RKUHP Berpotensi Besar Hambat Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat

Rabu, 20/07/2022 07:03 WIB
Sejumlah mahasiswa mendatangi Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6) untuk melakukan aksi demontrasi menuntut draf  Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dibuka. Mereka membentangkan spanduk besar menandakan Gedung DPR RI disita hingga ada perbaikan reformasi. Mahasiswa menuntut pemerintah dan DPR untuk membuka draft RKUHP ke publik dan hapus pasal-pasal yang bermasalah. Robinsar Nainggolan

Sejumlah mahasiswa mendatangi Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6) untuk melakukan aksi demontrasi menuntut draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dibuka. Mereka membentangkan spanduk besar menandakan Gedung DPR RI disita hingga ada perbaikan reformasi. Mahasiswa menuntut pemerintah dan DPR untuk membuka draft RKUHP ke publik dan hapus pasal-pasal yang bermasalah. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) buka suara menyoroti besarnya peluang risiko Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi salah satu faktor penghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat apabila mulus disahkan jadi undang-undang.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyatakan bahwa pihaknya melihat potensi ini lewat dibatasinya kerja-kerja jurnalistik dalam pasal bermasalah di RKUHP.

"Terus yang ketiga juga, [pers] membantu soal akuntabilitas dan yang paling penting adalah soal juga mengakhiri imunitas. Banyak sekali kejadian-kejadian pelanggaran HAM yang berat sampai saat ini pelakunya masih lenggang kangkung, bebas kemana-mana," kata Beka dalam seminar daring beberapa waktu lalu.

"Dan meskipun Komnas HAM berulang kali menyatakan dan tentu saja masih kurang kalau tidak dibantu oleh teman-teman jurnalis," sambungnya.

Beberapa pasal yang disorot bermasalah dari draf RKUHP beredar adalah Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Selain itu juga Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong, serta beberapa pasal lainnya.

Pasal-pasal ini dinilai dapat menghambat kebebasan pers yang telah diatur UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Lebih jauh, Beka mengungkap para jurnalis sebagai aktivis kemanusiaan yang juga berperan sebagai pilar demokrasi.

Menurutnya, para jurnalis memiliki peran penting dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat.

"Artinya jurnalis sebagai pembelaan HAM, human rights independen. Alasan tersebut istimewa karena misalnya [jurnalis] mencari informasi dan mengumpulkan, plus juga menyebarkan informasi tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia," papar Beka.

Menurutnya jika RKUHP dengan pasal bermasalah disahkan jadi undang-undang, jurnalis tidak akan mendapatkan perlindungan yang cukup.

"Dampaknya adalah pengurangan kenikmatan hak asasi manusia. Jadi yang seharusnya ketika negara melindungi, menghormati, memenuhi, bahkan menegakkan hak asasi manusia, akan berkurang penikmatannya ketika jurnalisme dan jurnalistik itu jurnalis itu tidak dilindungi secara benar," tegasnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar