Tragedi Kanjuruhan

Aremania Diduga Diteror & Diintimidasi Aparat Pasca Tragedi Kanjuruhan

Kamis, 06/10/2022 15:40 WIB
Tragedi Kanjuruhan (Getty Images)

Tragedi Kanjuruhan (Getty Images)

Jakarta, law-justice.co - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat kembali menyuarakan reformasi kepolisian dan manajemen pengamanan kerumunan dalam pertandingan, setelah Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan sedikitnya 131 pendukung sepakbola Arema FC, termasuk 35 anak-anak.

Adapun PSSI tengah merumuskan format pengamanan kerumunan pertandingan dengan kepolisian, sedangkan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Kanjuruhan membuka kemungkinan penyelidikan yang sedang mereka lakukan menemukan “tindak pidana yang lebih besar yang dilakukan bukan oleh pelaku lapangan”.


Hingga saat ini kepolisian telah memeriksa 29 saksi yang terdiri dari 23 anggota kepolisian yang bertugas dalam pengamanan di lapangan dan enam saksi lain, salah satunya dari panitia pelaksana pertandingan namun belum menetapkan tersangka dalam insiden tersebut.


Koalisi masyarakat sipil untuk sektor keamanan menyebut peristiwa yang terjadi Sabtu (01/10) malam itu diduga kuat akibat adanya penggunaan kekuatan berlebih yang tidak proporsional dan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa baik oleh pihak kepolisian maupun militer yang terlibat dalam pengamanan di stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur.

“Seharusnya pendekatan awal yang digunakan oleh panitia pelaksana dan pihak yang mengizinkan laga ini berjalan, harusnya menetapkan pendekatan pengamanan bukanlah dengan metode keamanan dalam negeri, melibatkan aparat kepolisian dan tentara yang menggunakan alat-alat yang melumpuhkan seperti pemukul, gas air mata, dan senjata api,” ujar Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Julius Ibrani, dikutip dari BBCIndonesia, Kamis (6/10/2022)

Sementara Daniel Siagian dari LBH Pos Malang menegaskan pentingnya reformasi kepolisian sebagai salah satu cara untuk memutus belenggu kekerasan. Kekerasan yang jamak dilakukan kepolisian, menurutnya, “semakin terlegitimasi melalui insiden Kanjuruhan”.

“Insiden Kanjuruhan menjadi pertanda bahwa perlunya adanya reformasi Polri yang secara tegas dan secara signifikan,” kata Daniel.

Adapun, Ketua Tim Investigasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Ahmad Riyadh menjelaskan saat ini pihaknya dan kepolisian tengah merumuskan ketentuan baru mengenai pengamanan kerumunan, menyusul perintah Presiden Joko Widodo, bahwa “liga dihentikan sampai ada format baru mengenai kompetisi dan keamanan” pertandingan.

“Itu yang akan disesuaikan bagaimana ke depan.”

Sementara, Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, yang juga menjabat sebagai ketua TGIPF Kanjuruhan, mengatakan bahwa penyelidikan yang mereka lakukan mungkin menemukan pelaku tindak pidana selain yang telah ditangani oleh Polri secara pro justitia.

TGIPF Kanjuruhan memiliki waktu dua hingga empat pekan untuk menyelesaikan penyelidikan, namun Presiden Joko Widodo menargetkan investigasi itu dapat diselesaikan “secepat-cepatnya”.


Konferensi pers yang digelar oleh koalisi masyarakat sipil untuk sektor keamanan, turut menghadirkan penyintas Tragedi Kanjuruhan yang mengaku melihat dengan mata kepala sendiri ketika dia turun dari tribun VIP di stadion Kanjuruhan, di ujung tangga tergeletak lima orang tak bernyawa.

Salah satu dari mereka adalah kawannya.

“Mereka cuma ditidurkan tanpa alas,” ujar pria yang menolak menyebut namanya tersebut.

“Saya tahu kalau kawan saya itu meninggal, kepalanya ditutupi kardus. Mereka tertidur seperti orang terbujur.”

Korban jiwa berjatuhan tak lama setelah sejumlah pria yang disebutnya “berseragam hitam-hitam” dan mengenakan “atribut lengkap pasukan huru-hara”, yang terdiri dari “helm, tameng dan pentungan”, menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton.


Memang, katanya, pada saat itu kericuhan terjadi ketika suporter dari tribun bagian selatan turun ke lapangan.

Alih-alih menembakkan gas air mata ke arah selatan stadion untuk menghalau para suporter, aparat justru menembakkan gas air mata ke arah tribun yang pada saat itu masih dijejali penonton.

Gas air mata itu sontak memicu kepanikan massa yang berhamburan keluar stadion.

Sayangnya, dari empat pintu yang ada di sisi selatan stadion, hanya satu pintu saja yang terbuka.

“Akhirnya banyak korban berjatuhan”.


Penggemar sepakbola ini juga mempertanyakan mengapa aparat menembakkan gas air mata yang notabene dilarang keberadaannya di stadion oleh federasi sepakbola dunia (FIFA).

“Faktanya, bukan saja membawa senjata gas air mata, tapi malah ditembakkan membabi buta.”

Lebih lanjut, dalam keadaan genting, aparat menghalangi suporter yang hendak membawa satu perempuan ke mobil ambulans.

“Malah didorong-dorong dengan tameng yang dari fiber itu.”

Hal yang sama terjadi dua kali, beberapa saat kemudian.

Alih-alih membantu evakuasi para korban, aparat yang sama itu justru menolak dan menghalang-halangi suporter untuk mendekati mobil.

“Yang ketiga itu juga mendekati mobil itu ditolak lagi. Yang ketiga ini baru si suporter melawan.”

“Si aparat sempat ditendang oleh suporter tapi ditangkis dengan tameng yang terbuat dari fiber yang biasa dipakai aparat Brimob kalau dalam pengendalian huru-hara itu."

Merujuk pada penelusuran yang dilakukan oleh LBH Malang pasca kejadian, “penggunaan gas air mata menjadi salah satu sebab musabab terjadinya kepanikan yang luar biasa”, kata Daniel Siagian dari LBH Pos Malang.

Daniel mengungkapkan korban jiwa banyak ditemukan di kurva di bagian selatan dan tribun VIP Stadion Kanjuruhan, termasuk anak-anak dan perempuan.

Ia melanjutkan, di kurva di bagian selatan (curva south), ada beberapa pintu untuk keluar masuk penonton, yakni pintu 11,12, 13, 14.

Akan tetapi, berdasar keterangan korban dan saksi mata, hanya satu pintu yang terbuka, sementara tiga pintu lainnya tertutup.


“Gate 11 terbuka dengan akses sangat sempit, sementara gerbang yang lain dipaksa untuk dibobol, yang akhirnya terbuka tapi banyak korban jiwa yang berjatuhan, mengingat ada desakan over kapasitas dan juga penuhnya penonton”.

Selain itu, penembakan gas air mata yang beruntun di tribun juga menjadi penyebab insiden tersebut.

“Gas air mata itu menjadi pemicu tumpukan tumpukan penonton yang ingin keluar mengingat aksesnya sangat sedikit.”


Sementara Julius Ibrani dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) mencatat insiden itu dipicu oleh pitch invader (pendukung sepakbola yang memasuki lapangan) yang oleh aparat dianggap sebagai indikator ada kondisi ricuh, sehingga perlu pengamanan dalam konteks yang menyerang.

“Ini saya pikir sudah salah,” tegasnya.

Sebab, merujuk pada model kerumunan pendukung sepakbola yang dilarang membawa benda tumpul dan tajam ke stadion, membawa flare bahkan kosmetik seperti lipstik dan bedak, “bisa dikatakan kerumunan ini bukanlah kerumunan yang dapat mengancam keselamatan, baik orang-orang di sekitarnya ataupun aparat keamanan.”

Dengan indikator tersebut, menurutnya, seharusnya pendekatan awal yang digunakan oleh panitia pelaksana dan pihak yang mengizinkan laga ini berjalan tidak menetapkan pendekatan keamanan dalam negeri seperti yang biasa diterapkan terhadap massa pengunjuk rasa.


“Harusnya menetapkan pendekatan pengamanan bukanlah dengan metode keamanan dalam negeri sehingga melibatkan aparat kepolisian dan tentara yang menggunakan alat-alat yang melumpuhkan seperti pemukul, gas air mata, dan senjata api,” kata Julius.

“Itu metode pelumpuhan untuk melumpuhkan pihak-pihak yang dapat menyerang, menyebabkan luka atau mengancam keselamatan,” ujarnya kemudian.

Apalagi, dalam insiden ini hanya ada suporter Arema saja di dalam stadion, sehingga potensi kerusuhan dan bentrokan yang bisa menyebabkan kematian, sebetulnya tidak potensial.

“Ada unsur kesengajaan, keserentakan dalam menembakkan gas air mata, yang belum diketahui adalah apakah ini ada unsur komandonya?” tanyanya.

Perlunya pertanggungjawaban komando, juga diungkapkan oleh Hussein Ahmad dari Imparsial.

Dia menegaskan penyelesaian kasus ini tidak boleh hanya berhenti sampai pencopotan Kepala Kepolisian Resort Malang saja, namun harus ada pertanggungjawaban komando terhadap peristiwa itu. Dalam hal ini, Kapolda Jawa Timur dan Kapolri.

“Tidak mungkin tidak ada izin dari atasan ketika lakukan penembakan. Kalau menggunakan diskresi, mereka bertindak sendiri, kenapa kemudian dibiarkan?”

“Pembiaran itu salah, dan pertanggungjawabannya adalah pidana. Seratus orang tidak mati tiba-tiba karena serangan jantung tapi ada proses yang mendahuluinya,” cetusnya.

Penggunaan gas air mata ini memicu polemik, sebab dinilai tidak sesuai dengan aturan standar FIFA.


Merujuk pada FIFA Stadium Safety and Security, terdapat larangan membawa, bahkan menembakkan gas air mata ke stadion.

Aturan itu tertuang dalam Pasal 19 Nomor b tentang Pitchside stewards, yang berbunyi, “Tidak boleh menggunakan senjata api atau ‘gas pengendali massa’.”

Dokumen itu juga memuat aturan lain tentang posisi petugas dan polisis saat pertandingan., serta aturan jumlah petugas lapangan dan polisi yang berjaga.

Ketua Komisi Disiplin PSSI, Erwin Tobing mengatakan Indonesia belum bisa sepenuhnya menerapkan ketentuan FIFA tersebut.

Berbeda dengan negara maju di mana peran steward sangat berperan dalam menjaga kerumunan massa di stadion, konsep tentang steward tersebut "belum terlalu dikenal" di Indonesia.


“Belum disiapkan sehingga terpaksa memang polisi harus masuk. Nanti ada penilaian tersendiri apakah itu salah, kita serahkan ke Mabes Polri,” katanya.

“Di negara maju Eropa steward sudah sangat berperan, sementara kepolisian ada di luar stadion, yang berperan adalah steward.

Sementara itu, Ketua Tim Investigasi PSSI, Ahmad Riyadh, berkata saat ini PSSI dan Polri sedang merumuskan format baru penanganan keamanan di stadion, seperti diamanatkan Presiden Joko Widodo.

“Karena perintah dari presiden, liga ini diberhentikan sampai ada format baru mengenai kompetisi dan keamanan. Itu yang akan disesuaikan bagaimana ke depan.” kata dia.

Peraturan itu, katanya, akan menjadi pedoman pengamanan oleh aparat kepolisian dalam pertandingan yang digelar di seluruh Indonesia.

“Karena Polri pun masuk dalam statuta pengamanan, polisi jelas ada, cuma alat apa yang harus dibawa, antisipasinya bagaimana.”

 

Dugaan teror dan intimidasi suporter


Daniel Siagian dari LBH Malang mengatakan pihaknya masih melakukan penelusuran tentang laporan teror dan intimidasi yang dialami Aremania -sebutan bagi pendukung Arema FC- pascainsiden.

Hal itu dia kemukakan setelah beredar luas di media sosial seorang penonton pertandingan yang merekam dan menyebarluaskan video di media sosial, disebut “dibawa oleh aparat”.

“Perlu dipastikan, tapi ancaman ini mempengaruhi psikososial. Masih kita telusuri dan validasi terkait intimidasi. Apabila ada persekusi maka kita akan siap mendampingi,” katanya.


“Ada salah satu kawan inisial I masih kita cari keberadaannya apakah ancaman itu benar atau tidak itu mempengaruhi kondisi psikologi yang ada di Malang, mengaburkan posisi korban."

Sementara, penyintas Tragedi Kanjuruhan yang enggan disebut namanya mengatakan bahwa informasi tentang intimidasi dan penculikan itu beredar luas di kalangan Aremania.

Dia mengaku pasrah jika dirinya mengalami intimidasi dari aparat.

“Lha wong kita ini sudah korban 126 sekian. Kita sudah jadi korban meninggal dunia, masih diintimidasi. Lha wong mati saja kita lakukan, diintimidasi lagi,” tuturnya.

Ia mengatakan bahwa saat ini sebanyak empat Aremania yang menonton pertandingan Arema FC dengan rivalnya Persebaya Surabaya Sabtu lalu, yang berakhir dengan kekalahan pertama Arema sejak 1999 silam.

"Ada empat yang belum terdata, ada suporter yang belum ditemukan."

 

Dugaan pelanggaran hukum dan HAM


Sementara itu, Daniel Siagian dari LBH Malang mengungkap adanya dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam insiden itu.

Menurut Daniel dugaan itu karena ditemukan adanya tindakan berlebihan yang menyalahi protap pengendalian masyarakat dan prosedur tentang penggunaan kekuatan dari institusi kepolisian.

“Tindakan tersebut justru mengarah pada dugaan kuat pada tindakan kekerasan yang berlebihan yang dilegitimasi dengan beberapa tindakan kekerasan baik dari aparat TNI maupun aparat kepolisian.”

Dugaan pelanggaran hukum yang lain, katanya, ditemukan penganiayaan terhadap suporter, seperti tertuang dalam pasal 351 KUHP, kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama, seperti tertuang dalam Pasal 70 KUHP dan adanya tindakan kelalaian yang menyebabkan kematian, sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP.


“Kejadian ini justru menjadi evaluasi yang sangat krusial dan diperlukan, bahwa ada prosedur yang tidak berdasar pada hak asasi manusia.”

Dia menjelaskan, dalam peraturan Kapolri nomor 9 tahun 2009, kekerasan yang tidak berdasar pada hukum tidak boleh dilakukan.

“Jadi artinya, dugaan kekuatan berlebihan ini dilegitimasi oleh aparat.”

Adapun pemerintah telah membuat Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Kanjuruhan yang diketuai Menkopolhukam Mahfud MD.

Mahfud mengungkapkan investigasi yang dilakukan timnya membuka peluang ditemukan pelaku tindak pidana selain yang telah ditangani oleh Polri secara pro justitia.

Presiden Joko Widodo telah mendesak kepolisian untuk memproses mereka yang secara brutal melakukan kesalahan dalam Tragedi Kanjuruhan. Polri juga diminta melakukan evaluasi terhadap semua jabatan di Provinsi Jawa Timur.

Akan tetapi, Mahfud tak memungkiri adanya kemungkinan temuan “tindak pidana yang lebih besar yang dilakukan bukan oleh pelaku lapangan”.

“Atau kesalahan yang sengaja dilakukan oleh orang yang ada di balik yang sekarang terlihat. Ini nanti akan disalurkan lagi ke Polri untuk diproses secara hukum. Kalau misalnya permainan itu karena uang dan menyangkut jabatan, bisa saja itu diserahkan ke KPK juga," kata Mahfud.

Dia mengungkapkan, TNI akan segera melakukan “tindakan hukum pidana untuk pelaku lapangan yang brutal”. Sementara Polri saat ini masih memeriksa beberapa orang.

“Itu kan baru pelaku yang di depan, yang terlihat di video dan sebagainya. Nah dibalik ini kita tidak tahu. Nanti tim ini lah yang akan menggali dan akan sampaikan kepada presiden dan kalau ada pelanggaran hukum, akan disampaikan ke penegak hukum”.

Hingga Selasa (4/10/2022) tim penyidik kepolisian sudah memeriksa para saksi sebanyak 29 orang, dengan rincian 23 dari anggota Polri yang langsung bertugas pengamanan, dan 6 orang saksi lain, termasuk panita pelaksana pertandingan.

“Tim ini sudah meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan, masih mengumpulkan alat bukti dan baru nanti pada saatnya kita akan tetapkan tersangka dan ditetapkan statusnya sebagai tersangka,” kata Kadiv Humas Mabes Polri Dedi Prasetyo.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar