Kisruh Impor Pangan

Karut Marut Mafia Impor Pangan Berebut Rente

Sabtu, 16/07/2022 11:39 WIB
Bawang putih di pasaran (Foto: Okezone)

Bawang putih di pasaran (Foto: Okezone)

Jakarta, law-justice.co - Komisi Pemberantasan Korupsi mengakui sedang menelisik laporan dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terkait dugaan korupsi impor pangan produk holtikultura bawang putih.

Dengan dibukanya penyelidikan, menandakan masih rentannya korupsi dalam praktik impor pangan di Indonesia. Padahal penegak hukum sudah berulang kali melakukan upaya hukum agar impor pangan tidak dijadikan modus permainan mendulang uang.

Beberapa kasus yang pernah ditangani aparat penegak hukum adalah soal impor daging sapi yang waktu itu melibatkan petinggi Partai Keadilan Sejahtera.

Rentetan kasus ini menunjukkan Indonesia sebagai negara pertanian belum mampu mencukupi kebutuhan pangannya sehingga membuka celah adanya permainan baik dari oknum Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian hingga pengusaha pemegang izin impor.

Kuranganya pasokan pangan dalam negeri ini membuka celah adanya permainan para cukong untuk menguasai dan berebut rente dari impor pangan yang banyak dibutuhkan masyarakat.

Berulang kali juga pemerintah menegaskan akan menindak pelaku korupsi yang mempermainkan kebutuhan hajat hidup orang banyak.

Menanggapi hal tersebut, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan penjelasan terkait pemberian izin impor untuk kebutuhan pangan.

Direktur Bahan Pokok dan Penting Kemendag Isy Karim mengatakan bila pemerintah pada dasarnya selalu berupaya untuk menjaga ketersediaan pasokan pangan pokok bagi masyarakat.

Selain itu, Isy menyampaikan bila pangan tersebut tentu harus memiliki mutu yang baik dan harga yang terjangkau.

Menurutnya, pemerintah selalu mengoptimalkan penyerapan produk dalam negeri dan pertimbangan pengadaan dari luar negeri dilakukan jika produk dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan yang ada.

"Namun, tentu impor dilakukan dengan tetap memperhatikan kesejahteraan petani," kata Isy kepada Law-Justice.


Bawang putih impor di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur (Foto:Denny Hardimansyah/Law-Justice)

Isy menyatakan dalam menetapkan jumlah impor komoditas pangan, pemerintah telah mempertimbangkan neraca komoditas yang disusun dalam Sistem Nasional Neraca Komoditas (SNANK).

SNANK ini telah dibahas oleh Kementerian/Lembaga (K/L) terkait bersama pelaku usaha dan diputuskan dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) tingkat Menteri.

Dengan demikian, jumlah alokasi impor yang diterbitkan merupakan hasil keputusan bersama guna terpenuhinya ketersediaan pangan di masyarakat.

“Selanjutnya, Kemendag menindaklanjuti keputusan Rakortas dimaksud dengan menerbitkan izin impor di awal waktu guna mengantisipasi adanya gejolak harga di masyarakat,” ujarnya.

Ia menambahkan, secara umum stok beberapa komoditas pangan tersedia dan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat hingga beberapa bulan kedepan.

Namun, pemerintah perlu memastikan juga bahwa stok bahan pokok tersedia dan cukup, terutama pada saat kondisi pandemi yang kembali mengalami tren kenaikan serta menjelang hari-hari besar.

"Oleh karena itu, Kemendag juga secara rutin akan melaksanakan pemantauan stok, pasokan, dan harga kebutuhan pokok di masyarakat sebagai antisipasi adanya gejolak harga di pasar," tambahnya.

Isy menjelaskan untuk peraturan impor bahan pangan hortikultura dijelaskan dalam Permendag No. 27 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.

Terkait dengan permen tersebut, Isy menyatakan kriteria pemerintah dalam melakukan impor pangan hortikultura diatur dalam permen tersebut.

"Untuk ketentuan soal impor pangan hortikultura ada dalam Permen tersebut," ucapnya.

Rebutan Rente Impor Pangan
Berdasarkan data yang diperoleh Law-Justice, Indonesia memang merupakan negara importir bawang putih terbesar di dunia dengan rata-rata volume impor bawang putih sebesar 509.621 ton per tahun.

Jika dirinci per tahun, pada 2014 Indonesia mengimpor 491.103 ton bawang putih. Selanjutnya, sebanyak 479.941 ton bawang putih impor masuk ke Indonesia pada tahun 2015. Adapun di tahun 2016, Indonesia mengimpor 444.301 ton bawang putih.

Angka tersebut meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2017, Indonesia impor 549.767 ton bawang putih dan pada 2018 meningkat sebanyak 582.995 ton.

Impor bawang putih yang dilakukan Indonesia tercatat paling banyak memang berasal dari China.

Saat Panen Besarnya impor tersebut membuat neraca perdagangan Indonesia untuk komoditas bawang putih selalu mengalami defisit.

Pada tahun 2020 saja, defisit ketersediaan bawang putih mencapai 393,65 ribu ton. Pada tahun berikutnya, yakni 2021 defisit meningkat dan diperkirakan terjadi kekurangan suplai bawang putih sebesar 408.020 ton.

Kekurangan pasokan bawang putih yang cukup besar dari tahun ke tahun dipenuhi melalui impor dari negara Tiongkok, India, Taiwan dan Amerika Serikat.

Data bawang putih impor dari China Tahun 2015 mencapai 482.125 ton, sedangkan 2016 mencapai 445.515 ton, Tahun 2017 berada di angka 550.906 ton.

Untuk tahun 2018 berada di angka 585.531 ton dan 2019 di angka 472.503 ton Rata-rata impor bawang putih dari China sebesar 507.316 ton.

Data bawang putih impor dari India 2015: 377 ton 2016: 3.116 ton 2017: 8.169 ton 2018: 465 ton 2019: 19 ton Rata-rata: 2.429 ton.

Data bawang putih impor dari Taiwan 2015: - 2016: - 2017: 138 ton 2018: 1.685 ton 2019: - Rata-rata: 365 ton.

Data bawang putih impor dari Amerika Serikat 2015: 95 ton 2016: 250 ton 2017: 232 ton 2018: 244 ton 2019: 391 ton Rata-rata: 242 ton.

Sementara untuk komoditas lain, seperti Cabai misalnya Indonesia juga termasuk langganan yang doyan melakukan impor.

Berdasarkan data yang diperoleh Law-Justice, selama Semester I 2021, Indonesia telah mengimpor 27.851,98 ton cabai.

Jumlah cabai impor tersebut didatangkan ke Tanah Air dengan total harga 59,47 juta dollar AS atau tepatnya 59.466.274 dollar AS.

Berbeda dengan Bawang Putih, untuk Impor Cabai negara yang paling banyak diimpor adalah India.


Data kuota impor bawang putih pada tahun 2018 (Foto:Repro/Law-Justice)

Sepanjang Semester I 2021, India telah memasok cabai ke Indonesia dengan volume impor sebanyak 24.606,32 ton dengan nilai mencapai 52,65 juta dollar AS atau tepatnya 52.652.195 dollar AS.

Nilai impor cabai dari India jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu naik 53,14 persen dengan nilai mencapai 34,38 juta dollar AS. Adapun sepanjang tahun 2021, data impor cabai asal India tercatat sebanyak 28.804,7 ton atau senilai 56,59 juta dollar AS, tepatnya 56.596.044 dollar AS.

Sementara itu, total volume cabai impor asal India pada 2019 mencapai 39.928,19 ton atau setara dengan harga 65,14 juta dollar AS, tepatnya 65.141.545 dollar AS.

Selain India, Indonesia juga melakukan Impor Cabai dari Negara-Negara seperti China, Spanyol, Taiwan hingga Malaysia.

Jumlah Impor Cabai tersebut juga termasuk yang besar dan Cabai yang masuk ke Indonesia merupakan cabai dengan berbagai jenis.

KPK Ikut Awasi Impor Pangan

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, angka impor pangan di Indonesia masih sangat tinggi.

Lembaga tersebut mencatat, sejak Januari-Juni 2021 atau sepanjang semester I-2021, Indonesia telah melakukan impor pangan hingga US$ 6,13 miliar atau setara dengan Rp 88,21 triliun.

Ini tentunya bukan angka yang kecil untuk sebuah angka impor komoditas pangan.

Komoditas pangan yang diimpor oleh Indonesia beragam, yakni terdiri dari berbagai jenis daging, susu, kopi, teh, hingga bahan pangan seperti cabai, bawang putih, lada, kedelai.

Selain itu, ada juga jagung, gandum, tepung gandum, minyak goreng, mentega, kentang, kelapa, kelapa sawit, hingga berbagai jenis rempah-rempah juga diimpor oleh Indonesia, seperti cengkeh, kakao, tembakau, dan ubi kayu.

Tingginya angka impor pangan di Indonesia ternyata telah cukup lama mendapatkan perhatian dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan mengatakan, masalah impor pangan telah menjadi perhatian KPK sejak 5 tahun terakhir.

Menurut dia, masalah impor pangan di Indonesia rentan dengan tindak pidana korupsi, tepatnya suap.

Menurut Pahala Nainggolan, salah satu penyebab munculnya tindak pidana suap dalam impor pangan adalah tidak adanya data yang valid mengenai kebutuhan pangan dalam negeri.

Ketiadaan data yang valid tersebut menjadi akar dari carut marutnya tata niaga impor pangan di Indonesia.

Pahala Nainggolan menambahkan, data kebutuhan pangan dalam negeri yang menjadi dasar rekomendasi impor seharusnya dibuat oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

Namun hal tersebut tidak pernah dilakukan, hingga akhirnya mengakibatkan Kementerian Pertanian bisa dengan seenaknya mengeluarkan rekomendasi kuota impor untuk komoditas pangan tertentu.

Inilah yang membuat praktik impor pangan di Indonesia jadi tidak terkontrol dan cenderung semena-mena.

"Kadang yang direkomendasikan (misalnya) 100 ton, tapi yang diimpor 150 ton. Kadang juga rekomendasinya 150 ton, tapi yang diimpor 75 ton," ujar Pahala Nainggolan kepada law-justice.co.

Pahala Nainggolan melanjutkan, penentuan perusahaan importis yang menerima kuota impor pangan itupun tidak jelas kriterianya.

Inilah yang membuat munculnya dugaan praktik suap dalam tata niaga impor pangan Indonesia.

Pahala nainggolan menyebut, penentuan perusahaan penerima kuota impor tersebut bisa melalui faktor kedekatan antara pengusaha dan kementerian, hingga akhirnya berujung pada suap.

"Kenapa harus suap? Karena kuota tidak jelas kriterianya, siapa yang mendapatkan kuota itu tidak jelas. Akhirnya main kedekatan disitu," ungkap Pahala Nainggolan.

Inilah yang menjadi akar munculnya tindak pidana korupsi dalam impor pangan di Indonesia.

Ia memanbahkan, KPK selama ini telah membongkar beberapa kasus impor di tanah air dengan modus yang hampir sama. Semua diawali dengan data yang tidak transparan.

"Ini kasus korupsi sebenarnya suap. Kenapa? karena kuota. Kita tahu impor disparitas harga tinggi. Pada saat yang sama swasembada juga gak jelas, pokoknya ditiupin langka ya impor, langka ya impor," jelasnya.

Praktik Suap dalam Penentuan Kuota Impor
Terkait dengan tidak adanya data yang valid mengenai kebutuhan pangan dalam negeri, LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, praktik suap kerap terjadi pada impor pangan di Indonesia.

Peneliti ICW, Almas Sjafrina mengatakan, semua komoditas pangan memiliki kerentanan yang sama dalam hal suap yang terkait dengan impor.

Senada dengan KPK, Almas mengatakan, hal itu disebabkan karena pemerintah tidak memiliki data acuan yang valid mengenai kebutuhan pangan dalam negeri.

Inilah yang pada akhirnya membuat penentuan kuota umpor menjadi sesuatu yang bida ditransaksikan, sehingga terbuka peluang terjadinya praktik suap.

"Sebetulnya kalau dilihat dari kasus-kasus korupsi terkait impor selama ini sudah terlihat jelas problemnya itu terkait dengan data, bahwa datanya tidak terintegrasi tidak transparan. Jadi apapun komoditasnya sepanjang tidak ada penataan dari aspek data sama-sama rentan terhadap korupsi," ujar Almas kepada law-justice.co.

Hal lain yang menjadi catatan ICW dalam korupsi di sektor pangan adalah terkait dengan pengadaan.

Menurut Almas, anggaran untuk sektor pangan di Indonesia cukup tinggi, dimana pada 2022 anggarannya mencapai 90-an triliun rupiah.


Data impor bawang Indonesia (Foto: CNBC)

Besarnya anggaran tersebut bisa menjadi lahan basah untuk terjadinya praktik korupsi, seperti penggelembungan harga atau pengadaan fiktif.

Karena itulah Almas mengimbau aparat penegak hukum turun memerhatikan masalah pengadaan dalam sektor pangan di Indonesia.

"Program anggaran pangan ini sangat tinggi, pada 2022 mencapai Rp93 triliun. Pada 2015 bahkan lebih tinggi lagi, pernah mencapai Rp110 triliun. Ini anggaran yang sangat besar dan juga banyak, misalnya untuk program-program subsidi dan pengadaan," tambah Almas.

Ragam Kasus Korupsi Impor Pangan

LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dalam 10 tahun terakhir sedikitnya telah terjadi empat kasus impor pangan di Indonesia. Dan berikut adalah ulasannya:

1. Suap Kuota Impor Sapi (2013)

Kasus suap daging sapi impor terjadi pada awal 2013. Kasus ini terkait pengaturan kuota sapi impor menjadi 8000 ton. Tercatat uang sebesar 1,3 miliar digunakan untuk penyuapan yang akhirnya berujung pada hukuman penjara.

Kasus ini melibatkan saksi yang berasal dari individu, pihak swasta dan pemerintah, mulai dari Elda Devianne Adiningrat, Thomas Sembiring, menteri pertanian Suswono bahkan hingga artis Ayu Azhari dan model Vitalia Shesya.

Setelah melalui berbagai rangkaian proses penyidikan, KPK kemudian menetapkan 5 orang sebagai tersangka. Mereka adalah Luthfi Hasan Ishaaq yang saat itu menjabat sebagai presiden Partai Keadilan Sejahtera dan anggota DPR periode 2009-2014, Ahmad Fathanah serta pihak Indoguna Utama yang terdiri dari Arya Abdi Effendi, Juard Effendi serta Maria Elizabeth Liman.

Presiden PKS ikut terseret dalam kasus ini karena berperan untuk mempengaruhi menteri pertanian Suswono yang merupakan kader PKS.

Plus kasus pencucian uang menjadikan Luthfi sebagai aktor utama dari kasus ini. Pun dengan Fathanah yang tersandung kasus pencucian uang. Alhasil keduanya menerima hukuman paling berat di antara semua tersangka, yakni hukuman penjara selama 16 tahun.

2. Suap Uji Materi UU Peternakan (2017).

Kasus ini menyeret nama salah satu Hakim Konstitusi, yakni Patrialis Akbar. Ia didakwa menerima suap dari Basuki Hariman, pengusaha daging impor.

Basuki berkepentingan terhadap uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengatur tentang batasan impor daging.

Selain Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut KPK juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka. Mereka adalah seorang pengusaha, Basuki Hariman (BHR), Kamaluddin (KAN), dan Ng Fenny (NGF).

Patrialis dan Kamaludin diduga sebagai penerima suap dan pemberinya ya adalah Basuki dan Ng Fenny. Kamaluddin berperan sebagai perantara anatara Patrialis dengan Basuki.

3. Impor bawang putih (2019)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta terkait dugaan kasus impor bawang putih, pada Rabu 7 Agustus 2019 pukul 21.30 WIB.

Dalam OTT tersebut ada 11 orang yang diamankan penyidik KPK, mulai dari pengusaha hingga orang kepercayaan anggota DPR.

Kasus ini bermula pada Juni 2019, Kemendag mengizinkan impor 256 ribu ton bawang putih kepada 15 perusahaan importir. Izin pemasukan bawang putih ini berlaku hingga akhir 2019.

Namun, selain itu, pada posisi pertengahan Juni 2019, masih 5 perusahaan lain yang sudah mengajukan izin impor bawang putih. Pada saat yang sama ada pengajuan impor baru dari 12 perusahaan lain yang telah mendapatkan RIPH [Rekomendasi Impor Produk Hortikultura] dari Kementan.

KPK mengamankan uang sebesar S$50 ribu. Setelah itu, secara paralel, KPK kemudian mengamankan DDW, CSU, dan LSK di sebuah Hotel yang ada di Jakarta Barat.

CSU dan DDW diduga bekerjasama untuk mengurus izin impor bawang putih.

Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan enam orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap izin impor bawang putih yang melibatkan satu orang anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Dhamantra.

4. Suap impor gula (2020).

Kasus ini melibatkan mantan Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara Dolly Parlagutan Pulungan dan Direktur Pemasaran PTPNIII, I Kadek Kertha Laksana.

Jaksa menyatakan Dolly dan Kadek menerima suap sebesar Rp3,5 miliar dari Dirut PT Fajar Mulia Transindo, Pieko Nyotosetiadi, setelah memberikan persetujuan kontrak jangka panjang distribusi gula kristal putih kepada perusahaan Pieko.

Kasus bermula ketika pada September 2018, PTPN membuat kebijakan sistem pola pemasaran dalam bentuk kontrak jangka panjang. Tujuannya untuk menghilangkan spekulan.

Persyaratan dalam sistem itu hanya mampu dipenuhi perusahaan Pieko. Perusahaan lain merasa keberatan dengan syarat membayar uang muka 40 persen dari harga gula yang ditawarkan.

Dua perusahaan Pieko ditunjuk menjadi distributor oleh PTPN III. Setelah perjanjian jual beli diteken, Dolly meminta duit kepada Pieko. Penyerahan uang dilakukan pada September 2019, saat itulah Pieko dicokok tim KPK.

Pieko sudah divonis 16 bulan penjara. Sementara Dolly dituntut hukuman 6 tahun penjara dan Kadek dituntut 5 tahun penjara.

Masalah Impor Pangan di Indonesia
Pengamat ekonomi pertanian, Khudori mengatakan, salah satu masalah mendasar dari persoalan impor di Indonesia adalah keterbatasan lahan pangan.

Menurut dia, luas daratan Indonesia memang cukup luas, mendapai 191 juta hektare. Namun lahan yang disediakan pemerintah untuk menanam berbagai komoditas pangan hanya sekitar 24 juta hektare.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan negara tetangga. Khudori mengambil contoh Thailand, dimana disana, menurut dia, luas lahan pangan yang disediakan pemerintah bisa 6 hingga 7 kali lebih besar dibanding Indonesia.

"Rasio ketersediaan lahan pangan perkapita, itu adalah salah satu indikator sejauh mana sebuah negara punya kemampuan dan kapasitas untuk menyediakan pangan yang memadai untuk warganya," kata Khudori pda law-justice.co.


OTT Kasus Impor Bawang Putih

Menurut Khudori, inilah yang membuat Indonesia kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, sehingga sebagian harus mengimpor dari luar negeri.

Ia menyebut. impor pangan yang hingga kini masih menjadi ketergantungan oleh Indonesia diantaranya terigu, gandum dan gula.

Karena itulah ia tak begitu yakin kalau Indonesia bisa sepenuhnya lepas dari ketergantungan impor pangan. Terlebih ada beberapa jenis komoditas pangan yang tidak bisa tumbuh di Indonesia, seperti gandum misalnya.

Dalam kondisi ini, Khudori mengusulkan agar pemerintah Indonesia fokus menggenjot produksi pangan unggulannya, sebagai penyeimbang produk pangan yang diimpor.

Diantaranya adalah produk pangan tropis, seperti buah-buahan. Menurut Khudori, jika pemerintah bisa fokus dan optimal meningkatkan produksi produk pangan tropis tersebut, bukan tidak mungkin Indonesia malah mengekspornya ke luar negeri.

Karena Indonesia tidak bisa sepenuhnya lepas dari impor pangan, maka Khudori menimbau agar pemerintah membuat aturan yang jelas mengenai impor tersebut.

Hal ini penting dilakukan agar kebutuhan pangan dalam negeri tetap terpenuhi dan dalam waktu yang bersamaan, celah untuk terjadinya penyimpangan dapat dikurangi.

"Impor tidak bisa kita tolak sepenuhnya, tinggal bagaimana pengaturannya saja," sambung Khudori.

Rekomendasi KPK Soal Pangan
Menanggapi usulan dari Khudori tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan telah merekomendasikan pada pemerintah untuk membuat aturan mengenai impor pangan, dalam sebuat sistem yang disebut dengan neraca komoditas.

Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan mengatakan, pembenahan impor pangan dalam neraca komoditas sudah dilakukan sejak awal 2022.

Ia menjelaskan, neraca komoditas adalah sebuah forum besar yang diisi oleh sejumlah pemangku kepentingan dalam hal impor pangan, diantaranya Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Bea dan Cukai, Badan Pusat Statistik dan tentunya kalangan pengusaha.

Dalam forum tersebut semua pemangku kepentingan menentukan dan menyepakati besaran kebutuhan pangan dalam negeri. Setelah itu dilihat juga berapa kemampuan produksi dalam negeri. Jika terdapat selisih, maka itulah jumlah yang akan diimpor.

"Disitu disepakati kebutuhannya, berapa produksi dan sisanya disepakati inilah jumlah yang akan diimpor. Dan itu dilakukan dengan transparan. Kalau sepakat langsung ketok palu, laluditentukan siapa yang akan mendapatkan kuota impor itu," terang Pahala Nainggolan.

Jadi secara tidak langsung, neraca komoditas akan menjawab permasalahan ketiadaan data dalam penentuan kuota impor pangan, yang sebelumnya menjadi permasalahan di Indonesia.

Namun sayangnya, lanjut Pahala Nainggolan, hingga kini baru lima jenis komoditas pangan saja yang datur dalam neraca komoditas, yakni beras, gula, daging, garam dan ikan.

Itu artinya, hingga kini baru lima komoditas pangan tersebut yang sudah benderang data kebutuhan dan produksinya di Indonesia.


Data RIPH Bawang Putih tahun 2018-2019 (Foto: Repro/Law-Justice)

Sementara itu, menurut Pahala Nainggolan, ada lebih dari seratus komoditas pangan di Indonesia yang juga perlu diatur dalam neraca komoditas, untuk mencegah terjadinya korupsi.

Ia berharap, pemerintah menambah kembali jumlah komoditas pangan dalam neraca komoditas di kemudian hari.

Dan Pahala Nainggolan menyatakan, KPK akan terus mengawal penerapan dari neraca komoditas ini dengan mengadakan evaluasi berkala.

Namun ia tidak menyebutkan kapan evaluasi itu akan dilakukan, mengingat neraca komoditas baru dijalankan dalam hitungan bulan.

"Belum tahu jadwal pastinya kapan akan di-review tapi kita akan review untuk dua poin, yakni efektif atau tidaknya neraca komoditas tersebut, serta mengenai penambahan jenis komoditas pangan dalam neraca komoditas," pungkas Pahala Nainggolan.

DPR Soal Kisruh Korupsi Imporp Pangan

Sementara itu terkait polemik impor pangan, Anggota Komisi VI DPR RI Intan Fauzi meminta Kemendag untuk memperbaiki tata niaga pangan.

Hal tersebut juga sangat penting karena supaya kejadian harga pangan melambung tinggi tidak terjadi lagi.

“Kemendag harus hadir untuk memperbaiki tata niaga pangan, karena akar permasalahan di hulu ini harus diselesaikan, sehingga rakyat tidak terbebani dari tahun ke tahun," ujar Intan kepada Law-Justice.

Untuk itu, Intan meminta pemerintah dalam hal ini Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perindustrian untuk memetakan kebutuhan pangan data nasional.

Baru selanjutnya menilik pasokan domestik yang tersedia untuk mengalokasikan impor bahan pangan yang dibutuhkan.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu kemudian meminta kolaborasi antara Bulog (Badan Urusan Logistik), Badan Pangan Nasional, dan BUMN holding pangan untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pasokan pangan.

"Sehingga distribusi dari principal hingga ke tingkat retail dapat terintegrasi dengan baik," ucapnya.

Intan mengatakan bila regulasi terkait impor pangan perlu disiapkan dalam waktu dekat.

Hal tersebut karena kondisi saat ini memang pemerintah masih ketergantungan kepada bahan pangan impor.

"Regulasi perlu disiapkan sehingga permasalahan ketergantungan impor tidak terus membebani rakyat,” katanya.

Seperti diketahui, Kementerian Pertanian (Kementan) memiliki peran untuk menentukan kuota komoditas apa yang akan diimpor.

Untuk itu, Law-Justice mencoba untuk menghubungi Kementerian Pertanian terkait hal tersebut.

Namun hingga berita ini diturunkan, pihak Kementan belum memberikan konfirmasi jawaban.

Selama ini, data terkait kebutuhan pangan nasional kerap terjadi simpang siur dan bahkan kurang transparan.

Data pangan nasional merupakan sesuatu yang krusial karena untuk mengetahui komoditas apa saja yang bisa diimpor.

Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin meminta pemerintah untuk bisa menekan jumlah impor pangan yang terjadi.

Andi mengatakan bila sejauh yang dia pahami kebijakan impor memang bukan ranahnya Kementan.

Kebijakan itu menurutnya ada di ranahnya Kementerian Perdagangan dan Kementan hanya bertugas mendorong aspek budidaya sampai peningkatan kesejahteraan petani.

"Sekali lagi saya katakan urusan impor itu bukan urusan kementan. Selama ini kan saya selalu bicara seperti itu. Kementan kita dorong untuk peningkatan produksi dan Kemendag kita harapkan mampu menekan impor," kata Andi kepada Law-Justice.

Ia mencontohkan untuk komoditas bawang putih, sejak enam tahun lalu Cina sebagai produsen dan eksportir bawang putih terbesar di dunia.

Andi menyebut secara konsisten China mengirimkan bawang putih ke Indonesia dalam jumlah yang sangat besar.

"Tahun 2015 jumlahnya mencapai 482 ribu ton, 2016 445 ribu ton, 2017 550 ribu ton, 2018 585 ribu ton, dan tahun 2019 sebesar 472 ribu ton," ujarnya.

Untuk itu, Politisi PKS itu meminta pemerintah untuk mengurangi importasi bawang putih yang mencapai 507 ribu ton per tahun.

Besaran angka impor pada outlook bawang putih 2020 menjadikan Indonesia sebagai negara importir bawang putih terbesar di dunia.

"Saya sangat menyayangkan belum ada perubahan situasi importasi bawang putih dalam negeri, dimana tiap tahun kita tinggi sekali angka impornya dari Cina. 99 persen, sisanya diambil dari India, Taiwan, Amerika Serikat, dan Mesir yang angkanya hanya ratusan hingga maksimal dua ribu ton," paparnya.

Andi Akmal menekankan kepada pemerintah dalam hal ini Kementan untuk setidaknya ada upaya mengurangi besaran importasi komoditas pangan di Indonesia.

Hal tersebut bisa dilakukan misalnya dengan kegiatan dan program kementan terutama di Ditjen Hortikultura harus tertata dengan baik.

"Itu penting untuk menekan angka importasi pangan hortikultura terutama bawang putih yang memang komoditas ini tidak banyak ditanam di Indonesia seimbang dengan kebutuhan rakyat Indonesia yang sangat banyak," desaknya.

Catatan BPK
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru saja menyerahkan ikhtisar hasil pemeriksaan Semester II-2017, beserta laporan hasil pemeriksaan semester II-2017 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam ikhtisar itu dinyatakan adanya temuan BPK terhadap pengelolaan tata niaga pangan yang dilakukan Kementerian Perdagangan pada tahun anggaran 2015 sampai Semester I-2017.

Berdasarkan temuan BPK, ada sembilan kebijakan pengelolaan tata niaga impor pangan yang tidak memenuhi kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Berikut rinciiannya :

1. Izin impor beras sebanyak 70.195 ton tidak memehuhi dokumen persyaratan, melampau batas berlaku, dan bernomor ganda
2. Impor beras kukus sebanyak 200 ton tidak memiliki rekomendasi dari Kementerian Pertanian
3. Impor sapi tahun 2016 sebanyak 9.370 ekor, impor daging sapi sebanyak 85.567 ton, dan impor garam sebanyak 3,35 juta ton tidak memenuhi dokumen persyaratan.
4. Kementerian Perdagangan tidak memiliki sistem untuk memantau realisasi impor dan kepatuhan pelaporan oleh importir
5. Alokasi impor untuk komoditas gula kristal putih, beras, sapi, dan daging sapi tidak sesuai kebutuhan dan produksi dalam negeri
6. Persetujuan impor gula sebanyak 1,69 juta ton tidak melalui rapat koordinasi
7. Impor gula kristal merah kepada PT Adhikarya Gemilang sebanyak 108.000 ton tidak didukung data analisis kebutuhan
8. Penerbitan impor sapi kepada Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) tahun 2015 sebanyak 50.000 ekor tidak melalui rapat koordinasi
9. Penerbitan impor daging sapi sebanyak 97.100 ton dan realisasi sebanyak 18.012 ton senilai Rp 737,6 miliar tidak sesuai atau tanpa rapat koordinasi dan atau tanpa rekomendasi Kementerian Pertanian.
10. Atas 9 temuan tersebut, kesimpulan pemeriksaan menyatakan bahwa sistem pengendalian intern Kementerian Perdagangan belum efektif untuk memenuhi kebutuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun rekomendasi BPK, yakni Kementerian Perdagangan harus mengembangkan portal inatrade dan mengintegrasikan dengan portal milik instansi atau entitas lainnya yang menyediakan data dokumentasi hasil koordinasi dan data rekomendasi.

Kontribusi Laporan : Ghivary Apriman, Rio Rizalino

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar