Dr. Tauhid Nur Azhar, SKed, MKes, BoH Neuronesia Community

Refleksi soal Gempa, Mari Kita Sinergikan Potensi Berbasis Teknologi

Rabu, 23/11/2022 05:44 WIB
Ilustrasi Gempa. (UGM).

Ilustrasi Gempa. (UGM).

Jakarta, law-justice.co - Musibah yang menimpa saudara-saudara kita di kabupaten Cianjur pada tanggal 21 November 2022 telah mengguncang rasa kemanusiaan kita semua.

Lewat tengah hari gempa tektonik yang berepisentrum di koordinat 107,05 BT dan 6,84 LS, dengan jarak sekitar 9,65 km barat daya dari kota Cianjur atau 16,8 km timur laut kota Sukabumi, dengan magnitudo M5,6 pada kedalaman 10 km, mengguncang wilayah dalam radius terdampak, hingga menimbulkan kerusakan infrastruktur yang diikuti dengan timbulnya korban jiwa dan korban cedera.

Semoga saudara-saudara kita yang terdampak disana dikaruniai kekuatan, kesabaran, dan keikhlasan di dalam menghadapi ujian berat yang tengah dijalani.

Dan semoga kita semua dapat turut serta berpartisipasi aktif, peduli, dan tergerak untuk menolong saudara-saudara kita di sana, melalui berbagai cara sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita.

Manusia dan alam memang memiliki hubungan simbiotik yang unik. Alam menjadi sumber hidup, habitat, ekosistem, dan bahkan dalam berbagai pendekatan digambarkan bahwa spesies manusia sendiri adalah bagian dari proses penciptaan alam yang berkesinambungan.

Untuk mengoptimasi kualitas hidupnya, manusia yang dikaruniai otak dan kecerdasan prokreasi terus mengembangkan berbagai pola adaptasi yang tumbuh menjadi sistem kearifan yang bijak hingga hubungan antara alam dengan populasi manusia dapat setimbang dan memberikan efek mutualistik optimal.

Keterampilan manajemen khalifah inilah yang antara lain dibutuhkan dalam mengelola data dan hikmah dari suatu peristiwa bencana kemanusiaan bersumber dari fenomena alam.

Karena di dalam fenomena yang memantik terjadinya bencana kemanusiaan tersebut tentulah terdapat serangkaian tanda yang dapat dikelola, diolah, dan dijadikan pelajaran untuk meningkatkan kapasitas adaptif peradaban manusia dalam hubungan dinamisnya dengan alam atau bahkan kesemestaan.

Gempa Cianjur, sebagaimana tsunami Aceh, letusan gunung Toba Purba dan Tambora, juga Vesuvius di Italia sana, pada hakikatnya adalah mekanisme alam yang memiliki algoritma sesuai dengan fungsi-fungsi yang telah direncanakan dan melekat pada setiap elemen yang eksis di semesta.

Sementara jika mengacu kepada definisi badan pengelola dampak bencana, dalam hal ini BNPB, maka gempa bumi dijelaskan dalam Peraturan Kepala BNPB
No. 8 tahun 2011 tentang Standarisasi Data Kebencanaan adalah adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, akitivitas gunungapi atau runtuhan batuan.

Sedangkan dari aspek sejarah kebumian yang dipelajari dalam disiplin ilmu geologi, bumi dengan pulau serta benua yang ada di atasnya adalah bagian dari dinamika kerak bumi yang terus aktif bergerak.

Sebagai contoh pulau Jawa yang kita tempati ini, tercipta karena adanya tumbukan lempeng eurasia dengan indoaustralia. Prosesnya dapat dilihat pada singkapan batuan formasi Melange seperti yang ada di Taman Bumi Ciletuh.

Kembali pada gempa Cianjur yang baru saja terjadi, menurut bebrspa ahli yang berkompeten, baik dari BMKG ataupun PVMBG Badan Geologi, dan juga beberapa akademisi, diduga kuat bersumber dari sesar aktif Cimandiri.

Beberapa sesar di Jawa Barat sendiri sudah terpetakan dalam peta geologi, seperti sesar Baribis, Cimandiri, Cipamingkis, Garsela, Citanduy, juga Lembang.

Dimana sesar Lembang yang telah diteliti sejak era kolonial oleh Van Bemmelen, diduga memiliki panjang sekitar 29 km yang membentang dari titik nol dekat jalan tol Cipularang sampai ke daerah Batu Lonceng.

Percepatan geser tahunannya ada yang menyebutkan 0,2 sampai dengan 2,5 milimeter pertahun, dan adajuga yang menyebutkan 3 sampai dengan 5,5 milimeter pertahun. (Daryono MR, 2015).

Sebagaimana teori tentang sesar pada umumnya, setiap sesar memiliki beberapa segmen. Dan jika segmen itu bergerak serentak maka magnitudo gempa yang ditimbulkan tentu akan lebih besar.

Dalam kasus gempa Cianjur, kuat dugaan bahwa pergeseran sesar Cimandiri lah yang menjadi pemicunya.

Dalam salah satu artikel di Prosiding Geoteknologi LIPI yang berjudul Deformasi Kerak Bumi Segmen-Segmen Sesar Cimandiri karya Eddy Zulkarnaini Gaffar, sesar Cimandiri dijelaskan terbagi atas beberapa segmen mulai dari Pelabuhan Ratu sampai Padalarang. Segmen-segmen sesar Cimandiri tersebut antara lain adalah:

1. Cimandiri Pelabuhan Ratu-Citarik
2. Citarik­ Cadasmalang
3. Ciceureum-Cirampo
4. Cirampo-Pangleseran
5. Pangleseran-Cibeber
6. Beberapa segmen Cibeber sampai Padalarang
7. Segmen Padalarang­-Tangkuban Perahu.

Sesar Cimandiri sendiri merupakan sesar paling tua ( telah terbentuk sejak jaman Kapur), membentang mulai dari Teluk Pelabuhanratu trersambung ke timur melalui Lembah Cimandiri,Cipatat-Rajamandala, gunung Tangkubanprahu-Burangrang dan diduga menerus ke timur laut menuju Subang.

Secara keseluruhan, jalur sesar ini berarah timurlaut-baratdaya dengan jenis sesar mendatar hingga oblique (miring). Martodjojo dan Pulunggono (1986) mengkategorikan sesar ini sebagai representasi pola kelompok Meratus.

Sesar Cimandiri di segmen Cipatat, menyebabkan batuan dari Formasi Citarum dan Formasi Rajamandala terlipat kuat sehingga bidang perlapisan batuan di kedua formasi tersebut umumnya di atas 50º.

Di sungai Cibogo, Rajamandala, kemiringan bidang lapisan batuan ada yang mencapai 80º hingga 90º bahkan di beberapa segmen telah mengalami pembalikan. (Haryanto I, 2006).

Menurut Kepala PVMBG, Hendra Gunawan, wilayah di sekitar episentrum gempa Cianjur secara umum tersusun oleh endapan kuarter berupa batuan rombakan gunung api muda (breksi gunung api, lava, tuff) dan aluvial sungai.

Endapan Kuarter tersebut pada umumnya bersifat lunak, lepas, belum kompak (unconsolidated) dan memperkuat efek guncangan, sehingga rawan gempa bumi.

Semoga mobilisasi bantuan dan alokasi berbagai sumber daya yang diperlukan dapat segera didistribusikan ke daerah terdampak yang membutuhkan.

Disamping itu tentulah berbagai kejadian yang berhubungan dengan alam ini semestinya mendorong kita untuk terus belajar dan mengembangkan teknologi untuk beradaptasi bukan ?

Salah satu aspek yang amat kita butuhkan saat ini adalah sistem mitigasi cerdas dalam konteks disaster risk reduction, dan juga sistem pengelolaan kebencanaan terpadu yang dapat dikembangkan dari sistem eksisting seperti SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu).

Penerapan AI dalam ranah mitigasi dan alokasi sumber daya penanggulangan bencana adalah suatu keniscayaan. Bahkan dalam salah satu publikasi WMO (World Meteorological Organization) dijelaskan bahwa machine learning atau ML bisa dioptimasi dalam membantu proses kalkulasi dan prediksi resiko bencana.

ML, which is a subset of AI that includes supervised (e.g., random forest or decision trees), unsupervised (e.g., K-means) or reinforcement (e.g., Markov decision process) learning, can be simplified as parsing data into algorithms that learn from data to make classifications or predictions. Kuglitsch, et al, 2022.

Dalam konteks mitigasi cerdas, keberadaan data multi sumber seperti peta intensitas gempa bumi, peta percepatan gempa bumi, peta geologi, peta penggunaan lahan, peta kemiringan lereng, peta kepadatan penduduk, peta jenis tanah, sampai data citra penginderaan jauh, sensor GPS, tilt meter di gunung api, buoy tsunami seperti yang telah dikembangkan oleh BPPT dalam sistem INATews, juga data satelit cuaca, data geomagnetik, data oceanic dipole, data pasang surut, dll dapat diintegrasikan ke dalam sistem mitigasi yang diolah dengan ML dan menghasilkan beberapa model prediksi yang dapat digunakan sebagai early warning system, ataupun panduan dalam proses perencanaan strategis seperti pembangunan infrastruktur, pengembangan habitat, serta rencana kontingensi di situasi emergensi.

Di sisi lain data eksisting sebagaimana telah mulai dihimpun oleh Kemenkes dalam program Satu Sehat seperti keberadaan dan fasilitas kesehatan (faskes), tenaga kesehatan (nakes), alat dan teknologi kesehatan (alkes), logistik kesehatan, infrastuktur pengelolaan dampak kebencanaan seperti keberadaan hidran pemadam, kendaraan pemadam, helikopter atau kapal cepat SAR, data komunitas terkait, sampai piranti pamong praja yang berwenang secara kewilayahan, dapat dikembangkan menjadi bagian dari Sistem Cerdas Penananggulangan Bencana Terintegrasi.

Keberadaan sistem dengan tingkat akurasi dan prediksi tinggi akan dapat mempercepat respon tanggap bencana seperti alokasi sumber daya tepat sasaran, mobilisasi dan detasering secara efektif.

Pendekatan terintegrasi semacam ini diharapkan akan dapat menghindari terjadinya berbagai kondisi ikutan pasca bencana yang tidak diharapkan.

Dapat pula dipertimbangkan untuk mengakomodasi berbagai inisiatif masyarakat melalui berbagai komunitas tanggap bencana dan kedaruratan medis yang telah memiliki sistem dan teknologi informasi yang terintegrasi dengan sistem SPGDT nasional atau PSC119 Kemenkes.

Salah satu inisiatif komunitas berupa aplikasi permintaan bantuan dan pemetaan relawan serta panduan pengelolaan kondisi kedaruratan dapat dilihat di aplikasi HELP-119 yang dikembangkan oleh KREKI (Komunitas Relawan Emergensi Kesehatan Indonesia).

Dengan adanya upaya mengintegrasikan sumber daya dan sistem teknologi terapan terpadu diharapkan dapat tercipta satu platform bersama yang dapat mengakomodir berbagai potensi pengelolaan bencana sehingga ke depan kita akan dapat mensinergikan potensi untuk mereduksi dampak destruktif yang dapat ditimbulkan sebagai bagian dari proses kebencanaan.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar