Indonesia Diperingatkan Lembaga Asing Ini: `Badai Besar` Segera Datang

Selasa, 13/09/2022 09:29 WIB
Menkeu Sri Mulyani dan Presiden Jokowi (berkabar.id)

Menkeu Sri Mulyani dan Presiden Jokowi (berkabar.id)

Jakarta, law-justice.co - Terkait kondisi ekonomi ke depan, lembaga rating internasional S&P Global Ratings memberikan sejumlah peringatan kepada Indonesia.

Tingginya inflasi, pengetatan kebijakan moneter, serta arus modal asing keluar (capital outflow) bak badai besar yang dikhawatirkan membebani laju ekonomi domestik.

S&P seperti melansir cnbcindonesia.com, mengatakan pemulihan ekonomi akan berlanjut tetapi tekanan inflasi dan guncangan dari eksternal menjadi risiko terbesar bagi pemulihan tersebut.

"Inflasi melonjak dalam beberapa bulan terakhir karena harga energi dan bahan makanan. Inflasi inti juga akan terus meningkat sejalan dengan permintaan domestik. Kenaikan harga energi yang baru diumumkan juga akan meningkatkan tekanan inflasi secara signifikan," tutur Vishrut Rana, ekonom Asia Pasifik S&P dalam webinar bertajuk "Indonesia Braces For Turbulence", beberapa waktu lalu.

Seperti diketahui, akhir pekan lalu, pemerintah secara resmi menaikkan harga BBM Pertalite, Solar, dan Pertamax.

Kenaikan tersebut dikeluarkan di saat Indonesia masih berkutat dengan tingginya inflasi, terutama yang didorong kenaikan harga pangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Indonesia pada Agustus lalu mencapai 4,69% (year on year/yoy)). Inflasi memang melandai dibandingkan Juli (4,94%) tetapi masih dalam level tertinggi dalam 7,5 tahun terakhir.

Sementara itu, BPS juga mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,44% (yoy) pada kuartal II-2022, meningkat dibandingkan pada kuartal I-2022 (5,01%).

S&P memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,1% pada 2022, lebih tinggi dibandingkan pada 3,7% pada 2021. Inflasi diperkirakan akan menembus 4%, jauh lebih tinggi dibandingkan 1,87% pada 2021.

Inflasi diperkirakan masih menembus 4% pada 2023 sebagai dampak kenaikan harga BBM.

Satu hal positif yang dinikmati Indonesia adalah kenaikan ekspor karena harga komoditas. Ekspor tidak hanya akan menopang pertumbuhan ekonomi tetapi juga transaksi berjalan serta rupiah.

"Outlook ekonomi kini menjadi lebih tidak pasti karena pertumbuhan global yang akan lebih rendah. Ada juga risiko inflasi, kenaikan harga BBM, dan perlambatan ekspor," ujar Vishrut.

Andrew Wood, Direktur Sovereign & International Public Finance Ratings, mengingatkan ekspor selama ini memang telah menopang rupiah. Namun, pengetatan suku bunga acuan di level global bisa memicu outflow dan menekan nilai tukar rupiah.

Sebagai catatan, bank sentral AS The Federal Reserve (the Fed) telah menaikkan suku bunga sebesar 225 pada tahun ini. Bank sentral Eropa juga sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 bps. Bank Indonesia sendiri sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada Juli lalu menjadi 3,75%.

Berdasarkan data Bank Indonesia, investor asing tercatat melakukan jual neto Rp 131,96 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) pada 1 Januari-2 September 2022. Namun, di pasar saham, asing masih mencatatkan beli neto Rp 66,06 triliun.

"Ada risiko dari dari capital outflow yang lebih besar selama the Fed melakukan pengetatan moneter," tutur Andrew.

S&P juga mengingatkan risiko beban bunga utang yang ditanggung pemerintah akibat meningkatnya penarikan utang selama pandemi Covid-19.

"Beban bunga mungkin akan bertahan lama dan terus meningkat karena adanya kenaikan suku bunga acuan dan meningkatnya utang," ujar Andrew.

Dia memperkirakan pembayaran bunga utang akan memakan 15$ penerimaan negara untuk beberapa tahun ke depan.

Menurut catatan Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah pada akhir Juni 2022 mencapai Rp 7.123,62 triliun, melonjak dibandingkan Februari 2020 atau sebulan sebelum pandemi yang tercatat Rp 4.948,18 triliun.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar