Mafia Dana Bansos Masih Gentayangan

Siapa Para Pemain DTKS Bansos Bernilai Triliunan?

Sabtu, 24/09/2022 12:05 WIB
Ilustrasi bansos

Ilustrasi bansos

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah kini mengeluarkan kebijakan untuk memberikan dana bantuan langsung tunai (BLT) kompensasi kenaikan BBM. Namun dalam penyalurannya, masih ada tetap ditemukan masalah seperti data ganda, penerima sudah meninggal, bahkan salah sasaran. Kisruhnya penyaluran bantuan sosial ke masyarakat disebabkan DTKS yang karut marut.

Pemerintah Indonesia terus menggulirkan bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat. Beberapa bansos itu antara lain: BLT BBM, BLT Subsidi Upah, Bansos PBI JK, BLT Dana Desa, BLT UMKM, dan Bansos BPNT. Namun, pemberian bansos tersebut tidak lantas tanpa kendala.

Seorang karyawan swasta bernama Ahmad (nama disamarkan) mengatakan, ia belum menerima BSU atau BLT Subsidi Upah tahun ini.

“Kalau yang dari tahun kemarin saya dapet, cuma kalau yang tahun ini belum. Belum nerima,” kata warga Banyumas, Jawa Tengah tersebut, Jumat 23 September 2022.

Menurutnya, ia harusnya tetap menerima karena sudah terdaftar dan lolos verifikasi di BPJS Ketenagakerjaan. Teman-temannya bahkan sudah dapat, namun ia belum dapat.

“Cuma entah, apa karena penyalurannya yang belum nyampe atau memang saya tahun ini nggak dapet, nggak tahu. Tapi, rekan-rekan sekolega saya beberapa pada dapet,” ujar Ahmad.

Sementara pada tahun lalu, ia memperoleh BLT Subsidi Upah sebesar Rp 1.200 ribu yang dibagikan dua kali dengan sekali pencairan Rp600 ribu.

Hal ini berbeda dengan yang dirasakan oleh Nana (nama disamarkan). Ia mengatakan, tetap memperoleh bansos di tahun ini meski pencairannya kadang telat di bulan berikutnya.

Tidak hanya satu banson, ia juga mendapatkan dua, yaitu PKH (Program Keluarga Harapan) dan BLT BBM. Ini tentu mengherankan, karena yang sudah dapat PKH tidak boleh mendapatkan bantuan lain.

Nana tidak menyebutkan berapa nominal yang ia dapat dari bantuan PKH. Ia mengatakan, nominalnya berbeda karena tergantung anak. Jika anak masih balita, dapat Rp 3 juta dibagi empat kali pencairan.

Jika sekolah SD, dapat Rp 225 ribu dibagi empat kali pencairan. Sedangkan jika sekolah di SMP, maka dapat Rp 375 ribu dibagi empat kali pencairan.

Sementara jika anak belajar di SMA, maka dapat Rp 2 juta dibagi empat kali pencairan. Untuk PKH, tergantung anaknya sekolahnya.

“PKH tiga bulan sekali cair, jadi setahun empat kali pencairan. Kalau BBM tahun kemarin dapat Rp 100 ribu selama tiga bulan, jadi Rp 300 ribu. Yang tahun sekarang dapat dua bulan, jadi dua bulan Rp 300 ribu,” ujar perempuan asal Jombang, Jawa Timur itu.

Sementara itu, Zubaidah (nama samaran) mengeluhkan bantuan PKH yang ia peroleh. Ia mengatakan, nominal yang ia terima lebih sedikit daripada biasanya.

“Tapi, akhir-akhir ini dapatnya nggak sesuai komponen, dapatnya lebih sedikit. Biasanya dapat Rp 1 juta lebih, ini dapatnya Rp 800 ribu,” tutur warga Sidoarjo, Jawa Timur itu.

Ia melanjutkan, pada tahap pertama Januari 2022 ia mendapat Rp 1.200 ribu. Sementara pada tahap kedua dan ketiga ia mendapat bantuan senilai Rp 800 ribu.

Ketika ditanyai ia mendapat bantuan lainnya atau tidak, ia menjawab tidak. Namun, ia menuturkan ada yang mendapat bantuan dobel.

“Tergantung perangkatnya gitu. Kalau di Sidoarjo ya, perangkatnya kan punya saudara. Ya dapat PKH dapat BSU, koyok dipilihi ngunu (kayak dipilihi gitu),” kata Zubaidah.

Data DTKS Bermasalah, Siapa Tanggung Jawab?
Penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) kerap kali mendapatkan masalah dan justru hal tersebut diakui oleh Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini.

Ketidakvalidan data penerima bansos menjadi salah satu yang menjadi masalah dalam program bansos.

Memang pada dasarnya Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ini yang menjadi sorotan telah banyak terungkap bahkan sejak awal bansos Covid-19 disalurkan.

Berdasarkan pantauan yang dilakukan Law-Justice, warga menemukan penerima bansos yang sudah lama meninggal, pindah domisili kependudukan, hingga sudah menjadi ASN masih tercatat menerima bansos.

Sebaliknya, banyak warga dengan tingkat kesejahteraan lebih membutuhkan bantuan justru luput dari penyaluran bansos (exclusion error).

Menanggapi hal tersebut, Menteri Sosial Tri Rismaharini menyatakan pihaknya bakal memperbarui DTKS.

Risma menyatakan bila DTKS akan terus diperbaharui setiap bulan untuk memastikan Bantuan Sosial bisa tepat sasaran.

“Jadi di UU itu sebetulnya satu tahun dua kali, tapi karena kondisi perubahan di daerah itu cukup pesat maka kemudian kita melakukan perubahan [DTKS] setiap bulan. Jadi setiap bulan, saya membuat SK baru,” kata Risma melalui keterangan persnya yang diterima Law-Justice.

Selain itu, Risma juga menyebut bila Kemensos juga saat ini memiliki 70.000 pendamping di seluruh Indonesia untuk melakukan pengecekan dan verifikasi data penerima bansos di lapangan.

Inspektur Jenderal Kemensos Dadang Iskandar, mengatakan terkait dengan permasalahan bansos pihaknya telah menerima beberapa pengaduan.

Iapun menyatakan bila Kemensos akan segera berkoordinasi dengan pihak terkait untuk menanggapi permasalahan tersebut.

"Saat ini, kami telah melakukan beberapa penelusuran menggandeng Bareskrim Polri serta Kejaksaan Agung untuk menangani permasalahan-permasalahan yang ada di lapangan terkait bansos," kata Dadang kepada Law-Justice.

Dadang menyatakan bila masyarakat juga bisa melaporkan apabila ada masyarakat yang belum menerima bansos.

Laporan dari masyarakat akan segera ditindaklanjuti. Pendamping-pendamping nakal ditelusuri dan jika terbukti akan diberikan sanksi.

Irjen juga berharap agar masyarakat tidak lelah mengawasi program-program Kementerian Sosial dan terus membangun komunikasi dengan Kemensos.

Berkaitan dengan pengelolaan DTKS dan permasalahan yang terjadi pada bansos, Kemensos tidak memberikan tanggapannya.

Law-Justice mencoba untuk menghubungi pihak terkait di Kemensos namun tidak ada respon hingga berita ini diturunkan.

DPR Kritisi Kisruh Bansos
Sementara itu, Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf mengatakan dibutuhkan ketelitian Kemensos dalam melakukan pendistribusian bansos.

Berkaca dari sebelumnya masih ada masyarakat yang mampu akan tetapi menerima bansos sehingga bantuan belum tepat sasaran.

Bukhori menyatakan untuk saat ini jumlah masyarakat masyarakat miskin ekstrem saja itu bisa mencapai lebih dari 20 juta keluarga atau lebih tepatnya 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang siap menerima bantuan.

"Jadi ada data 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM) ini sebenarnya data yang selama ini sudah menerima program keluarga harapan (PKH) atau bantuan pangan non tunai (BPNT)/sembako yang kemudian tinggal ditambah," katanya.

"Persoalan yang akut sampai hari ini adalah apakah data penerima atau KPM dari BPNT dan PKH itu benar-benar 100% sudah memenuhi kriteria orang yang berhak menerima? Jawabannya tidak, meskipun jumlah yang tidak tepat atau anggap saja kita masih belum bisa memastikan," sambungnya.

Bukhori mencontohkan seperti BLT BBM misalnya diperkirakan ada sekitar 2% dari 20 juta masyarakat yakni kisaran 400.000 orang lebih bakal menerima BLT BBM,

Padahal sebenarnya mereka tidak berhak atau tidak layak menerima bantuan sosial dari pemerintah karena masih tergolong keluarga yang mampu.

"Berarti ada 400.000 kepala keluarga yang semestinya tidak berhak untuk menerima, tetapi tetap menerima. Walaupun saya sudah menanyakan kepada Menteri Sosial, apakah betul bahwa data ini sudah diverifikasi secara benar, jawaban Mensos tentu normatif yaitu sudah," jelas dia.

Bukhori menyebut fakta di lapangan sangat berbeda, untuk itu Komisi VIII DPR harus tetap mengawal penyaluran bansos dan yang terbaru adalah BLT BBM.

Menurutnya, Pengawalan pertama tentang apakah nilai Rp 24 triliun untuk alokasi BLT itu apakah sudah bisa memadai Untuk menjadi bantalan sosial terkait dengan efek kenaikan BBM ataukah tidak.

Kemudian dari jumlah Rp 12,96 triliun yang disalurkan kepada 20 juta masyarakat miskin itu adalah tepat orang-orang yang menerima atau tidak. Di sini perlu dikawal penyalurannya.

"Jadi menurut pandangan kami, dua hal itu menjadi bagian yang penting karena sebenarnya memang idealnya pemerintah ini kurang kreatif di dalam. Mereka melakukan satu gagasan gagasan atau ide-ide yang bagaimana cara mengentaskan kemiskinan atau melakukan bantalan sosial agar tidak terjadi suatu gejolak ekonomi atau ketidakmampuan menurunnya daya beli masyarakat yang sangat drastis," ungkapnya.

Sinkronisasi Data Antar Pemerintah Kurang Maksimal
Sementara itu, Guru besar Universitas Pancasila Prof. Sri Widyaningsih menyampaikan pandangan perihal upaya penyaluran distribusi BLT agar tepat sasaran.

Menurut dia, sinkronisasi data antar lembaga, khususnya pada era digital saat ini adalah kunci utama agar penyaluran BLT tepat sasaran.

"Sekarang ini era digital, masalah data seharusnya selangkah lebih maju," kata Sri kepada Law-Justice.

Sri menyebut di beberapa instansi pemerintahan terdapat data terpadu untuk melakukan penyaluran bansos.

Seperti misalnya, Kemensos memiliki data kemiskinan terpadu dan Kemendes juga pasti memiliki data terpadu.

"Begitu juga data dari BKKBN dan BPS dengan surveinya, tentu link antara data ini harus terpadu," ucapnya.

Ia pun mengatakan bahwa perlu dilakukan pengawasan dalam penyaluran BLT agar prosesnya tidak menimbulkan kegaduhan.

Pengawasan tersebut dapat dilakukan mulai dari level terendah yakni dari RT, RW dan Desa.

"Untuk memastikan bansos tepat sasaran perlu dilakukan pengawalan dari sektor terendah seperti RT atau RW hingga tertinggi," ujarnya.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah mendorong Kemensos untuk melakukan pemutakhiran DTKS.

Trubus menyebut bila perbaikan perlu dilakukan untuk memperbaiki pola pemberian dan penyaluran bansos dan harus disertai implementasi.

“Karena di antara pendamping-pendamping itu juga banyak yang nakal-nakal. Data yang dia pegang misalnya ada 10, tapi kenyataannya yang nerima paling tujuh orang, yang tiga nggak ada, sesungguhnya fiktif,” kata Trubus kepada Law-Justice.

Iapun menyoroti pernyataan Jokowi beberapa waktu lalu yang menyebut bila bansos yang disalurkan pemerintah masih banyak yang tidak tepat sasaran.

Sebelumnya, Jokowi menyatakan bila data bansos yang dibagikan bisa saja ada yang tidak sesuai dengan jumlah banyak.

Trubus menyebut bila pernyataan dari Jokowi tersebut merupakan langkah dengan ketidakberdayaan.

“Dia mengeluarkan kebijakan bansos, tapi bansos sendiri diakui tidak tidak tepat sasaran dan tidak berpengaruh terhadap daya beli masyarakat,” tuturnya..

Hal lain, tambah Trubus, bansos yang digelontorkan pemerintah nominalnya terlalu sedikit.

Dia kemudian mengibaratkan pemberian bansos seperti memberi obat parasetamol pada orang yang sakit.

“Sekedar paracetamol saja, bahwa kamu saya kasih obat. Tetapi penyakit yang sesungguhnya tidak hanya sakit kepala atau demam, tapi ada sakit yang lain, yang lebih jauh. Ketika dikasih paracetamol ya tidak mempan," ungkapnya.

Sistem Data Terintegrasi Belum Ada Perbaikan

Indonesian Corruption Watch (ICW) melalui kajian program bansos menilai persoalan data menjadi salah satu hal yang krusial dalam program bansos.

Peneliti ICW Dewi Anggraeni menyebut bila pandemi Covid-19 bukan hanya menguji ketahanan sistem kesehatan, tetapi juga menguji sistem data di Indonesia.

Menurutnya, persoalan data dan dasar pengambilan data yang menggunakan tingkat kemiskinan bukan kerentanan menjadi persoalan sangat krusial yang berdampak ke banyak hal.

Misalnya seperti tidak tersalurkannya bansos dan adanya targeting error penerima bansos.

"Padahal anggaran dan jumlah penerima bansos terbatas. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dibangun oleh Kementerian Sosial merupakan rujukan utama data penyaluran bansos dari pemerintah pusat," kata Dewi kepada Law-Justice.

Akan tetapi banyak kasus di lapangan menunjukkan adanya exclusion dan inclusion error, data ganda, hingga data fiktif penerima bansos.

Sengkarutnya kepemilikan data di sejumlah kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang lemah verifikasi dan validasi, serta belum terintegrasi menciptakan sistem data yang buruk.

"Tak hanya dalam penyaluran bansos sembako, ketidaktepatan sasaran program bansos tunai faktanya dapat dilihat salah satunya di Kabupaten Gianyar, Bali. Data pendistribusian BST Kementerian Sosial dan BLT Dana Desa mengalami tumpang tindih," tuturnya.

Menurut Dewi, penyaluran bansos BBM senilai Rp24,7 triliun berpotensi tidak tepat sasaran kalau masih menggunakan model pendataan yang lama, yang data penerimanya tidak cocok. Hal ini juga dapat membuat program ini tidak berdampak. Misalnya jika masih ada nelayan yang harus tetap membeli BBM untuk melaut, tapi tidak terdata bansos BBM.

Dewi memaparkan berdasarkan data ICW, Kabupaten Gianyar terdapat masalah karena data masyarakat yang digunakan dalam pendistribusian BST menggunakan data tahun 2011.

"Akibatnya sebanyak 560 KK dari 45 desa merupakan penerima ganda sehingga harus mengembalikan BLT Dana Desa senilai Rp 336 juta dan
proses pengembalian ini pun tak mudah. Jika BST hanya harus dikembalikan kepada Kementerian Sosial melalui perantara pembagiannya (PT Pos atau Himbara), berbeda dengan BLT Dana Desa," paparnya.

Dewi menyebut beragam data yang tidak terintegrasi, yang digunakan untuk melaksanakan program sosial menjadi salah satu penyebab ketidaktepatan sasaran penerima bansos.

Menurutnya, tentu Kementerian Kesehatan memiliki Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Badan Pusat Statistik memiliki Survei Sosial Ekonomi dan Nasional (Susenas), dan Kementerian Sosial sendiri memiliki Basis Data Terpadu (BDT) yang variabel-variabelnya ada dalam Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial – Next Generation (SINK-NG), yang seharusnya secara rutin diinput dalam DTKS.

"SINK-NG merupakan sistem online untuk memperbarui data, yang dapat diakses oleh Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia disebut sebagai salah satu penyebab DTKS tidak valid karena banyak daerah telah lama tidak memperbarui data," ucapnya.

Akibatnya, bansos yang seharusnya diutamakan untuk masyarakat dengan kondisi paling rentan terhadap resiko sosial pandemi Covid-19 tidak tercapai.

Sebagaimana banyaknya laporan dan keluhan masyarakat yang mengemuka terhadap masalah penyaluran bansos.

"Maka ke depan Kementerian Sosial perlu melakukan sinergi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mengurai bottleneck kedisiplinan pemerintah daerah, khususnya tingkat kabupaten dan kota dalam memperbarui DTKS. Adapun data harus terintegrasi antar lintas program bantuan sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih data dan bantuan ganda," imbuhnya.

Dewi menyatakan bila Program bansos adalah program populis yang tidak hanya rentan dipolitisasi, tetapi juga dikorupsi, ditambah ditengah Covid-19.

Terjadinya korupsi bansos yang melibatkan Menteri Sosial Juliari P. Batubara dan pejabat di Kementerian Sosial sebagai leading sector penyaluran bansos merupakan kasus yang sangat disayangkan.

Tak hanya di Kementerian Sosial, korupsi bansos juga terjadi di sejumlah daerah, seperti di Kabupaten Samosir, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Makassar.

Inventarisir ICW atas penindakan kasus korupsi sepanjang tahun 2020 juga menemukan bahwa Kepolisian di 21 daerah sedikitnya menangani 107 kasus korupsi terkait dengan bansos pandemi Covid-19.

"Data tersebut cukup menggambarkan betapa program bansos rentan dikorupsi, terlebih lagi dari aspek pengadaan darurat yang semakin membuka peluang adanya kongkalikong antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau pihak lain di suatu instansi yang melakukan pengadaan dengan penyedia," tuturnya.

Kajian ICW menyatakan program bansos rawan dikorupsi dengan beberapa masalah rawan dalam pengadaan barang.

"Identifikasi kebutuhan pengadaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan," ungkapnya.

Penunjukan penyedia yang tidak didasarkan pada ketentuan yang berlaku, melainkan karena adanya faktor kedekatan atau adanya suap dan janji (kickback) dari penyedia kepada panitia pengadaan atau pejabat lain yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam tahap ini, penyedia yang ditunjuk bisa jadi tidak berpengalaman dan memangkas harga barang untuk menutup kickback cost.

"Penyedia yang ditunjuk dalam pengadaan tidak melakukan pengadaan secara langsung, melainkan menunjuk sub contractor untuk melakukan pengadaan yang kemudian membuat mata rantai pengadaan lebih panjang serta berdampak pada semakin mahalnya harga,"paparnya.

Selain itu biasanya, pembayaran dilakukan tanpa pemeriksaan hasil pengadaan dengan cermat sehingga menyebabkan pengadaan tidak terpenuhi sebagaimana mestinya.

Tidak efektifnya pelaksanaan pengawasan internal oleh APIP sejak proses perencanaan sampai proses pembayaran ditambah tidak berjalannya peluang pengawasan dari masyarakat akibat keterbatasan keterbukaan informasi pengadaan.

“Kedaruratan umumnya dijadikan justifikasi atas ketertutupan informasi pengadaan," ucapnya.

Seperti diketahui, DTKS menjadi rujukan utama data penyaluran bansos dari pemerintah pusat, tetapi masih kurang transparan bagi publik.

Selain menampilkan data penerima bansos berdasarkan provinsi, kabupaten dan kota, kecamatan, desa, dan nama sesuai KTP, belum ada informasi program bansos apa yang diterima, item bansos, jadwal penerimaan bansos, kanal distribusi bansos, serta cara mengusulkan menjadi penerima bansos.

"Satu kanal yang berisi semua informasi bansos baik pusat maupun daerah akan memudahkan masyarakat mendapatkan haknya," imbuhnya.

Transparansi data berupa tersedianya daftar nama penerima bansos diikuti data lain yang aman untuk ditampilkan ke publik rasanya dapat menjadi salah satu solusi sistem pencegahan terjadinya inclusion dan exclusion error.

Terbukanya data penerima bansos dapat membuat masyarakat saling mengawasi dan memverifikasi keadaan sebenarnya dari penerima bansos di sekitar mereka.

"Selain itu penerima bansos yang tidak dapat mengakses internet ataupun tidak memiliki identitas kependudukan dapat meminta bantuan siapapun untuk mengecek status penerimaan bansos," tutupnya.

Seperti diketahui dalam kasus bansos ini memang terjadi pada Tahun 2020 lalu dengan Juliari Batubara telah ditetapkan sebagai tersangka. Kasus bansos ini masih ditangani oleh KPK dan beberapa nama besar telah dilakukan pemeriksan termasuk dari pejabat legislatif hingga eksekutif.

Mirisnya lagi sepanjang 2020 hingga 2021 terjadi 30 kasus korupsi dana penanggulangan Covid-19, kerugian negara ditaksir mencapai Rp22,49 miliar, sementara suap senilai Rp23, 43 miliar. Dari 30 kasus tersebut, selain melibatkan pejabat di kementerian, empat kasus menyeret empat orang bupati.

KPK Terus Pantau Penyelewengan Bansos
KPK membuka kanal pengaduan melalui aplikasi "Jaga Bansos" untuk mengawal penyaluran Dana Bantuan Sosial (Bansos) penangan Covid-19.

KPK mencatat, per Agustus 2020 ada 894 laporan terkait penyaluran bansos. Berikut adalah data Laporan Penyaluran Bansos Melalui Aplikasi Jaga Bansos:
- 100 Bantuan tidak dibagikan aparat kepada penerima bantuan
- 369 Tidak menerima bansos meskipun terdaftar
- 9 Ada yang mendapatkan bantuan lebih dari satu
- 73 Bantuan dana yang nominalnya tidak sesuai dari yang seharusnya diterima
- 5 Seharusnya tidak menerima bantuan tetapi menerima bantuan
- 45 Penerima fiktif
- 6 Bantuan yang diterima kualitasnya buruk
- 287 Topik lainnya

Sementara itu, provinsi yang paling banyak menerima keluhan karena penyaluran bansos adalah:
- Jawa Barat dengan 197 keluhan
- Jawa Tengan dengan 149 keluhan
- Jawa Timur dengan 78 keluhan

Sedangkan keluhan berasal dari 784 pelapor yang ditujukan pada 243 pemerintah daerah (Pemda) yang terdiri dari 19 provinsi dan 224 pemerintah kabupaten/kota.

Bicara kasus, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyetorkan uang rampasan senilai Rp16,2 miliar ke kas negara terkait dengan penanganan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang menyeret eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan rekannya.

Ada Intervensi Kasus Bansos di KPK?
Bekas Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) Yudi Purnomo bercerita saat dirinya menjadi penyidik dan menangani perkara bansos yang melibatkan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Yudi mengatakan ada upaya untuk menghentikan pengusutan kasus korupsi Bansos Covid-19 yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara.

Bahkan Yudi membeberkan hal tersebut terlihat dengan adanya laporan dugaan pelanggaran etik terhadap dua penyidik yang menangani kasus tersebut.

Kecurigaan tersebut disampaikan dua penyidik atas nama M. Praswad Nugraha dan Muhammad Nur Prayoga dalam nota pembelaan yang mereka serahkan ke Dewan Pengawas yang menangani kasus tersebut.

"Dalam pledoi tersebut, para penyidik menyebutkan proses pelaporan dugaan pelanggaran etik ini tak terlepas dari upaya pihak tertentu untuk menghentikan proses penyidikan perkara," ujar mantan WP KPK, Yudi Purnomo kepada Law-Justice beberapa waktu lalu.

Kecurigaan terlapor, menurut Yudi, merujuk pada fakta bahwa pihak yang melaporkan dua penyidik adalah Agustri Yogaswara yang diduga terlibat dalam perkara yang tengah mereka tangani.

Menurutnya, selama sidang berlangsung sejumlah saksi telah mengungkap bahwa tak ada dugaan pelanggaran etik yang dilakukan dua penyidik.

Praswad dan Yoga, kata Yudi, telah melakukan proses geledah dan pemeriksaan sesuai prosedur.

Yudi menilai upaya penyidik dalam penanganan Bansos tak lebih dari upaya untuk mengungkap skandal korupsi dana bantuan sosial Covid-19.

Catatan BPK
IHPS II Tahun 2021 memuat hasil pemeriksaan BPK atas prioritas nasional pembangunan SDM yang mencakup data kependudukan, perlindungan
sosial, pengelolaan hibah dan bantuan sosial, pelaksanaan vaksinasi COVID-19, penanganan pandemi COVID-19 bidang ekonomi dan
kesehatan dan pembangunan berkelanjutan dalam memperkuat kapasitas inti kesehatan/SDGs serta tata kelola pelayanan rawat inap dan layanan penunjangnya

Selanjutnya Badan Pemeriksa Keuangan juga memeriksa program pembangunan SDM seperti penanggulangan kemiskinan.

Untuk program bantuan sosial, BPK mencatat bahwa Kementerian Sosial telah melakukan upaya perbaikan integritas data melalui penggabungan 4 pulau data, melaksanakan pemadanan dan validasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada Ditjen Dukcapil, serta peningkatan inklusi dan akuntabilitas publik melalui aplikasi dan web cekbansos dan menyediakan sarana komunikasi bagi masyarakat melalui aplikasi dan website https://cekbansos.kemensos.go.id.

Namun BPK juga mencatat dan mencermati penyaluran bantuan sosial yang berada di bawah kendali Kementerian Sosial. Catatan itu antara lain, penetapan dan penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH) dan Sembako/Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) serta Bantuan Sosial Tunai (BST) tidak sesuai ketentuan sebesar Rp6,93 triliun, antara lain disalurkan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH dan Sembako/BPNT serta BST yang tidak ada di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Oktober 2020 dan usulan pemda yang masuk melalui aplikasi Sistem Kesejahteraan Sosial-Next Generation (SIKS-NG).

Kedua, KPM yang bermasalah di tahun 2020 namun masih ditetapkan sebagai penerima bansos di tahun 2021 dan KPM dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) invalid serta KPM yang sudah dinonaktifkan. Ada juga temuan terkait KPM yang dilaporkan meninggal dan KPM bansos ganda. Akibatnya, penyaluran bansos PKH, Sembako/BPNT, dan BST terindikasi tidak tepat sasaran sebesar Rp6,93 triliun.

Badan Pemeriksa Keuangan dalam auditnya juga menemukan terdapat Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) tidak terdistribusi dan KPM tidak bertransaksi bansos PKH dan Sembako/BPNT dengan nilai saldo yang belum disetor ke kas negara sebesar Rp1,11 triliun. Akibatnya, terdapat penyaluran bantuan PKH dan sembako menjadi tidak optimal serta kekurangan penerimaan negara sebesar Rp1,11 triliun dari nilai bansos PKH dan sembako/BPNT yang belum disetor ke kas negara.

Ada juga pemusnahan KKS oleh Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sebanyak 647.787 KKS tidak sesuai ketentuan, yaitu dengan tidak terlebih dahulu
memberitahukan dan mendapat persetujuan dari Kementerian Sosial di bawah kewenangan PPK Direktorat Jaminan Sosial dan Keluarga dan PPK Direktorat PFM
Wilayah I, Wilayah II, dan Wilayah III.

Selain itu, terdapat penyaluran bansos terhadap KPM dengan KKS yang telah dimusnahkan sebesar Rp43,23 miliar serta saldo pada KKS sebesar Rp31,40 miliar, karena tidak dinonaktifkan.

Hal tersebut mengakibatkan pemborosan keuangan negara atas penyaluran bansos PKH dan Sembako/BPNT kepada KPM dengan KKS yang telah dimusnahkan sebesar Rp43,23 miliar, serta terdapat kekurangan penerimaan negara atas saldo di KKS yang telah dimusnahkan yang belum disetorkan ke kas negara sebesar Rp31,40 miliar.

Atas permasalahan tersebut BPK merekomendasikan Menteri Sosial agar menginstruksikan Sekretaris Jenderal untuk memerintahkan Kepala Pusdatin Kesos melakukan perbaikan dan validasi data KPM sesuai ketentuan yang berdampak pada penyaluran bansos PKH, Sembako/BPNT, dan BST terindikasi tidak tepat sasaran sebesar Rp6,93 triliun.

BPK juga menginstruksikan Inspektur Jenderal untuk melakukan pengujian terhadap hasil penelitian PPK Bansos PKH dan PPK Direktorat Penanganan Fakir Miskin (PFM) Wilayah I, Wilayah II, dan Wilayah III terkait KPM PKH, Sembako/BPNT, dan BST yang terindikasi tersalur bansos tidak tepat sasaran sebesar Rp6,93 triliun, serta memastikan bahwa hasil penelitian tersebut telah ditindaklanjuti dengan penggantian pengurus atas KPM PKH dan Sembako/BPNT serta BST yang tidak memenuhi kriteria penerima bansos.

Selain itu rekomendasi BPK juga menginstruksikan dirjen terkait untuk memerintahkan Bank Penyalur untuk segera melakukan pengembalian ke kas negara sebesar Rp1,11 triliun atas saldo PKH KPM dan saldo bansos Sembako/BPNT dengan KKS tidak terdistribusi dan KPM tidak bertransaksi serta menyampaikan salinan bukti setor tersebut kepada BPK.

Lembaga audit negara juga menginstruksikan dirjen terkait untuk memerintahkan Bank Penyalur melakukan pengembalian ke kas negara atas nilai saldo pada KKS KH 
dan KKS Sembako/BPNT yang telah dimusnahkan sebesar Rp31,40 miliar dengan menyampaikan salinan bukti setor kepada BPK.
Selanjutnya, Bank Penyalur melakukan penonaktifkan rekening KPM PKH/Sembalo dengan KKS yang telah dimusnahkan.

Dari rekomendasi itu, BPK menyimpulkan bahwa Kementerian Sosial belum sepenuhnya menerapkan status kesejahteraan dalam DTKS sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan.

Hal tersebut ditunjukkan dengan pemeringkatan status kesejahteraan pada penetapan DTKS Januari 2020 masih dalam tahap pemetaan dan ground checking serta belum diterapkan dalam penetapan DTKS; pemeringkatan status kesejahteraan telah diterapkan pada penetapan DTKS Oktober 2020 namun masih terdapat hasil “null” sebanyak 19.556 data; dan tidak ada pemeringkatan status kesejahteraan pada penetapan tahun 2021.

Akibatnya, pemda kesulitan dalam menentukan calon penerima bansos sesuai dengan kuota daerah, dan penyaluran bansos berpotensi tidak tepat sasaran.

BPK juga menyimpulkan sistem pendukung pengelolaan database DTKS yang beroperasi di Kementerian Sosial belum sepenuhnya berjalan dengan efektif dan
memadai. Hal tersebut ditunjukkan dengan kebijakan dalam pengelolaan dan pengendalian data di antaranya dokumen tata kelola teknologi informasi belum tersedia secara formal serta rencana strategis TI belum diupdate sesuai kondisi saat ini.

Kedua, pembentukan model data yang mencerminkan proses bisnis pengelolaan data yang terdiri dari data induk, data transaksi, dan data referensi belum memadai, dimana terdapat elemen data yang tidak konsisten, terdapat tabel yang digunakan sebagai referensi flag tidak konsisten, dan tabel transaksi tidak menggambarkan keterjadian perubahan data.

Ketiga, integritas data induk DTKS kurang memadai, dimana masih terdapat data ganda, terdapat NIK tidak sesuai dengan kodifikasi standar Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, dan pemberian flag “padan Dukcapil” tidak diyakini.

Keempat, data cleansing belum dijalankan secara baik melalui perencanaan, susunan metodologi, analisa risiko dan pengendalian, dan upaya cleansing data tidak didukung dengan pendokumentasian yang memadai baik serta pengendalian otentifikasi data arsip digital tidak berjalan dengan baik dimana field [create_at] pada
tabel by name by addres (BNBA) SK Penetapan bukan menggambarkan tanggal data dibuat, serta terjadinya perubahan data setelah tanggal SK Penetapan DTKS dibentuk.

Permasalahan tersebut mengakibatkan pengelolaan model DTKS tidak merepresentasikan kondisi data yang aktual serta konsisten sejalan dengan proses bisnis yang berlaku.

Kualitas data yang rendah dan tidak akurat yang berdampak pada penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran dan berpotensi terjadi penyaluran ganda.

Selain itu, pencapaian perbaikan kualitas DTKS berpotensi tidak maksimal dan risiko anomali DTKS tidak terdeteksi semakin meningkat dan prosedur
pengolahan data dan kualitas hasil yang diperoleh berpotensi berbedabeda sesuai dengan tingkat pemahaman masing-masing individu.


Kontribusi Laporan : Ghivary Apriman, Amelia

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar