Cawe-cawe Alat Pemantau Gempa dan Tsunami BMKG

Menelisik Mafia Anggaran Perawatan & Pengadaan Pemantau Gempa

Sabtu, 07/01/2023 12:54 WIB
Hasil audit BPK terhadap lembaga BMKG soal pengadaan alat deteksi bencana gempa (Dok.BPK)

Hasil audit BPK terhadap lembaga BMKG soal pengadaan alat deteksi bencana gempa (Dok.BPK)

Jakarta, law-justice.co - Untuk mendeteksi bencana alam seperti Gempa Bumi, Tsunami, Banjir dan bencana lainnya tentu diperlukan alat untuk bisa mengetahui kondisi tersebut.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memiliki tugas untuk memasang peralatan tersebut di setiap lokasi yang rawan gempa.

Dalam melakukan pengadaan alat pendeteksi bencana alam, BMKG menggunakan barang tersebut dari luar negeri.

Bahkan beberapa kali, BMKG melakukan tender secara terbuka untuk melakukan pengadaan peralatan tersebut.

Kini yang menjadi sorotan adalah kerap kali tender yang dilakukan oleh BMKG tidak terlalu transparan.

Padahal, dalam melakukan pengadaan barang penunjang gempa bumi tersebut memerlukan anggaran yang tidak kecil.

Contoh dalam anggaran belanja barang Persediaan Pemeliharaan Peralatan dan Mesin Pemeliharaan Seismograf Indonesia II yang memakan anggaran hingga mencapai Rp20 Miliar lebih pada tahun 2022.

Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri di semester I tahun 2022, BPK telah menyelesaikan LHP DTT atas pengelolaan belanja pemerintah pusat terhadap 2 objek pemeriksaan yaitu pengadaan barang dan jasa pemerintah TA 2016-2021 pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa pengelolaan belanja pada BMKG tidak sesuai dengan kriteria. Terdapat kelebihan pembayaran atas kegiatan jasa pemeliharaan seismograph Indonesia I dan Indonesia III tahun 2021, antara lain pembayaran atas biaya jasa pemeliharaan tanpa memerhatikan jumlah kunjungan yang dilakukan penyedia, pembayaran management fee tidak berdasarkan perhitungan yang tepat, dan pembayaran atas kabel sensor yang tidak dilakukan penggantian.

Selain itu, terdapat penggantian kabel sensor yang tidak seharusnya dilakukan. Akibatnya, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp16,70 miliar dan pemborosan keuangan negara sebesar Rp3,59 miliar.

Terdapat pekerjaan utama pengadaan InaTEWS-Seismic Borehole yang dialihkan oleh penyedia jasa kepada pihak lain dan berindikasi pemahalan harga pada kontrak pekerjaan.

Pengadaan Alat Pemantau Tsunami Dinilai Tidak Transparan
Pengadaan tersebut memenangkan PT LEN untuk menjadi pemenang tender pengadaan barang bencana alam tersebut.

Diketahui PT Len sendiri tidak jarang untuk mendapatkan tender dari BMKG terkait alat pendeteksi bencana.

Law-Justice mencoba untuk menghubungi PT Len untuk dapat menanyakan lebih jauh terkait pengadaan tersebut.

Namun, hingga berita ini diturunkan PT LEN belum memberikan tanggapan terkait pengadaan tersebut.

Selain PT LEN, PT Anomali Lintas Cakrawala juga merupakan perusahaan yang biasanya menjadi pelaksana pengadaan barang untuk BMKG.

Tercatat menurut pantauan Law-Justice, Perusahaan tersebut pada tahun 2021 dan 2022 menjadi pelaksana program pengadaan barang untuk pemeliharaan peralatan bencana.

Dalam catatan LPSE ada beberapa perusahaan yang mengikuti lelang terbuka pengadaan alat Inatews bore hole seismic, ada beberapa perusahaan menjadi langganan pengadaan alat tersebut beserta perawatannya.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhan yang dihubungi Law-Justice.co menyebut belum mendapatkan informasi soal pengadaan alat pemantau bencana tersebut. Sehingga belum bisa memberikan penjelasan detil.

BMKG Ingin Alat Peringatan Dini Handal dan Akurat
Sementara itu, BMKG sendiri menyatakan menerapkan sistem e-catalog dalam pengadaan alat operasional utama (Aloptama).

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan bila penerapan sistem tersebut guna mencegah masuknya peralatan dan teknologi “abal-abal”.

Teknologi abal-abal bisa berakibat fatal terhadap upaya penguatan sistem peringatan dini bencana yang handal, cepat, tepat, dan akurat.

Dalam penerapan e-katalog ini, BMKG bekerjasama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kerja sama tersebut menjadi bagian dari peningkatan profesionalitas dan modernisasi pengadaan barang dan jasa di tubuh BMKG.

“Untuk mendapatkan peralatan BMKG yang handal tentu saja bukan proses yang mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan seperti perkembangan teknologi, kompatibilitas alat, kegunaan dan tentu saja mutu peralatan tersebut,” kata Dwikorita melalui keterangan yang diterima Law-Justice.

Dwikorita, menegaskan faktor-faktor tersebut dikaji dan ditelaah secara mendalam untuk memaksimalkan kebermanfaatan anggaran.

ia menyatakan bila BMKG mengedepankan value for money dalam pengadaan aloptama peralatan-peralatan BMKG.

Selain itu guna mendapatkan aloptama, BMKG yang berkualitas tidak hanya memerlukan kompetensi teknis.

Dwikorita menyebut perlu juga perubahan budaya, pola pikir dan integritas yang tinggi untuk melaksanakan proses pengadaan yang clean, clear and qualified.

BMKG sendiri telah menerapkan e-katalog sejak tahun 2019 dalam pengadaan penakar hujan observasi.

“Penggunaan sistem e-Katalog untuk mencegah kehadiran vendor dadakan yang ikut proses lelang atau tender pengadaan aloptama. BMKG tidak ingin pengadaan aloptama dilakukan oleh vendor yang tidak profesional, sehingga berdampak pada sistem peringatan dini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Dwikorita menjamin bila e-Katalog menjamin kepastian spesifikasi teknik akan barang/jasa yang dipesan dan harga yang ditawarkan juga seragam, menghemat biaya dan waktu karena seluruh proses pengadaan dijalankan secara online, dan juga meminimalisir praktik kecurangan.

Ia menyatakan minim terjadi penyelewengan dan korupsi karena seluruh transaksi bisa dilihat oleh siapapun dan bersifat transparan.

"Langkah ini bagian dari komitmen BMKG untuk menjaga republik, membangun sistem peringatan dini yang mumpuni, handal, cepat, tepat, dan akurat. Mengingat kondisi kekinian yang sangat unpredictable dan begitu dinamis,” ungkap Dwikorita.

Ketergantungan Teknologi Hibah Pasca Bencana
Minimnya pengetahuan dan ilmu mitigasi bencana pada pasca tsunami Aceh, membuat Indonesia harus membuka lebar pintu teknologi pemantauan bencana. Salah satunya adalah menerima hibat alat pemantau bencana tsunami Ina Tews dari Jerman.

Beberapa paket alat yang dihibah dari pemerintah Jerman ke Indonesia dinilai membuat biaya perawatannya menjadi mahal karena beberapa alat memiliki spesifikasi khusus dan harus didatangkan dari pabrikan produsen. Hal itulah yang membuat ada ketergantungan teknologi dari negara pemberi hibah.

Menurut Eko Teguh Paripurno, Ketua Pusat Studi Manajemen bencana UPN Veteran Yogyakarta mengatakan masalah ketergantungan teknologi ini bisa diatasi dengan munculnya teknologi baru yang lebih canggih dari negara-negara lain seperti China.

Untuk produk China sendiri, Indonesia mendapatkan bantuan dana dari World Bank untuk membantu situasi kebencanaan. Mulai dari awal pemantauan sampai mitigasi bencana. Sehingga BMKG dan BNPB serta BPBD dilibatkan.

Eko menjelaskan, bantuan peralatan dan teknologi yang digunakan pun berasal dari China, semuanya satu paket dari hulu ke hilir. Mulai dari alat pemantauan, hingga pemodelan simulasi bencana.

Namun karena banyaknya alat hibah dari Jerman yang sekarang masih digunakan untuk melakukan pemantauan tsunami membuat Indonesia melalui BMKG harus menggunakan alat yang sesuai dengan spesifikasi alat hibah yang diberikan sehingga penyesuaian ini membutuhkan biaya.

Di sisi lain, dalam pemberian hibah oleh negara-negara modern itu menurut dia membuat adanya ketergantungan pelayanan pasca bantuan bencana.

"Sebagian besar semua bantuan itu peta pemikiran agak panjangnya itu ketergantungan pelayanan pasca bantuan. Jadi ini saya bantu alat ya, nanti advisernya, bahan-bahan alatnya dari sana. Dulu lebih parah lagi. Pada jamannya, ketika Galunggung meletus dan alat pantau gunung api itu, datanya itu ke negara pemberi, kita dapatnya sudah dalam bentuk jadi.Raw Datanya kita tidak dapat. Itu langsung dikirim ke server ke negara produsen," jelasnya.

Walau pun kini beberapa lembaga penelitian seperti BRIN juga sudah mampu membuat alat pemantau gempa dan tsunami yang lebih canggih. Namun karena adanya kepentingan dagang, membuat hasil produk dari dalam negeri sulit untuk mendapat izin.

"Begitu juga sama dengan alat pantau lahar itu juga khusus produsen negara pemberi. Itu sekarang di BRIN juga sekarang sudah membuat. Jangan salah, kalau alat itu dibuat murah, tidak mudah izinnya keluar, Karena bisa jadi, lembaga lembaga itu juga berfungsi sebagai pedagang. Misanya alat pembaca covid dari UGM, karena mereka juga para pedagang. Sama lagi seperti program mobil nasional, itu ada celah kebijakan para pedagang sehingga tidak bisa berjalan, " ungkapnya.

Untuk itu dia meminta agar BUMN bisa menjadi tulang punggung dengan membuat alat pemantau gempa dan tsunami sehingga transfer pengetahuan lebih cepat dan lebih terbuka luas.

"Menempatkan bumn sebagai provider pengadaan, itu lebih baik dibanding swasta murni, kemungkinan untuk transfer pengetahuan itu mungkin," ujarnya.

Di sisi lain dia meminta agar keberadaan alat-alat pemantau gempa dan tsunami itu dicek, apakah alat itu masih berfungsi atau masih lengkap sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat di daerah rawan bencana.

" Bukan cuma relasi antara BMKG, kalau ada yang nyuri berarti pemerintah daerah belum lakukan sosialisasi di tempat yang kehilangan. TNI AL dan TNI AU yang menjaga juga belum efektif, saya bilang efektifnya bencana itu bukan hanya urusan satu dua tingkat. INA Tews itu yang masang bukan BMKG saja, ada lembaga lain," tegasnya.

DPR Kritisi Ketergantungan Teknologi
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi V DPR Ridwan Bae mengatakan bila kualitas pengadaan barang untuk bencana alam harus diperhatukan secara detail.

Salah Satunya adalah teknologi Tsunami Early Warning System (Ina-Tews) tidak boleh dianggap enteng, sebab ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Selain itu pengadaan juga harus dilakukan tepat dengan peraturan.

Ridwan menyatakan pengadaan alat tsunami early warning sistem (Ina-TEWS) di lembaga yang ditunjuk pemerintah seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) harus betul-betul sesuai aturan dan mengutamakan kualitas.

“Alat-alatnya harus berkualitas. Untuk itu, Komisi V menghimbau kepada BMKG melalui pemerintah. Bahkan, kita minta kepada bapak Presiden Jokowi agar betul-betul alat-alatnya agar up to date semua,” kata Ridwan kepada Law-Justice.

Dia menambahkan, pengadaan Inatews di BMKG sangat penting karena alat tersebut memiliki peranan penting dalam mitigasi bencana Tsunami.

Salah satu komponen penting dalam Inatews khususnya Central Hub. Central Hub merupakan salah satu rangkaian dari sistem teknologi untuk mengetahui magnitudo gempa bumi yang berkaitan dengan Tsunami.

"Jadi BMKG ini jangan sampai melanggar aturan," ucapnya.

Politisi Golkar ini menyatakan bila kehadiran Ina-Tews sangat membantu masyarakat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar meminimalisir dampak yang tidak diinginkan.

“BMKG dan Komisi V sudah bekerja maksimal untuk mengambil langkah-langkah sehingga bisa meminimalisir terjadinya gempa dan tsunami. Paling tidak bisa mendeteksi lebih awal," ungkapnya.

Selain itu, Ridwan mendorong kepada BMKG untuk meningkatkan capaian serapan anggaran pada APBN TA 2022.

Ia menyatakan bila capaian anggaran BMKG per Agustus 2022 pada program dukungan manajemen dan realisasi keuangan baru mencapai 54,96 % dan realisasi fisik mencapai 64,41 %

"Saat itu kami minta peningkatan capaian serapan APBN TA 2022 sesuai saran dan masukan Komisi V DPR RI," ungkapnya.

"Peralatan dan instrumen kalibrasi bencana BMKG termasuk early warning system sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana sejak dini, juga perlu ditingkatkan dan dioptimalkan," demikian sambungnya.

Ridwan menyatakan terkait RAPBN 2023, Komisi V DPR RI memahami penjelasan Sestama BMKG mengenai Rencana Kerja dan Anggaran masing-masing Program dalam RAPBN Tahun Anggaran 2023.

Pagu Kebutuhan TA 2023 BMKG sebesar Rp3.398.284.000; sementara Nota Keuangan RAPBN TA 2023 sebesar Rp3.010.572.747 miliar.

Laporan BPK Soal BMKG dan INATEWS
PADA semester I tahun 2022, BPK telah menyelesaikan LHP DTT atas pengelolaan belanja pemerintah pusat terhadap 2 objek pemeriksaan yaitu pengadaan barang dan jasa pemerintah TA 2016-2021 pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa pengelolaan belanja pada BMKG tidak sesuai dengan kriteria. Terdapat kelebihan pembayaran atas kegiatan jasa pemeliharaan seismograph Indonesia I dan Indonesia III tahun 2021, antara lain pembayaran atas biaya jasa pemeliharaan tanpa memerhatikan jumlah
kunjungan yang dilakukan penyedia, pembayaran management fee tidak berdasarkan perhitungan yang tepat, dan pembayaran atas kabel sensor yang tidak dilakukan penggantian.

Selain itu, terdapat penggantian kabel sensor yang tidak seharusnya dilakukan. Akibatnya, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp16,70 miliar dan pemborosan keuangan negara sebesar Rp3,59 miliar.

Terdapat pekerjaan utama pengadaan InaTEWS-Seismic Borehole yang dialihkan oleh penyedia jasa kepada pihak lain dan berindikasi pemahalan harga pada kontrak pekerjaan. Selain itu, pembelian aloptama (seismograph) (ABT) oleh penyedia tidak melalui distributor resmi, sehingga terdapat selisih harga yang dibayarkan BMKG kepada penyedia.
Akibatnya, terdapat indikasi kerugian atas pemahalan harga sebesar Rp3,30 miliar.

Mengenai hal ini BPK merekomendasikan kepada Kepala BMKG agar memerintahkan Sekretaris Utama untuk menginstruksikan PPK terkait untuk mempertanggungjawabkan indikasi kerugian negara yang berasal dari pemahalan harga dengan menyetor ke kas negara, serta memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada PPK yang tidak cermat dalam menyusun
harga perkiraan sendiri (HPS).

Kontribusi : Yudi Rachman, Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar