Anthony Budiawan, Managing Director PEPS

Otoritas Fiskal Soal Arah Kebijakan Moneter: Salah Kaprah, Salah Fatal

Senin, 21/11/2022 05:19 WIB
Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (Sorot)

Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (Sorot)

Jakarta, law-justice.co - Akhir Juli 2022 yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencoba membuat perkiraan arah kebijakan moneter Bank Indonesia (BI).

Menteri Keuangan memperkirakan suku bunga acuan BI akan naik sekitar 100 basis poin l atau satu persen hingga akhir tahun 2022.

Hal ini tentu saja tidak lazim. Karena, berdasarkan profesionalisme dan undang-undang, ada garis pemisah yang jelas antara tugas dari otoritas fiskal dan otoritas moneter yang independen.

Perkiraan Menteri Keuangan mengenai kenaikan suku bunga acuan ini dapat diartikan sebagai intervensi atas wewenang BI, dan akan menyudutkan BI dalam menentukan arah kebijakan moneter dan suku bunga acuan.

Perkiraan Menteri Keuangan tersebut lebih didominasi pada faktor kondisi fiskal dan neraca perdagangan yang membaik pada tahun ini, akibat kenaikan tajam harga komoditas.

Tetapi, kebijakan moneter dan suku bunga acuan jauh lebih kompleks dari hanya sekedar kondisi fiskal.

Pertama, kebijakan suku bunga acuan BI sangat tergantung dari tingkat inflasi.

Selain itu, kedua, dan ini yang sangat penting, kebijakan suku bunga acuan BI sangat tergantung dari kebijakan Bank Sentral negara lainnya, khususnya Amerika Serikat, the Fed.

Dalam hal ini, BI harus dapat memberi respons yang tepat atas kebijakan moneter the Fed. Kalau the Fed menaikkan suku bunga acuannya, maka BI juga wajib menpertimbangkan untuk menaikkan suku bunga acuannya.

Kalau tidak, BI menghadapi risiko dolar kabur dan kurs rupiah anjlok, karena selisih suku bunga antara Amerika Serikat dan Indonesia menjadi kecil dan tidak menarik bagi investor asing.

Dan ini yang terjadi saat ini. Selisih suku bunga the FED dengan suku bunga BI awalnya sekitar 3,5 persen, dan sekarang menjadi hanya 1,25 persen. Tidak heran dolar kabur dan kurs rupiah turun.

Karena kebijakan suku bunga BI juga ditentukan oleh kebijakan suku bunga the Fed, maka BI tidak bisa memperkirakan berapa kenaikan suku bunga acuan dalam 6 bulan ke depan. Karena BI tidak bisa memperkirakan arah kebijakan the Fed, apalagi Menteri Keuangan.

Maka itu, tidak lazim Bank Sentral mengumumkan perkiraan kenaikan suku bunga acuan.

Selain tidak mungkin untuk alasan teknis maupun profesionalisme, pengumuman seperti ini akan dijadikan arah kebijakan strategis bagi banyak perusahaan, yang kalau tidak tepat maka bisa membawa malapetaka.

Terbukti, perkiraan Menteri Keuangan meleset jauh. Suku bunga acuan BI sejauh ini sudah naik 1,75 persen, dan kemungkinan besar akan naik lagi sekitar 0,5 persen.

Kalau ini terjadi, maka kenaikan suku bunga acuan BI menjadi dua kali lipat dari perkiraan Menteri Keuangan. Sangat bahaya.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar