Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Cinta Segitiga Itu Berbuah Prahara Bagi Demokrasi di Indonesia

Rabu, 13/07/2022 05:58 WIB
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (Istimewa).

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, demikian bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 45. Prinsip ini sesuai dengan norma dasar dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat,

“Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…“, dan juga  sila ke-4 Pancasila.

Dengan dasar tersebut maka Indonesia disebut sebagai negara hukum sekaligus negara demokrasi dimana salah satu ciri negara demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat yaitu rakyat Indonesia. Jadi pada hakikatnya, kekuasaan suatu negara demokrasi berada di tangan rakyat untuk kepentingan bersama.

Salah satu pilar kelembagaan dalam konsep demokrasi adalah adanya partai politik, Lembaga perwakilan (DPR) dan Pemerintah yang berkuasa. Seperti apa gambaran ringkas hubungan antara partai politik, DPR dan Pemerintah dalam sistem demokrasi di Indonesia ?, Apakah ketiga kelembagaan itu saat ini memang telah melakukan perselingkuhan dalam menjalankan perannya sehingga mengingkari prinsip kedaulatan rakyat yang di embannya ?, Lalu apa dampaknya bagi kehidupan demokrasi kita ?, Bagaimana mengakhiri perselingkuhan diantara mereka ?

Relasi Hubungan

Pembentukan Partai Politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak  warga  negara  untuk berserikat,  berkumpul, dan menyatakan pendapat sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa warga negara Indonesia memiliki kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang Undang. Melalui Partai Politik rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian Partai politik merupakan suatu kelompok yang telah teroganisir dengan anggota-anggotanya yang mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik agar mempunyai kekuasaan secara sah untuk mengatur dan mengendalikan pemerintah suatu negara.

Salah satu fungsi partai politik adalah  melakukan rekrutmen calon pejabat publik termasuk pejabat dilingkungan legislatif sebagai wakil rakyat  nantinya. Melalui partai politik calon calon wakil rakyat  itu mendaftarkan dirinya untuk bisa menjadi pejabat publik di Lembaga perwakilan lewat proses pemilu sesuai dengan ketentuan yang ada.

Begitu mereka terpilih melalui Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia maka wakil wakil rakyat itu akan menjadi duta duta partai untuk berjuang demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara sesuai daerah yang diwakilinya. Karena sebagai wakil rakyat terpilih hakekatnya mereka yang sudah terpilih menjadi wakil rakyat diwilayah pemilihannya bukan semata wakil partainya.

Begitu menjadi wakil rakyat, tugas utama sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang adalah mengawasi jalannya pemerintahan, membuat Undang Undang bersama sama pemerintah serta bersama pemerintah pula menyusun anggaran negara.

Selain partai politik dan Lembaga perwakilan salah satu kelembagaan demokrasi adalah adanya pemerintah yang berkuasa.Pengertian pemerintah secara umum adalah sekelompok orang atau organisasi yang diberikan kekuasaan untuk memerintah serta memiliki kewenangan dalam membuat dan menerapkan hukum atau undang-undang di wilayah tertentu yang dikuasainya.

Pemerintah itu  meliputi lembaga, badan publik atau kementrian yang tergabung dalam pemerintah dan sudah diatur sesuai ketentuan yang ada.Pengertian pemerintah dalam arti luas meliputi  kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tetapi dalam pengertian sempit hanya meliputi pihak eksekutif saja.

Pemerintah bekerja dan menjalankan fungsi dan tugasnya  untuk mengelola sistem pemerintah dan menetapkan kebijakan dalam mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945 . Untuk itu terdapat beberapa fungsi dan peran pemerintah bagi masyarakat dan negara, di antaranya fungsi pelayanan, fungsi pemberdayaan, fungsi pembangunan, dan fungsi pengaturan dan sebagainya.

Agar fungsi fungsi pemerintahan itu bisa berjalan sebagaimana mestinya maka diperlukan adanya Lembaga yang mengawasinya. Salah satu Lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan itu adalah Lembaga perwakilan /wakil rakyat sebagai representasi pemegang kedaulatan rakyat yang sebenarnya.

Dengan demikian cukup jelas relasi/ hubungan antara partai politik, wakil rakyat dan Pemerintah dalam sistem demokrasi di Indonesia sesuai dengan peran dan fungsinya masing masing berdasarkan ketentuan yang ada. Dimana muara dari berjalannya sistem demokrasi yang dijalankan oleh kelembagaan yang ada ini adalah demi tercapainya tujuan negara untuk kepentingan bersama seluruh warga bangsa tanpa ada kecualinya.

Perselingkuhan itu

Selingkuh, secara etimologi diartikan sebagai perbuatan dan perilaku suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur, dan curang, begitu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

Secara umum, selingkuh itu merupakan suatu urusan moral manusia yang diatur dalam hukum yang berlaku di Indonesia karena memiliki ukuran umum bahwa perbuatan itu buruk (jahat) yang berlandaskan norma yang hidup dalam masyarakat kita.

Perbuatan selingkuh tentu saja berarti mengkhianati janji suci dan kesetiaan pasangan yang diselingkuhinya. Sehingga sangat merugikan bahtera kehidupan rumah tangga yang bisa berujung pada bubarnya bangunan hubungan sah yang selama ini di jalaninya.

Lalu bagaimana halnya kalau perselingkuhan itu terjadi di dunia politik yang melibatkan kelembagaan demokrasi di suatu negara ? Tentunya rakyat, bangsa dan negara itu yang dirugikannya. Karena tujuan negara menjadi terhambat pencapaiannya sehingga masyarakat yang sejahtera lahir dan batin tidak bisa diwujudkan sebagaimana mestinya.

Saat ini diduga telah terjadi perselingkuhan diantara Lembaga demokrasi yang ada di Indonesia. Ketiga Lembaga itu dinilai sudah keluar dari fungsi dan tugas yang semestinya di jalankannya. Lembaga demokrasi seperti partai politik, Lembaga perwakilan dan Pemerintah sendiri tidak menjalankan perannya untuk kepentingan bersama seluruh warga bangsa.

Dari sisi partai politik saat ini dianggap bukanlah institusi yang menjadi saluran buat aspirasi publik ke pemerintah, tetapi partai politik lebih menjadi alat buat elit-elit politik untuk mencapai kekuasaaan dan menguasai sumber daya alam yang ada. Partai politik dinilai telah gagal menjalankan fungsi fungsinya dengan benar dan tepat, yang meliputi: fungsi edukasi, fungsi agregasi, fungsi artikulasi, dan fungsi rekrutmen calon pejabat publik yang ingin di usungnya.

Partai politik yang seharusnya  mendidik dan membangun orientasi pemikiran anggotanya (dan masyarakat luas) untuk sadar akan tanggungjawabnya sebagai warga negara seringkali malah bertindak sebaliknya. Partai politik justru membiarkan tumbuhnya sikap sikap pragmatisme masyarakat dalam pemilu sehingga memunculkan pilihan calon calon pejabat publik yang tidak berkualitas karena pertimbangan pragmatis semata.

Partai politik juga cenderung memberikan ruang bagi para pemilik modal untuk ikut bermain dalam rekrutmen pejabat publik termasuk di area legislatif sehingga menjadi kepanjangan tangan mereka. Ruang ini dibuka karena fenomena keuangan yang maha kuasa. Para pemilik modal difasilitasi untuk ikut beternak calon penguasa yang penting partai di untungkan untuk pemenangan partainya.

Pada akhirnya fungsi agregasi dan fungsi artikulasi yaitu  sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk diakomodasi pada tataran kebijak kebijakan publik tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena dalam perjalanannya akan dikendalikan oleh pemilik modal/ kaum oligark yang telah berjasa pada partai dan calon pejabat publik yang di dukungnya.

Ketika pemilu sudah berlalu dan telah berhasil mengantarkan partai politik beserta duta duta partainya di Lembaga perwakilan maka mereka kemudian membentuk koalisi dukungan kepada pemerintah yang sedang berkuasa atau ada juga yang memilih jalan yang berbeda yaitu “beroposisi” terhadap penguasa.

Jika kita mengacu pada kondisi pasca pemilu 2019 yang lalu, telah terbentuk koalisi besar yang mendukung pemerintah yang sekarang berkuasa. Disebut koalisi besar karena lebih dari setengah partai politik yang lolos ke Senayan  telah merapat ke penguasa kecuali PKS dan Demokrat saja yang tidak masuk kedalamnya.

Secarah konsep demokrasi, apabila salah satu kubu terlalu "Gemuk" akan berpengaruh nantinya kepada proses check and balances sehingga menimbulkan kesan " one man show" yang berujung pada  tidak adanya kontrol kepada penguasa. Karena sejatinya  demokrasi itu lahir untuk menghalau kesewenang wenangan diantara para penguasa dan kesewanang wenangan itu dapat di kontrol dengan konsep Check and Balance, namun ketika salah satu kubu terlalu "Gemuk" maka chek and balances itu akan sulit dijalankan sebagaimana mestinya.

Di Indonesia ada keengganan atau kesungkanan bagi duta duta partai yang sudah terpilih menjadi wakil rakyat di Lembaga perwakilan untuk bisa menjalankan fungsi pengawasannya secara ketat manakala sudah merapat ke penguasa.Pada hal seharusnya meskipun sudah berada di lingkaran kekuasaan, fungsi kontrol mestinya tetap jalan karena merupakan amanat dari perundang undangan dan demi lurusnya jalanya pemerintahan yang berkuasa.

Sesungguhnya dengan adanya koalisi gemuk yang telah terbentuk bisa menjadikan pemerintahan berjalan efektif karena potensi terjadinya “gangguan -ganguan” dari pihak oposisi bisa diminimalkan terjadinya. Pemerintah yang sedang berkuasa bisa menjalankan program program kerjanya  yang pro rakyat dengan lancar jaya dengan dukungan Parlemen yang sudah ada dipihaknya.

Tapi kekuasaan dan kewenangan yang begitu besar, dengan dukungan dari Parlemen itu ternyata belum bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat pada umumnya. Justru yang terjadi duta duta partai yang telah menjadi wakil rakyat (yang tergabung dalam fraksi fraksi itu) diduga telah melakukan perselingkuhan  dengan penguasa, sehingga mengkhianati amanah rakyat yang dibebankan kepadanya.Perselingkuhan itu membentuk “kolaborasi” antara DPR dan Pemerintahan dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia.

Dalam kaitan ini partai politik tak bisa menahan diri untuk tidak semuanya bergabung ke pemerintah yang sedang berkuasa. Dan setelah bergabung dalam koalisi  tidak bisa menahan diri untuk tidak menjadi “stempel” kebijakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang berkuasa pada hal kebijakan itu  jelas jelas tidak berpihak pada kepentingan rakyat yang diwakilinya

Pada akhirnya pemerintahan yang begitu kuat dengan dukungan Parlemen itu hanya menjadi kepanjangan tangan kaum oligark pemilik modal yang telah berjasa mengantarkan menjadi penguasa melalui proses demokrasi / pemilu yang di ikutinya.

Dalam kaitan ini merapatnya kekuatan partai politik di Parlemen untuk mendukung Pemerintah yang berkuasa telah dimanfaatkan dengan sebaik baiknya untuk “berselingkuh ” dengan Pemerintah yang berkuasa demi memuluskan segala agenda agenda yang di usungngnya.

Fenomena tersebut  sudah terbukti paling tidak bisa dilihat pada proses pelaksanaan fungsi legislasi di DPR yaitu pembuatan Undang Undang yang nyaris tidak ada “perlawanan” dalam proses pembahasan dan pengesahannya.

Terlihat misalnya saat Komisi Pemberantasan Korupsi dilemahkan melalui Undang-Undang (UU) KPK yang baru, lalu mengesahkan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba), serta disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Corona, pengesahan Undang Undang Cipta Kerja dan sebagainya.

Bahkan dalam beberapa kasus DPR yang diharapkan menjalankan fungsi kontrolnya justru malah menjadi juru bicara eksekutif sehingga mengaburkan peran dan fungsinya sebagai wakil rakyat yang telah memilihnya.

Terjadinya “ perselingkuhan “ ini tentu saja membuat DPR menjadi enggan untuk bersuara karena merasa bertanggungjawab untuk ikut mengamankan kebijakan kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah yang berkuasa.

Kalau melihat gerak gerak dan perilakunya, duta duta partai yang telah menjadi wakil rakyat di Parlemen itu pada akhirnya hanya berfungsi menjalankan misi partai belaka. Ada sebagian  yang berbeda dari mereka tetapi memang tidak banyak jumlahnya.

Dalam hal ini meskipun sejatinya duta duta partai yang sekarang sudah menjadi wakil rakyat di DPR itu adalah wakil rakyat namun dalam prakteknya harus diakui peran dan misi partai masih sangat dominan sehingga ruang gerak anggota DPR mengalami  pembatasan pembatasan sehingga tidak bisa sepenuhnya menjalankan peran dan fungsinya.

Seperti  yang pernah disinggung oleh Fahri Hamzah, anggota DPR itu sesungguhnya dikendalikan oleh partai melalui ketua umumnya. Ketua umum partai politik (parpol) itu terlibat di dalam satu mekanisme oligarki untuk mengatur kekuasaan legislatif dari belakang layar sesuai kebijakan politiknya."Sinisme rakyat kepada DPR itu tidak bisa dihindari karena setelah dipilih anggota DPR itu tidak bisa dikendalikan oleh rakyat dan konstituennya," kata mantan wakil ketua DPR RI periode 2014-2019 ini seperti dikutip media 07/10/20.

Karena itu, Fahri mengatakan apa yang disebut sebagai telepon Pak Ketum, Bu Ketum, Pak Sekjen, Bu Sekjen dan sebagainya adalah hal lumrah saja. ”Anggota DPR kita tidak independen, mereka bukan wakil rakyat, mereka adalah wakil parpol yang telah mengusungnya. Dan karena itu kadang-kadang saya anggap mereka juga adalah korban dari sistem yang mereka sendiri tidak mampu untuk mengubahnya," ungkapnya.

Kondisi tersebut tentu saja telah membuat anggota DPR gagap dalam menyuarakan aspirasinya karena merasa diawasi setiap gerak geriknya  termasuk suaranya oleh partai pengusungnya. Maka jangan heran kalau ada anggota DPR yang awalnya mungkin vokal, berani bersuara kritis namun kemudian mundur teratur karena adanya batasan batasan yang ada diluar kekuatannya.

Kiranya jelas, cinta segi tiga antara partai politik, Lembaga perwakilan dan Pemerintah itu telah membuat mereka lupa atau mungkin melupakan peran dan fungsi yang seharusnya dijalankanya. Fungsi utama mereka yang intinya demi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia lahir dan batin untuk mencapai tujuan negara sebagaimana amanat pembukaan Undang Undang Dasar 1945 telah dikesampingkannya.

Yang namanya cinta memang seringkali buta sehingga melupakan segalanya. Sehingga sumpah dan janji setia pada waktu pelantikan demi rakyat, bangsa dan negara yang disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, seakan akan hanya menjadi ritual formalitas belaka. Dalam perjalanannya terjadi skandal perselingkuhan yang menyebabkan ambyar misi kesetiaannya pada rakyat yang seharusnya diperjuangkanya.

Perselingkuhan itu telah membuat pula demokrasi kita hanya bersifat prosedural belaka. Seolah olah demokrasi telah dijalankan karena sudah digelar pemilu beserta tahapan tahapannya. Tetapi pemilu itu tidak menghasilkan pergantian kepemimpinan yang mumpuni dan amanah sesuai harapan rakyat yang telah memilihnya.

Demokrasi yang terwujud tidak menjadi demokrasi yang substansial karena tidak tercapainya tujuan demokrasi yang sesungguhnya yaitu untuk mensejahterakan rakyat Indonesia sebagaimana yang di inginkan oleh para pendiri bangsa.

Upaya Pemutus

Jika ketiga Lembaga demokrasi yaitu partai politik, dewan perwakilan dan pemerintah bisa menjalankan peran dan fungsinya sebagaimana mestinya maka tujuan negara seperti yang di inginkan oleh para pendiri bangsa akan bisa diwujudkan dengan segera. Namun pada kenyataannya tujuan itu sampai saat ini baru berupa utopia belaka meskipun kita sudah lebih dari 76 tahun merdeka.Ini semua terjadi diantaranya karena adanya perselingkuhan politik yang membuat kelembagaan negara tidak bisa menjalankan tugas dengan sebaik baiknya sesuai amanah yang dibebankan kepadanya.

Karena perselingkuhan itu sangat merugikan maka sudah barang tentu perlu diputus agar tidak berlanjut ke depannya. Saat ini disinyalir telah terjadi perselingkuhan antara partai politik, Lembaga perwakilan dan pemerintah yang sekarang berkuasa. Adanya perselingkuhan ini harus diputus sedemikian rupa supaya tidak berlanjut kedepannya.

Tentu saja untuk memutus cinta segitiga yang beraroma perselingkuhan ini tidak mudah karena sudah berlangsung cukup lama dan sangat menguntungkan bagi para pelakunya. Tetapi kalau terus dibiarkan maka rakyat yang akan terus menerus menderita.

Untuk memutus cinta segi tiga yang beraroma perselingkuhan itu ada beberapa cara diantaranya melalui tekad dan kemauan politik yang kuat/ politicall will penguasa terutama orang nomor satu di Indonesia. Tetapi mengharapkan perubahan dari penguasa seperti ini seringkali juga berakhir dengan kecewa apalagi kalau mereka naik ke panggung kekuasaan hasil dari ternak para pemilik modal yang telah mengongkosinya ketika meraih kursi kekuasaannya.

Ada jalan lain yang bisa dicoba untuk memutus cinta segitiga yang beraroma perselingkuhan itu misalnya dengan berupaya melepaskan katergantungan duta duta partai yang telah duduk terpilih menjadi wakil rakyat lepas dari bayang bayang kekuasaan partai yang menjadi pengusungnya.

Dalam kaitan tersebut sebenarnya kepada setiap waki rakyat telah diberikan hak immunitas yaitu kekebalan hukum dimana wakil rakyat tidak dapat dituntut di pengadilan karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan, maupun tulisan dalam rapat-rapat di lembaganya.

Seperti diketahui, hak imunitas anggota DPR diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 20A ayat (3) serta Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Undang Undang tentang MPR, DPR , DPD dan DPRD (MD3).

Meskipun ada hak immunitas namun pada kenyataannya hak ini seringkali “mental” ketika harus berhadapan dengan kepentingan kebijakan partai yang menjadi induk semangnya.Sehingga ia terkendala untuk menjalankan fungsi fungsi sebagai wakil rakyat yang dilekatkan kepadanya.

Oleh karena itu agar hak immunitas ampuh digunakan dengan sebaik baiknya oleh wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya maka perlu ada ketentuan yang mencabut hak pergantian antar waktu (P.A.W) dari tangan partai politik dan kemudian kembalikan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya.

Dengan mencabut hak PAW dari partai plitik maka duta duta partai yang telah menjadi wakil rakyat itu  akan mandiri dalam mewakili kepentingan rakyat yang telah memilihnya sehingga tidak takut lagi untuk melawan kebijakan petinggi partai politik yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Demikian juga ia tidak akan takut lagi untuk melawan kebijakan kebijakan penguasa yang tidak pro kepada rakyatnya. Fenomena ini akan menjadikan wakil rakyat benar benar sebagai abdi masyarakat yang telah memilihnya.

Menjadi rakyat sebagai tuannya karena senyatanya merekalah yang telah memberikan gaji setiap bulannya. Ini juga akan mengembalikan fungsi dan role DPR untuk menjadi lembaga pengawas, pengontrol dan penyeimbang (OVERSIGHT)  terhadap lembaga EXECUTIVE yang sedang berkuasa. Bagaimana menurut Anda?

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar