Sejumlah Media Asing Soroti Perppu Ciptaker Jokowi Gugurkan Putusan MK

Jum'at, 30/12/2022 22:01 WIB
Presiden Joko Widodo (voanews.com)

Presiden Joko Widodo (voanews.com)

Jakarta, law-justice.co - Sejumlah media massa asing memberik sorotan khusus terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) yang diterbitkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) hari ini, Jumat (30/12).

Salah satu dalih yang digunakan pemerintahan Jokowi untuk menerbitkan Perppu itu--alih-alih merevisi seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) setahun lalu--adalah kondisi dunia karena perang Rusia-Ukraina.

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan penerbitan Perppu itu menggugurkan inkonstitusionalitas bersyarat UU Ciptaker yang diputuskan MK setahun lalu.

Media massa di luar Indonesia menyoroti penerbitan aturan tersebut dengan menggarisbawahi komentar beberapa pakar hukum yang mengatakan aturan itu merupakan upaya pemerintah untuk melewati pembahasan di parlemen terkait UU Ciptaker.

Media massa asal Singapura, The Straits Times, misalnya yang menulis pernyataan pakar hukum tata negara dari STHI Jentera, Bivitri Susanti terkait penerbitan Perppu Ciptaker. Dalam artikel itu, Bivitri mengkritik langkah Jokowi sebagai sesuatu yang "konyol" dan "tidak pantas".

Media asal Singapura lainnya, The Business Times, juga menggarisbawahi persoalan serupa. The Business Times mempersoalkan aturan baru ini yang disebut sebagai upaya menggugurkan putusan MK Indonesia. MK sebelumnya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Masih dari negeri jiran, media massa di Malaysia seperti The Star pun turut menyorot persoalan yang menggelayut di balik penerbitan Perppu Ciptaker oleh Jokowi.

Seperti The Business Times, The Star juga menekankan UU Ciptaker yang sebelumnya ditetapkan inkonstitusional bersyarat karena tak melibatkan publik namun kini digugurkan Perppu Jokowi.

The Star mewartakan MK setahun lalu memberikan waktu kepada DPR dan pemerintah Indonesia untuk membahas kembali proses perbaikan UU Ciptaker selama dua tahun sejak putusan dibacakan. Jika tidak dilakukan selama kurun waktu itu, UU Ciptaker akan dianggap inkonstitusional dan tak berlaku.

Dalam artikel tersebut, The Star juga menuliskan beberapa aturan ketenagakerjaan Indonesia yang dianggap masih memicu polemik seperti perubahan aturan upah minimum, aturan soal karyawan kontrak dan alih daya, hingga pesangon.

Kantor berita Reuters yang berbasis di London, Inggris, juga memberitakan perihal penerbitan Perppu Ciptaker yang implikasinya membatalkan putusan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.

Reuters menyoroti kritik dari sejumlah pakar hukum yang menilai langkah Jokowi itu sebagai `taktik` untuk mengabaikan jalan panjang revisi undang-undang yang harus melewati rapat bersama DPR hingga disahkan dalam paripurna.

Kantor berita itu pun memberitakan perihal pembentukan UU Ciptaker atau omnibus law yang dalam pembentukannya hingga disahkan pada 2020 silam mengundang aksi protes besar di Indonesia dari kalangan buruh, mahasiswa, aktivis HAM dan lingkungan, serta praktisi hukum.

Kantor berita itu pun menyorot dalih pemerintah terkait penerbitan Perppu itu dengan dalih ancaman global.

"Menko Perekonomian Jokowi, Airlangga Hartarto mengatakan pertimbangan utama dalam mengeluarkan aturan darurat itu adalah risiko resesi global pada 2023, konflik di Ukraina, potensi krisis pangan, energi dan moneter global, serta perubahan iklim," demikian ditulis Reuters.

Presiden Jokowi sebelumnya resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Hal itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Airlangga mengatakan alasan Jokowi menerbitkan Perppu lantaran ancaman resesi global hingga stagflasi yang menghantui Indonesia.

Dia juga mengatakan Perppu diterbitkan untuk memberikan kepastian bagi investor baik dalam negeri maupun luar negeri.

"Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait ekonomi kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (30/12).

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar