atas pinjaman sebesar Rp58.835.000.000. Beban utang ini akibat investasi bisnis WIKA di hotel BUMN pada periode 2020-2021. Saat itu, Kementerian BUMN sedang gencar-gencarnya mengekspandi bisnis hotel yang dimiliki sejumlah BUMN. Melalui anak usahanya, yakni WIKA Realty, sejumlah hotel BUMN diakuisisi sahamnya. Akan tetapi, BPK mengungkap proses akuisisi saham itu tidak dilakukan dengan perencanaan keuangan yang matang. Sebab, WIKA Realty sebenarnya tidak memiliki kesiapan dana untuk terlibat dalam akusisi saham. Uang yang didapat untuk akuisisi saham berasal dari induk perusahaan yang sumbernya dari utang pula.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, tidak yakin merger PP dan WIKA ini bakal menyehatkan keuangan kedua perusahaan. Dia merujuk pada capaian kinerja pembangunan proyek yang selama ini tidak optimal sehingga dalam perkembangannya justru membebani keuangan perusahaan. “Persoalannya infrastruktur yang dibangun itu tidak direncanakan dengan baik sehingga masih ada infrastruktur yang tidak bisa digunakan dan juga belum ada manfaatnya bagi publik. Dan juga infrastruktur ada yang gampang rusak, akibatnya biaya operasional dan perawatannya naik tinggi,” kata dia kepada Law-justice, Kamis.

Agus menunjuk salah satu proyek yang digarap PP seperti New Priok di Pelabuhan Tanjung Priok pada beberapa tahun lalu. Dari informasi yang dia dengar bahwa PP tak sanggung menanggung beban operasional proyek sehingga dialihkan ke WIKA. Namun, WIKA pun tak bisa banyak berbuat dalam menggarap proyek sehingga pembangunan dianggap tidak efisien.

Pembangunan jalan tol yang digarap WIKA pun tak lepas dari celah. Menurutnya, perencanaan pembangunan tidak dilakukan dengan baik sehingga daya tahan jalan tol yang sebenarnya bisa kokoh sampai puluhan tahun, tapi terhitung 2-3 tahun sudah kelihatan kerusakan. Juga, katanya, pembangunan proyek tidak diawasi secara ketat sehingga membuka ruang penyimpangan.

Kata Agus, proyeksi merger WIKA dan PP untuk menggarap proyek pelabuhan dan bandara bakal berujung tidak jelas. Sebab, banyak pelabuhan dan bandara yang pada akhirnya tidak mendatangkan keuntungan bagi perekonomian negara setelah dibangun BUMN. “Bikin pelabuhan enggak dipakai. Bikin bandara juga asal bikin, enggak melihat apakah kemungkinan ada potensi bisnis. Orang yang biasanya naik bis dan travel di sana, sekarang malah disuruh naik pesawat. Itu kan cost percuma BUMN yang bangun bandara. Lalu pemerintah beri bantuan, tapi kan enggak pernah cukup, karena cost of maintanancenya tinggi,” katanya.

Menurutnya, kinerja keuangan PP dan WIKA saat ini tak sanggup lagi menerima penugasan proyek dari negara semacam PSN. Dia lantas mempertanyakan arah merger ini. “Sudah sekarat keuangannya. WIKA sudah tidak bisa bayar utang. PP juga akan menyusul. Nah sekarang di merger, tapi saya ragu. Karena dua-duanya terpuruk,” katanya.

Dia mewanti-wanti Kementerian BUMN untuk memperhitungkan betul rencana merger PP dan WIKA. Merger bukan perkara mudah yang bisa selesai dalam waktu cepat karena beberapa BUMN seperti Pelindo dan Pertamina yang sudah lebih dulu di-mergerkan, toh tidak terbukti signifikan menstabilkan keuangan perusahaan. “(Harus) dilihat betul risiko merger ini. Jangan-jangan setelah di-merger, dua-duanya ambruk. Jadi belum tentu jadi lebih baik setelah merger,” ujarnya.

Menyinggung soal PSN kembali, Agus bilang pemberian PSN kepada pihak swasta seperti di IKN maupun PIK dan BSD menunjukkan ada masalah keuangan BUMN termasuk WIKA dan PP yang tidak mengeluarkan biaya proyek tinggi. Adapun sejumlah taipan dikabarkan tertarik menggarap PSN. Di IKN, setidaknya ada dua perusahaan besar yakni Agung Sedayu Grup dan Sinar Mas Grup untuk pembangunan properti maupun infrastruktur. Teranyar, pemerintah memberi lampu hijau bagi dua perusahaan tersebut untuk menggarap proyek berbasis penguatan ekonomi di kawasan PIK dan BSD.

“Kenapa ada Sinar Mas dan Agung Sedayu di sana. Karena (orang) Sinar Mas kan menjadi wakil otorita IKN dan Aguan kemungkinan diiming-imingi bakal dapat proyek PSN. PSN itu kan untuk pembangunan infrastruktur yang berdampak bagi masyarakat dan perekonomian. Cuma masalahnya, kenapa swasta dikasih PSN, kan mereka bisa hidup dengan bisnisnya. Itu pekerjaan bodoh yang susah dimengerti,” kata dia.

Kasus hukum WIKA dan PP

Pada September 2023, Direktur Utama WIKA, Agung Budi Waskito sempat diperiksa Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus korupsi proyek tol Jakarta-Cikampek (Japek) II alias Tol layang MBZ yang terjadi pada periode 2016-2017. Dirut WIKA digali kesaksiannya untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara yang merugikan negara hingga Rp1,5 triliun tersebut.

Kata Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Kuntadi, pemeriksaan terhadap Agung Budi ini unntuk mendalami peranan WIKA dalam pembangunan tol MBZ. Sebab, WIKA termasuk dalam BUMN berentitas ‘karya’ yang menjadi pemenang tender proyek tol ini, yakni Waskita Karya. “Sampai saat ini kami belum bisa menyimpulkan keterlibatan aktif WIKA dalam pembangunan jalan tol,” kata Kuntadi kepada Law-justice, Kamis.

Adapun kasus ini sudah masuk ke pengadilan dengan mengadili empat terdakwa, yakni Direktur Operasional PT Bukaka Teknik Utama, Sofiah Balfas, eks Direktur Utama PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek (JJC) Djoko Dwijono, Ketua Panitia Lelang PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek (JJC) Yudhi Mahyudin, dan Staf Tenaga Ahli Jembatan PT LAPI Ganeshatama Consulting, Tony Budianto Sihite.

Dalam fakta persidangan, kuasa kerja sama operasi (KSO) Waskita Acset, Dono Partowo, yang berstatus saksi, mengatakan pemenang lelang pembangunan Tol Japek II itu sudah diatur sejak awal. Dono bilang bahwa proses administrasi pelelangan pengerjaan proyek pembangunan tol dilakukan, tetapi hanya sebagai formalitas. Dia mengatakan pemenang proyek pembangunan tol sudah diatur.

Sementara itu, pada Oktober 2023, Direktur Utama PP, Novel Arsyad sempat menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi kasus korupsi pembangunan Stadion Mandala Krida, Yogyakarta. KPK mengemukana bahwa PP itu ikut serta dalam proses lelang proyek stadion tersebut. Dari temuan penyidik, korupsi ini terkait kongkalikong penyedia dan pelaksana proyek dalam menentukan siapa pemenang tender.

Meski KPK belum menyimpulkan peranan PP dalam korupsi proyek ini, namun keterangan Novel Arsyad bisa menjadi pendukung dugaan adanya pengkondisian pemenang tender atas proyek yang menggunakan APBD Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun anggaran 2016/2017 ini.

Adapun tiga tersangka dalam kasus ini adalah Kepala Bidang Pendidikan Khusus Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Edy Wahyudi, Direktur Utama PT Arsigraphi Sugiharto, dan Direktur Utama PT Permata Nirwana Nusantara Heri Sukamto.

KPK menjelaskan kontruksi perkara bermula dari usul Balai Pemuda dan Olahraga Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi DIY pada tahun 2012 untuk merenovasi Stadion Mandala Krida. Usulan tersebut disetujui dan anggarannya dimasukkan alokasi anggaran BPO untuk program peningkatan sarana dan prasarana olahraga.

Eddy Wahyudi diduga secara sepihak menunjuk langsung PT Arsigraphi (AG) dengan tersangka Sugiharto selaku direktur utama yang menyusun tahapan perencanaan pengadaan. Dari hasil penyusunan anggaran pada tahap perencanaan yang disusun tersebut, diperlukan anggaran senilai Rp135 miliar untuk lima tahun. Komisi antirasuah menduga ada beberapa jenis pekerjaan yang nilainya digelembungkan dan langsung disetujui Eddy tanpa melakukan kajian terlebih dahulu. Ditaksir, kerugian keuangan negara bancakan sebesar Rp31,7 miliar.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menuturkan bahwa hingga saat ini penyidik masih mengumpulkan bukti tambahan. Tidak menutup kemungkinan bakal ada tersangka baru dalam kasus ini. Saat disinggung status Novel Arsyad, Asep tak bicara banyak. “Semua saksi yang diperiksa ada dua kemungkinan, tetap menjadi saksi yang mendukung penyidikan, atau berubah menjadi tersangka,” kata Asep kepada Law-justice, Kamis.

 

Catatan redaksi: Tulisan di atas merupakan bagian dari artikel bertajuk "Menguak Potensi Krisis Di Balik ‘Kawin Paksa’ PP-WIKA". Tulisan dimuat terpisah untuk penekanan konteks dan narasumber tertentu. 

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar