RKUHP Disahkan Jadi Undang-undang, Indonesia Disebut Mirip China

Kamis, 08/12/2022 10:58 WIB
Sejumlah mahasiswa mendatangi Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6) untuk melakukan aksi demontrasi menuntut draf  Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dibuka. Mereka membentangkan spanduk besar menandakan Gedung DPR RI disita hingga ada perbaikan reformasi. Mahasiswa menuntut pemerintah dan DPR untuk membuka draft RKUHP ke publik dan hapus pasal-pasal yang bermasalah. Robinsar Nainggolan

Sejumlah mahasiswa mendatangi Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6) untuk melakukan aksi demontrasi menuntut draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dibuka. Mereka membentangkan spanduk besar menandakan Gedung DPR RI disita hingga ada perbaikan reformasi. Mahasiswa menuntut pemerintah dan DPR untuk membuka draft RKUHP ke publik dan hapus pasal-pasal yang bermasalah. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Kunto Adi Wibowo menganggap bahwa Indonesia saat ini seperti pemerintahan Tiongkok (China).

Hal itu disampaikan sebagai respons atas disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang.

Dia menilai hal itu membuat ruang kritik publik yang kian terbatas.

Adi menjelaskan strategi otoriter Cina yang sama dalam ruang publik digital di Indonesia.

Menurut dia, masyarakat Indonesia seakan-akan dikasih ruang untuk memberikan kritik. Namun, kritik yang dilayangkan menurutnya hanya tertuju pada kebijakan yang tidak berada di pemerintahan sentral.

"Kita seakan-akan dikasih ruang untuk mengkritik di kebijakan-kebijakan pinggiran, tingkat Komodo, tingkat Borobudur dan kita merayakan itu sebagai keberhasilan ruang sipil atau gerakan sipil atau apa pun itu," kata Adi dalam Diskusi Publik: Penyempitan Ruang Sipil dan Upaya Membangun Partisipasi yang Bermakna di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/12)

Adi juga menjelaskan Tiongkok menjadi objek studi bagaimana pemerintah otoriter mengatur media sosial dan perbincangan digital.

"Di Tiongkok Anda boleh mengkritik pemerintah, tetapi pemerintah lokal. Jangan pemerintah komunis Cina. Kalau Anda mengkritik pemerintah pusat, selesai hilang besoknya," jelas Adi.

Dia juga menyebutkan warga negera boleh mengkritik, tetapi tidak boleh mengajak atau memobilisasi demonstrasi.

"Kita melihat ada strategi otoriter yang sama dalam ruang publik digital di Indonesia," jelasnya.

Dia juga menyebutkan demo Reformasi Dikorupsi 2019 lalu menjadi contoh nyata ruang kritik publik yang kian dibatasi.

"Dan ini menunjukkan bagaimana kecenderungan pemerintah atau penguasa hari ini untuk menyusutkan ruang sipil dan membuat apa yang kita lakukan di ruang sipil dalam bentuk partisipasi-partisipasi digital, clicktivism, atau yang tidak terlalu beresiko menjadi sangat tidak bermakna lagi," pungkas Adi.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar